Mohon tunggu...
Jiddan Alkasyaaf
Jiddan Alkasyaaf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Jiddan Alkasyaaf seorang mahasiswa Universitas Budi Luhur yang memiliki passion dalam mengeksplorasi berbagai bidang. Keterampilan menulis dan jiwa penelitian yang saya miliki sering saya salurkan dalam menciptakan konten-konten menarik. Dunia komunikasi digital dengan segala inovasinya, seperti strategi branding dan pengembangan konten, sangat menarik minat saya. Di sisi lain, saya juga memiliki ketertarikan pada dunia kesehatan yang ingin terus saya dalami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Critical Thinking dan Realitas Beradu di Persimpangan Akal dan Naluri

5 Desember 2024   18:43 Diperbarui: 5 Desember 2024   19:58 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berfikir Kritis

Ketika critical thinking beradu dengan realitas, keduanya tak selalu musuh. Kadang, mereka saling melengkapi. Kita juga bisa memadukan logika dengan fleksibilitas. Ada seni di balik pengambilan keputusan yang cepat namun tetap berlandaskan analisis.

Namun, apa jadinya jika kita terus-menerus membiarkan realitas menguasai? Di sinilah bahaya mengintai. Tanpa critical thinking, kita bisa terjebak dalam siklus impulsif, membuat keputusan yang hanya menyelesaikan masalah hari ini tetapi menghancurkan esok.

Kesimpulan

Jadi, kalau ada yang bilang critical thinking gak relevan, jawabannya adalah relevan, tapi enggak selalu praktis. Ini kayak ngejar mimpi jadi seniman tapi sadar bahwa kadang kita harus kerja kantoran dulu buat bayar tagihan. Hidup itu kompromi, bung. Kita bisa terus berpikir kritis, tapi juga sadar bahwa realitas gak selalu kasih kita panggung buat perform sesuai skrip. Kadang, improvisasi itu juga bagian dari seni berpikir kritis.

Maka, seperti pepatah Betawi bilang: "Hidup kudu jalan, kagak bisa mandek kayak becak tanpa kayuhan." Kita perlu terus bergerak, tapi jangan lupa sesekali berhenti dan bertanya,  "Apa langkah ini benar? Apa arahnya sudah tepat?"

Pada akhirnya, antara akal sehat dan naluri praktis, kita hanya bisa berharap menjadi nahkoda yang bijak, melayarkan kapal di tengah ombak tanpa kehilangan arah kompas.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun