Mohon tunggu...
jian ayune
jian ayune Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi tahun ke-3

menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Uang Bau" Kompensasi Hak Asasi Masyarakat Bantargebang

24 Oktober 2022   15:09 Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:30 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan masyarakat yang serba cepat saat ini tidak dapat dipungkiri memiliki efek buruk bagi lingkungan karena banyaknya emisi karbon dan sampah dari kegiatan tersebut. Penggunaan kemasan sekali pakai menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar yang setiap tahunnya menimbulkan polemik terkait dengan pengelolaannya, tidak terkecuali di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sebagai wilayah dengan penduduk sebesar 10 juta jiwa , DKI Jakarta menjadi penyumbang sampah terbesar mengalahkan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki populasi lebih besar. Dengan sampah sebanyak itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki satu tempat pengelolaan yaitu Bantargebang di Bekasi.

Berdiri sejak tahun 1989, Bantargebang menjadi satu-satunya lokasi Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) untuk wilayah DKI Jakarta, yang kini keadaannya semakin menghawatirkan. Setiap harinya kiriman sampah dari berbagai daerah di Jakarta mencapai 6.500-7000 ton perhari yang tiap tahunnya mengalami kenaikan. TPST Bantargebang sendiri diperkirakan telah menampung 23 juta meter kubik sampah pada 2020 dan kapasitas maksimumnya telah melampaui batas. 

Beragam kebijakan diambil agar masalah sampah di Bantargebang tidak semakin berlarut, salah satu contohnya adalah dengan pembangunan ITF (Intermediate Treatment Facility) yang diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah di Bantargebang. Kebijakan lain untuk melakukan ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan bagi warga sekitar Bantargebang adalah dengan kompensasi uang sebesar 900 ribu setiap tiga bulan untuk setiap keluarga yang mereka sebut dengan 'uang bau', artinya setiap bulan mereka mendapatkan kompensasi sebesar 300 ribu untuk kompensasi hak asasi mereka.

Menurut warga sekitar Bantargebang, jumlah tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh TPST Bantargebang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama untuk membeli air layak pakai dan air layak konsumsi saja tidak cukup, apalagi untuk membeli kebutuhan obat-obatan. Setiap harinya mereka harus bergumul dengan bau tidak sedap, belum lagi ancaman kesehatan dan ketakutan akan longsor dari gunung sampah yang bisa terjadi kapan saja. Selain itu air sumur disekitar lingkungan TPST Bantargebang ini telah dicemari oleh air limbah sampah hingga jarak radius lima kilometer. 

Dikutip dari Bagong Suyoto selaku Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) "Mau beli air aja susah, air bersih kurang, apalagi yang keluarganya banyak. Makanya kita meminta bahwa Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi serius untuk menangani sampah, apalagi sampahnya sudah overload. Sudah lebih dari 50 meter tingginya" ujarnya saat di wawancarai poskota.co.id

Hak-hak warga Bantargebang ini padahal sudah diregulasi dalam:

  1. Article 12 ICESCR mengakui hak setiap oranguntuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai.

  2. Amandemen UUD 1945 Pasal 28H (1) menyebutkan: "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan"

  3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan sampah agar tidak terjadi penumpukan sampah.

Kebijakan ganti rugi 'uang bau' ini dinilai bukan solusi menyeluruh dan berkelanjutan bagi masyarakat Bantargebang dan bukan pula substitusi atas hak mereka. Harus ada kebijakan yang lebih matang untuk masyarakat Bantargebang agar taraf hidup mereka dapat membaik dan tidak lagi terusik dengan adanya gunungan sampah yang menganggu hak asasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun