Mohon tunggu...
Jibal
Jibal Mohon Tunggu... lainnya -

@jibalwindiaz | acting coach| penikmat kretek, kopi, dan hal-hal yang cihuy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rail Clinic Sudah, Rail Smoker Dong...

17 Desember 2015   03:00 Diperbarui: 17 Desember 2015   17:28 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dear Pak Edi Sukmoro yang Berbahagia.

Sebelumnya saya nyuwun sori, Pakkalau tulisan ini agak mengandung curhat ala anak belakang stasiun. O bukan, bukan pak. Bukan soal saya nggak bisa ngamen puisi lagi di kereta. Juga bukan soal kenangan puitik saya sama mantan waktu di kereta Progo, nggaklah, saya nggak secihuy Chairil Anwar menyoal mantan dan kereta ke dalam puisi. Tulisan ini didasari rasa iri campur salut saya soal peluncuran Rail Clinic yang idenya muncul dari putri bapak itu. Yang fasilitasnya bukan main deh, ada fasilitas ANC buat ibu hamil, fasilitas persalinan; emergency dan recovery, juga nursery room. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/710492-kini-ibu-hamil-bisa-bersalin-di-kereta-api

 Betewe, Mbak Clarissa Sukmoro masih bekerja di perusahaan Multinasional yang berbasis di Amrik itu kan, Pak ?

 Oiya, ini agak ngelantur sedikit boleh ya Pak, bapak itu punya kesamaan sifat dengan orang-orang berzodiak Pisces umumnya. Orangnya ramah dan mudah percaya pada hal-hal baru yang menguntungkan, kesamaan itu dimiliki Penulis idola saya juga lho, Pak. Syukurnya saya bukan Pisces, Pak. Hehe. Jadi nggak heranlah saya, kalau bapak mewujudkan ide Rail Clinic itu. Orang Pisces memang suka begitu. "Kami ingin bekerja tidak ingin berteori, karena masyarakat Indonesia banyak yang tak terjangkau kesehatan"  Tuh, istilah Jakartanya kalau kerja nggak pakai beretele-tele. Fotografer biasanya yang main tele.

Setelah adanya terobosan yang luar biasa di rentang posisi bapak sebagai Dirut baru di PT Kereta Api Indonesia. Ada baiknya bapak tidak mengabaikan ide yang satu ini, yoih pembenarannya serupa ujaran bapak juga—buat memajukan bangsa, dan tentu yang nggak kalah penting demi menaikkan martabat bangsa, etapi, kalau idenya datang dari makhluk hibrid kayak saya apa bakal dikabul, wong bukan siapa-siapanya, anak juga bukan, famili juga boro-boro. Sok-sokan ngomong martabat bangsa pula. “Hidup harus optimis, Bal !” Singgung Cak Guru pada kesempatan ngopi yang mbiyen.

Optimisme saya juga bertolak dari sini, Pak. Dari sebuah artikel yang saya dapat pada situsweb http://www.bumn.go.id/keretaapi/berita/2477/Ini.Dia.Gadis.Manis.Pencetus.Ide.'Kereta.Klinik Pak Edi ada bilang begini, "Ide apapun untuk majukan bangsa, saya terima. Saya juga buat sayembara tertulis untuk majukan KAI. Saya kasih hadiah dari uang pribadi." 

Okelah, anggap saja Rail Clinic yang diluncurkan pada 12 Desember lalu itu semacam ‘kado akhir tahun’ buat menyedapkan hati Mbak Clarissa, juga hati yang punya kepentingan bisnis di baliknya. Ufp. Di tahun selanjutnya Bapak perlu mewujudkan ide prestisius lain. Memang sih ide ini nggak jauh dari persoalan saya yang perokok, yang kerasa banget didiskriminasi oleh kenyataan ruang publik hari ini. Dimana untuk menunaikan hak merokok yang juga bagian dari budaya hidup leluhur kita, saya dan teman-temin tuh kadang ngerasanya kayak imigran Irlandia di Amrik tahun 1840an. Sentimennya nyata banget. Padahal rokok yang kami konsumsi statusnya barang legal lho di negeri ini. Negara dapat pemasukan trilyunan dari pajak-cukainya tiap tahun. Sudah merokok dilarang di banyak ruang publik, sialnya lagi ruang boleh merokok yang disediakan buat kami masih jauh buanget dari sarapan, eh harapan.

Bahkan di dalam kereta api pun nggak ada lagi tempat buat kami. Padahal dulu, waktu larangan merokok belum sekonyol sekarang. Saya bisa betah berlama-lama ngisi TTS, merokok sambil ngopi di Kereta Makan. Tetapi itu dulu, pasti bapak juga pernah dapat asiknya suasana di kereta makan pada masa cihuy itu. Tapi sekarang ampun deh ah, saat kereta singgah di stasiun besar pun hak merokok kami kadang cuma dapat setengah batang hisapan.  

Nah, Bapak sudah bisa meraba arah usulan saya ke mana kan ? Betul sekali Pak. Kita perlu mewujudkan yang namanya Rail Smoker alias Kereta Perokok. Mosok sih buat menunaikan hajat ngebul kami mesti curi-curi kesempatan di  toilet kereta. Nggak asik banget, kami nggak sudi melecehkan diri kami lewat curi-curi seperti itu. Jumlah perokok yang juga pelanggan KAI itu banyak orangnya lho, Pak. Mewujudkan misi mulia akan  pelayanan kesehatan untuk masyarakat tentulah perlu, tapi jadi nggak efektif juga kalau nantinya bakal mentok di persoalan yang sudah-sudah. Sebatas fungsi monumen tok.

Kami sih nggak mau terlalu neko-neko soal isi gerbongnya mesti difasilitasi gini gitu, nanti malah tambah merepotkan. Dan kami percaya bapak juga masih peduli sama harapan orang banyak seperti saya, kami percaya Pak Edi lebih mau mendengar suara pelanggan ketimbang suara 'titipan'. Dijamin deh kalau Rail Smoker diwujudkan bapak bukan cuma dikenang sebagai bapak yang ingin menyenangkan hati anak dan tetek bengek di baliknya. Dan tentu yang lebih utama Bapak telah mewujudkan cita-cita yang diamanatkan sila ke lima.

Halah, nggak perlulah saya dihadiahi uang dari kocek pribadi bapak soal ide ini. Lagipun memang sudah seharusnya PT KAI menyediakan ruang boleh merokok buat kami perokok yang juga pengguna kereta api. Tabique.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun