Kasus lain adalah pelecehan seksual dimana masyarakat cenderung melumrahkan perilaku pelecehan seksual dan lebih menyalahkan wanita atas dasar pakaian yang mereka kenakan, yang disebut sebagai budaya victim blaming atau menyalahkan korban atas kesalahan pelaku. Pada semester awal tahun 2019 misalnya, kasus pelecehan terhadap Baiq Nuril seorang guru SMA di Mataram menjadi sorotan karena ia merekam percakapan pelaku pelecehan yang merupakan Kepala Sekolah di SMA tempat ia bekerja, alih-alih mendapat pembelaan karena merekam percakapan bejat pelaku ia malah dinyatakan bersalah atas dugaan “mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan yang tertera dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebegitu bobroknya perlindungan terhadap korban sampai seringkali korban pelecehan seksual atau pemerkosaan malah dinikahkan dengan pelakunya dengan dalih mereka telah berbuat zina maka harus ada legitimasi agama, padahal hal tersebut berarti korban akan seumur hidup tersiksa lahir dan batinnya. Objektifikasi terhadap wanita juga menjadi hal yang lazim dalam budaya patriarki, wanita hanya dianggap sebagai objek dan mengesampingkan intelektual serta pemikiran wanita. Bahkan sebagai wanita sendiri, alih-alih mendukung sesame wanita seringkali timbul kebencian, saling menjatuhkan dan tidak percaya yang disebut dengan self misogyny.
Sebagai perlawanan terhadap budaya patriarki ini terbentuklah gerakan kaum feminis, istilah “feminis” pertama kali dicanangkan oleh Charles Fourier, seorang filsuf asal Prancis pada tahun 1837. Feminisme. sebagai. suatu. istilah. yang. dipahami secara keilmuan, baru dikenal sejak awal 1970-an di Indonesia, terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminisme bermunculan dalam buku, jurnal-jurnal dan surat kabar (Warsito : 2012). Kaum feminis sering dianggap sebagai suatu gerakan yang misandri, padahal sejatinya fokus dari feminisme adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender agar kaum wanita tidak dianggap lebih rendah dari kaum laki-laki dan menghilangkan toxic masculinity yang selama ini menjadi acuan masyarakat menilai maskulinitas laki-laki.
Konstruksi budaya patriarki di Indonesia dapat saja diubah jika masyarakatnya meyakini bahwa budaya ini tidak relevan dengan perkembangan zaman, bahkan awal kemunculannya pun karena adanya supremasisme terhadap rakyat Indonesia. Kurangnya kesadaran di masyarakat bahwa budaya patriarki sendiri tidak hanya membatasi hak-hak kaum wanita namun juga stigma maskulinitas pria.
Maka dari itu upaya untuk menyetrakan gender dan ramah perempuan harus terus digencarkan. Substansi bias gender tidak akan mungkin berubah menjadi adil gender, apabila secara struktural penyelenggara negara tidak sensitif terhadap gender dan masalah mengenai perempuan itu sendiri dan masyarakat masih melanggengkan konstruksi sosial yang tidak adil gender di masyarakatnya. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya sekadar perjuangan perempuan melawan lakilaki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat serta budaya patriarki yang memiliki stigma negatif (Sakina & Siti : 2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H