Ketika critical thinking beradu dengan realitas, keduanya tak selalu musuh. Kadang, mereka saling melengkapi. Kita juga bisa memadukan logika dengan fleksibilitas. Ada seni di balik pengambilan keputusan yang cepat namun tetap berlandaskan analisis.
Namun, apa jadinya jika kita terus-menerus membiarkan realitas menguasai? Di sinilah bahaya mengintai. Tanpa critical thinking, kita bisa terjebak dalam siklus impulsif, membuat keputusan yang hanya menyelesaikan masalah hari ini tetapi menghancurkan esok.
Kesimpulan
Jadi, kalau ada yang bilang critical thinking gak relevan, jawabannya adalah relevan, tapi enggak selalu praktis. Ini kayak ngejar mimpi jadi seniman tapi sadar bahwa kadang kita harus kerja kantoran dulu buat bayar tagihan. Hidup itu kompromi, bung. Kita bisa terus berpikir kritis, tapi juga sadar bahwa realitas gak selalu kasih kita panggung buat perform sesuai skrip. Kadang, improvisasi itu juga bagian dari seni berpikir kritis.
Maka, seperti pepatah Betawi bilang: "Hidup kudu jalan, kagak bisa mandek kayak becak tanpa kayuhan." Kita perlu terus bergerak, tapi jangan lupa sesekali berhenti dan bertanya, Â "Apa langkah ini benar? Apa arahnya sudah tepat?"
Pada akhirnya, antara akal sehat dan naluri praktis, kita hanya bisa berharap menjadi nahkoda yang bijak, melayarkan kapal di tengah ombak tanpa kehilangan arah kompas.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H