Mohon tunggu...
Jibal
Jibal Mohon Tunggu... lainnya -

@jibalwindiaz | acting coach| penikmat kretek, kopi, dan hal-hal yang cihuy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perokok Beretika Ramah-ramah Bukan Marah-marah

28 Agustus 2015   19:40 Diperbarui: 28 Agustus 2015   21:21 3674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: kfk.kompas.com

Elysabeth Ongkojoyo, nama ini belakangan mulai populer di dunia maya. Dimulai dengan petisi yang dia buat di change.org. Bahkan namanya sempat tertulis dalam beberapa media online. 

 "Sekitar 1 jam duduk di sana sambil menunggu, mendadak manajemen J.Co datang dan mengatakan bahwa ada orang mau merokok duduk di dekat saya, dan saya menolak untuk pindah karena saya bawa bayi dan ruangan yang nyaman untuk bersama bayi saya (yang tidur di stroller dan banyak barang dibawa perlengkapan bayi) adalah di tempat itu. 

 Kemudian oknum sebut saja A datang, lalu mulai mengajak saya bicara dan "mengusir" saya secara halus dari tempat saya duduk. Ketika saya menolak, A mulai memaki saya dengan kata kasar seperti "goblok" dan "bego" karena saya tidak mau pindah. Saya pun marah karena tidak seharusnya perlakuan seperti itu."

Begitulah kira-kira penggalan cerita dalam petisi yang ibu Elysabeth Ongkojoyo tuliskan, dan kemudian mulai mendapat dukungan luas dari publik. 

Situasi seperti ini tentu tidak akan disia-siakan oleh kelompok anti rokok. Dalam pikiran mereka, ini adalah momentum yang tepat untuk menyerang para perokok, bahkan lebih jauh lagi menyerang para pembela tembakau. 

Sebut saja namanya Kartolo, di jagat kicauan twitter nama akunnya adalah @kartolo2000. Tidak ada yang tahu siapa dia, karena memang akun anonim. Makhluk anonim itu menulis di Kompasiana, begini salah satu penggalannya:

"Dari kejadian tersebut jika benar industri rokok ikut membangun budaya, apakah perokok yg mengusir ibu tadi bisa dikatakan berbudaya? Jelas tidak. Lalu dimana hubungan antara mendanai kegiatan budaya yg bertajuk Bakti Budaya tadi dengan pembentukan perilaku berbudaya para konsumen rokok itu? Lihat saja perilaku perokok: membuang puntung rokok sembarangan, mencemari lingkungan dan udara, menebar penyakit dst. Sangat jauh dari perilaku berbudaya."

Saya sebagai bagian dari Komunitas Kretek yang selama ini membela hak-hak perokok sempat tercengat, yang kemudian ingin meninjau kasus ini lebih jauh. Lalu saya bergerak ke lokasi kejadian untuk melakukan investigasi kecil-kecilan. 

Singkatnya, saya dapati lokasi J Co di Pluit Village tersebut memang berada di dalam area mall. Namun dari tulisan ibu Elysabeth Ongkojoyo, si perokok ingin duduk di situ dan meminta ibu Elysabeth Ongkojoyo, untuk pergi. Namun karena ibu Elysabeth Ongkojoyo, merasa itu bukan area merokok dan dia terlebih dahulu ada di situ, maka dia tak mau pergi. 

Di dalam blognya, ibu Elysabeth Ongkojoyo mengungkapkan, dia sempat berdebat dengan pihak J Co terkait tempat tersebut yang senyatanya tidak boleh merokok. Memgumpat si ibu dengan kata-kata yang kasar tentu tidak bisa dibenarkan, perlakuan kasar dari perokok semacam itu patut disalahkan. Jika memang di dalam ruangan tidak boleh merokok ya memang seharusnya dia tidak merokok di tempat itu.

Pihak mall sendiri sebetulnya menyediakan tempat khusus merokok di pinggir gedung, terhubung dengan udara luar, cukup luas, meski tidak diberi papan informasi sebagai tempat khusus merokok. 

Lebih mendasar saya mau tekankan bahwa perokok juga harus cerdas dan sadar dalam memaknai ruang bersama, tidak boleh arogan. Sama halnya jika ada orang yang duduk di area merokok tapi marah-marah dengan asap orang yang merokok. Padahal jelas ada hak atas ruang serta peruntukkannya.

Saya kemudian membaca ulang tulisan ibu Elysabeth Ongkojoyo melalui blognya sicantikjuno.blogspot.com. Ada penggalan menarik yang dikemukakan dari tulisan beliau.

"Almarhum Papi saya adalah perokok berat, saya tahu persis dimana spot untuk merokok dan dimana yang bukan. Saya sudah pergi ke Pluit Village sejak saya kelas 5 SD waktu namanya masih Megamall Pluit, sampai kemarin kejadian JCO di hari senin, 28 Agustus dan saya tahu betul bahwa semua smoking room sudah dihapus. Sehingga Papi saya suka merokok di parkiran atau di sisi luar mall. Seorang tua seperti Papi saya berusia 69 tahun saja bisa menaati peraturan untuk merokok."

Saya bersepaham dengan ibu Elysabeth Ongkojoyo. Memang seharusnya si perokok melakukan aktifitasnya di area yang telah ditetapkan. Bahkan tidak sepantasnya juga dia (si A) sampai mencaci ibu Elysabeth Ongkojoyo. 

Tentu saja diantara sekian juta perokok, tak bisa dipungkiri ada perokok yang tidak taat aturan. Melanggar batas-batas etika dan kewajaran yang berlaku. Tapi itu bukan berarti mencerminkan keseluruhan watak perokok seperti Kartolo gaduhkan di sosial media. Tidak seharusnya dia melakukan itu. Walau pihak mall atau J Co punya juga andil salah karena membiarkan merokok dalam ruangan dan tidak memberikan papan informasi tentang tempat yang (dimaknai)  boleh merokok. 

Dan sejak jauh hari salah satu poin penting dari kampanye kami pun termasuk melakukan edukasi kepada perokok untuk berperilaku etis dalam merokok. Meski yang dikonsumsinya adalah barang legal, tetaplah etika menjadi bagian yang utama dalam menyikapi kemajemukan kita. Dan jika saya tidak membela perilaku si perokok, momok kekecewaan pastilah bersarang di kelompok anti rokok. 

Pada prinsipnya sederhana kok. Di tempat public sudah seharusnya disediakan tempat khusus merokok, hal itu jelas UU pun menegaskan. Tempat khusus merokok adalah titik kompromi antara perokok dan non perokok untuk tidak saling (merasa) dirugikan atau bahkan (rentan) diadu-domba untuk saling berseteru. Karena menghargai hak masing-masing orang adalah cermin budaya sosial kita.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun