Mappadendang merupakan sebuah tradisi suku Bugis dimana masyarakat Bugis mengolah padi menjadi beras dengan cara menumbuk menggunakan alu (tongkat besar yang terbuat dari bambu) di atas lesung.Â
Tradisi ini digelar dengan tujuan rasa syukur kepada Tuhan lantaran telah memberikan rezeki berupa hasil panen yang melimpah.Â
Adapun dalam acara ini terdapat pagelaran seni di mana pertunjukan memukul lesung menghasilkan bunyi-bunyi dan irama yang teratur. Pesta Mappadendang (menumbuk padi) merupakan tradisi unik yang sudah berjalan turun temurun, namun tradisi ini semakin jarang dilakukan karena kehadiran mesin giling yang memudahkan masyarakat dalam mengolah gabah.
Sebelum melakukan Mappadendang, biasanya masyarakat Bugis melakukan beberapa ritual yang dilakukan secara teratur. Ritual pertama adalah appalili, yaitu upacara adat yang dilakukan sebelum melakukan pembajakan tanah.Â
Setelah itu dilakukan appabeni ase, yaitu ritual yang dilakukan saat menyimpan bibit di tempat khusus, tempat itu disebut possi balla. Pada tahap ini akan dibacakan cerita rakyat Sulawesi Selatan yaitu Meong Palo Karallae, yang dimana cerita tersebut tercatat dalam epos La Galigo. Dan tahap terakhir sebelum Mappadendang, yaitu ritual Katta Bokko, yaitu ritual panen raya yang diiringi oleh kelong pare atau pembangunan panggung.
Adapun sebelum penyelenggaraan Mappadendang, ada beberapa pakaian dan peralatan yang perlu dipersiapkan, hal-hal tersebut adalah:
Pakaian
Untuk Laki-laki, diwajibkan memakai lilit kepala serta berbaju hitam. Kemudian melilitkan kain sarung hitam bercorak.
Bagi Wanita, diwajibkan memakai baju Bodo.
Alat yang diperlukan
Lesung yang minimal panjangnya 1,5 meter, maksimal 3 meter, dan lebar 50 cm. Berbentuk lesung atau mirip seperti perahu kecil, namun berbentuk persegi panjang.
Enam batang penumbuk beras yang terbuat dari kayu atau bambu setinggi orang dewasa, lalu dua jenis penumbuk pendek yang panjangnya kurang lebih setengah meter.
Asal muasal tradisi Mappadendang ini memiliki banyak versi, namun, terdapat satu versi mitos yang cukup terkenal, dimana mitos ini diyakini sebagai cikal bakal tradisi Mappadendang.Â
Dahulu, seorang penghuni surga bernama Dato Patoto dan Datu Palinge memiliki seorang anak gadis bernama We'Oddang Nriwu. We'Oddang Nriwu merupakan seorang anak yang sangat cantik yang ingin diturunkan ke Bumi, namun, rencana tersebut gagal karena semua dewa ingin turun ke Bumi bersama We'Oddang Nriwu.Â
Akhirnya, Dato Patoto merubah wujud We'Oddang Nriwu  menjadi sesuatu yang dapat dicintai oleh semua orang, yaitu Padi. Kemudian padi ini diturunkan dari kayangan ke Bumi untuk menjadi pangan bagi manusia, untuk itulah suku Bugis menggelar Mappadendang sebagai ungkapan syukur atas padi-padi yang panen dan melimpahi kehidupan mereka.
Tradisi Mappadendang merupakan tradisi turun-temurun yang sarat akan nilai kebudayaan dan kebersamaan. Tradisi ini merupakan tempat dimana kekerabatan dan kebersamaan antar petani dapat terjalin karena mereka akan berkumpul untuk merayakan tradisi ini.Â
Di sisi lain, tradisi ini juga menjadi tempat di mana para pemuda pemudi dapat mencari pasangan hidup. Namun, tradisi yang sangat sakral ini lambat laun menghilang akibat kemajuan modernitas, sehingga Mappadendang saat ini jarang dilakukan.
Sumber:
Nur, Askar, (2020). Mistissme Tradisi Mappadendang di Desa Allamungeng Patue, Kabupaten Bone. Jurnal Khitah. 1(1).
Rakhmat, Puspitasari. Fatimah, Jeanny Maria, (2016). Makna Pesan Simbolik Non Verbal Tradisi Mappadendang di Kabupaten Pinrang. Jurnal Komunikasi KAREBA. 5(1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H