"Ooh..." Anak kecil  itu memukul lengan atas ibunya pelan sembari menatapku malu. Matanya bulat kecil dengan bibir yang mungil. Bila boleh ditebak, umurnya sudah menginjak usia 5 tahun. Anak yang cantik dan juga menggemaskan.
Ibu dan anak kecil itu pamit pergi lebih dahulu, aku juga berkata akan melanjutkan pergi menuju sebuah toko buku di dalam mall itu. Kami berpisah dan aku melanjutkan perjalananku. Mendekati toko buku, langkahku terhenti di depan toko elektronik tempat anak kecil tadi menangis. Dari luar aku melihat kipas kecil berwarna pink dengan stiker hello kitty. Aku diam dan tersenyum melihat kipas itu sampai aku melihat seseorang berjalan keluar dari toko itu. Nafasku tercekat ketika melihatnya. Dhani.
***
Dhani diam, terpana, tidak percaya dengan seseorang yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Ulis. Seorang perempuan yang dulu sering menemani perjalanannya di dalam kereta. Seorang perempuan yang pernah berkata untuk menunggunya namun ia meminta untuk tidak pernah menunggunya. Seorang perempuan yang menginginkan pertemuan kembali dengannya tetapi tidak pernah ia janjikan akan terjadi pertemuan lagi.
Lalu kini, detik ini, Dhani melihat sosok perempuan itu. Dirinya seakan berada dalam ambang khayalan dan realita yang sebenarnya. Sepasang mata dari perempuan itu masih menatap Dhani. Ia tau dengan pasti, mata itu berbicara untuk mendekatinya. Mata yang telah lelah menanti dan hampir menyerah. Mata yang seakan akan menertawakan realita dan khayalan nyatanya sudah tidak bisa dibedakan lagi.
Dhani berjalan perlahan mendekati Ulis yang dibalut dengan dress hitam selutut, legging hitam, jaket jeans biru, kerudung coklat juga flat shoes coklat andalan Ulis. Sudah lama sekali aku tidak melihat sosok yang dapat menenangkan hati seketika. Sosok yang padanya rindu tertanam begitu kuat namun aku kubur dalam-dalam. Seolah rindu itu tidak pernah ada.
"Hai" Ucapku meneliti wajah Ulis. Banyak perubahan, pipinya lebih merona dan bibirnya lebih merah dari biasanya.
Ulis tersenyum. Senyuman yang masih aku kenal hingga saat ini.
"Hai"
Ada canggung yang hebat tercipta diantara kami. Lenganku menggapai bagian leher belakang sembari otakku memikirkan bahan pertanyaan yang harus aku lontarkan kepada Ulis. Cukup banyak pertanyaan sebenarnya. Otakku mulai bekerja untuk memilah pertanyaan apa yang harus dilontarkan saat ini. Sedang apa? Bersama siapa? Ada kepentingan apa? Mengapa di Jakarta? Sudah makan? Rasanya keringat dingin mulai menjalar di punggungku.
"Ini, tokomu?" Ulis bertanya kepadaku lebih dahulu.