Mohon tunggu...
Jibal
Jibal Mohon Tunggu... lainnya -

@jibalwindiaz | acting coach| penikmat kretek, kopi, dan hal-hal yang cihuy.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Reklame Rokok dari Sebuah Sore

17 Desember 2013   03:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:51 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_310643" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Hampir setiap saat kita dijejali beragam iklan produk dagang, mulai dari merek baru, figur baru, layanan baru, hunian baru, produk kebijakan baru, gaya hidup baru, terasa kian masif berakrobat merebut ruang nalar konsumen. Apa pun jenis penawarannya, sebuntal kentut sekali pun, jika dicitrakan atas nama kebaruan, bisa laris dipuja dan dibeli. Tidak sedikit bukan, orang kota lebih memilih hidup dalam jeratan sistem leasing demi punya gono-gini? Dan ini adalah  isyarat menggembirakan, semacam bukti bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai hal-hal baru. Walaupun kita sadar betul ada hal yang lebih penting dari sekadar menuruti nafsu konsumtif tentunya.

Praktisnya keseharian kita sulit menghindar dari teror produk dagang. Jika semua kembali kepada pilihan. Lalu pilihan macam apa yang menenteramkan? Sebagai yang juga konsumen saya memilih untuk tidak terjebak pada pilihan. Karena siapa pun yang dibidik sebagai konsumen oleh pasar, mau tak mau kena dampak lanjutan; berubahnya sikap berpikir, bahkan sikap hidup. Tak heran jika kemudian predikat ‘pasien’ pun membiak.

Rabu sore, tepatnya 11 Desember 2013. Sepulang dari menghadiri undangan diskusi setengah hari bertajuk Urgensi Ratifikasi FCTC di Pisa Cafe Jakarta Selatan. Dalam perjalanan menuju Tebet, mata saya tersandung sebuah papan reklame besar. Persis saat melintasi ruas fly over Jalan Tendean. Pesan bergambar itu terdiri dari dua bagian. Pada bagian atas yang cukup besar ruang tampilnya terdapat gambar lelaki muda, berwajah simpatik, dan rapi berdasar stereotype umum berkemeja---kita sebut saja ‘Si Keren’, personifikasi dari produk dan kelas. Si Keren yang sedang menyuntuki berkah rempah. Bahkan jika dilihat sepintas seperti orang yang sedang berdoa.

Pada bagian paling bawah terdapat gambar lelaki berkumis, tampak sumuk digerayangi asap rokok---ekspresi wajahnya terkesan mengidap keruwetan hidup---Dan yang lebih menciri lagi, lelaki berkumis itu tanpa baju, alias telanjang dada. Meski bukan dada yang dipamerkannya.  Di bagian yang sama sejumlah gambar tengkorak, sebut saja suatu kondisi yang horor. Bahkan dikuatkan kehororan itu kemudian dengan kalimat PERINGATAN: ROKOK MEMBUNUHMU.

“Apakah dengan begitu akan mendorong terciptanya masyarakat yang sadar bahaya? Atau justru semakin menebalkan sifat over excessive-nya MNC rokok dalam mendiskriminasi konsumen. Lalu bukti konkret mana yang menunjukkan efektivitas peringatan bergambar dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok?” Gaduh pertanyaan itu di kepala saya.

Setibanya saya di Tebet, sambil menyeduh secangkir kopi, pertanyaan lanjutan yang muncul membuat saya senyum-senyum sendiri. “Jika penambahan gambar itu dimaksudkan mengacu PP 109/2012. Tentu itu upaya genit yang patut disebut off side (istilah dalam persepakbolaan). Karena PP 109/2012 pemberlakuannya terbilang baru akan efektif di tahun 2014. Bukankah iklan rokok lainnya pun masih sekadar menerakan tulisan peringatan bahaya merokok saja?” Sambil membolak-balik lembar catatan dari hasil diskusi di Pisa Cafe.

13872253191847277600
13872253191847277600

Eva Kusuma Sundari salah seorang Narsum diskusi menyatakan, “…karena bagi saya yang paling penting adalah hak untuk hidup bukan (melulu) hak untuk sehat, bahkan yang lebih penting lagi hak berkedaulatan.” Pernyataan anggota Komisi III DPRRI ini tentu sangatlah beralasan. Terlebih dalam menyikapi dampak dari diaksesinya FCTC terhadap nasib petani dan buruh yang jumlahnya besar bergantung dari sektor tembakau. Belum lagi devisa yang dihasilkan cukai rokok yang diambil dari konsumen.

Dan dari hasil diskusi yang sama  pernyataan kritis Profesor Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar Hukum Internasional di FH UI dengan tegas menyuarakan, ”…boleh saja mau pro choice atau pro health, bahkan kepada para mahasiswa saya, saya sering bilang, coba lihat dulu apakah Indonesia ikut dalam proses pembuatan (FCTC) itu atau hanya mantuk-mantuk lalu cari oleh-oleh. Jangan sok-sokan dikit-dikit dapat perjanjian Internasional. Ratifikasi…, dikit-dikit ratifikasi….”

Jauh sebelum diskusi setengah hari yang diselenggarakan oleh Jurnal Parlemen itu. Saya dan teman-teman Komunitas Kretek acap kali menarik kesimpulan dari diskusi seputar isu rokok dan kesehatan dengan berbagai pihak, selalu yang terasa seputar perdebatan pro dan kontra saja. Bahkan tidak jarang emosi personal dari suara tokoh pun kental tersirat. Di luar perdebatan. Di luar kotak yang bernama pergunjingan. Tentu ada yang tengah bermain masif di luar itu semua, sadarkah kita siapa musuh bersama sesungguhnya yang tengah merebut nalar orang banyak (baca: konsumen) setiap hari ?

Jika mengacu dari reklame yang saya potret itu, dengan bermodalkan pengetahuan semiotika yang pas-pasan. Muatan horor yang dibunyikan melalui simbol-simbol visual tak lebih dari upaya penebalan sterotype kelas protagonis dan antagonis, masih dimain-cirikan berdasar sampul (baca: fisik luar). Sebagaimana berlakunya pembeda bahasa di masyarakat kita; melayu pasar-melayu tinggi, budaya pokok-budaya tandingan. Sampai kemudian pembeda mana priyayi mana kuli.

1387225403953249812
1387225403953249812

Maka kalimat Fine Ingredients for Fine Taste tentulah bukan kalimat yang diperuntukkan sopir bajaj atau mandor bangunan. Dan bukan hal baru pula ketika pesan sponsor berimplikasi---gengsimu ditentukan oleh rokokmu---Maka gambar ‘Si Keren’ sebagai sebuah personifikasi dari produk dan kelas, adalah point of view yang memantik penalaran konyol saya tentang sebuah pesan dari agenda besar nan sublim; ‘rempahmu kini di tanganku’.

Selang beberapa hari kemudian. Tepatnya  Minggu 15 Desember 2013, saat melintasi fly over yang sama. Reklame yang semula terdapat bagian gambar horor nan rancu itu, kini sudah berganti menjadi kalimat peringatan bahaya merokok. Memang bukan cuma Jakarta kota yang penuh kejutan. Namun bagi saya sebuah keteledoran yang segera disiasati tentu bukanlah tanpa alasan. Sebelum tulisan ini saya publikasikan, saya menceritakan tuntas pengalaman ini ke seorang teman. Ia seorang seniman grafis yang kampung halamannya dikenal sebagai penghasil tembakau Srintil. Entah ditanggapinya serius atau tidak pengalaman ini, tetapi dari senyumnya yang khas seperti biasa dapat saya simpulkan, ‘sudahlah kita cukup tahu saja.’ Tak berjeda lama, dangdut koplo kegemarannya melantun terdengar dari hape. Menjadi isyarat tersendiri, bahwa hidup terkadang butuh sesuatu yang lebih menghibur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun