Oleh Josef H. Wenas
Lukisan Paul Gauguin masih yang termahal saat ini. Penjualan untuk kanvas “Nafea Faa Ipoipo” pada tahun 2015 melalui private sale oleh keluarga Rudolf Staechelin, kolektor asal Swiss, kepada kolektor Arab asal Qatar mencapai harga US$ 300 juta (sekitar Rp 3,9 triliun dengan kurs sekarang). Judul lukisan itu dalam bahasa Tahiti, artinya “Kapan kamu kawin?”
Tidak diketahui pasti sopo wonge yang dari Qatar itu, diduga keluarga kerajaan, ditulis saja State of Qatar. Sedangkan rekor tertinggi jual-beli melalui auction sale sampai sekarang masih dipegang “Les Femmes d'Alger” karya Pablo Picasso seharga US$ 179 juta (kira-kira Rp 2,3 triliun).
Tidak ada jawaban memuaskan mengapa satu lukisan bisa mencapai harga segila itu. Tetapi para art dealers baik yang kelas dunia di New York maupun yang kelas rukun tetangga di Yogyakarta, umumnya melabelkan harga sebuah lukisan dengan cara yang sama. Sama-sama mengerikan.
****
Lahir dengan nama lengkap Eugène Henri Paul Gauguin di Paris, 7 Juni 1848, Gauguin dibesarkan secara Katolik. Sistem nilai ini ada hubungannya dengan “rahasia-rahasia” pada kanvas Gauguin. Selain “Vision after the Sermon”, juga pada karyanya “Ia Orana Maria”, “The Loss of Virginity”, “Yellow Christ”, “Adam and Eve”, “Joan of Arc” dan “The Green Christ”.
Selalu ada watershed dalam hidup seorang tokoh. Begitu juga dengan Gauguin. Kebanyakan art historians melihat titik-balik Gauguin terjadi pada kanvas “Vision after the Sermon” yang dilukisnya tahun 1888. Umumnya mereka sepakat “it is his first break from the traditional impressionist style“ untuk kemudian masuk kedalam berbagai eksperimen dalam gairah post-impresionisme. Saat melukis karya ini, Gauguin sedang tinggal di “kampung para seniman” Pont-Avon, di provinsi Brittany, Perancis.
Gauguin adalah figure penting pada gaya Simbolis, sebagai “bentuk” lanjutan petualangannya pada gaya Sintetisme, dibawah payung post-impresionisme yang sebetulnya juga baru mulai berkembang lepas pertengahan tahun 1800-an.
Kemapanan klasik yang taat asas dalam hal bentuk, dalam hal warna, hal perspektif dan hal sapuan kuas (brush strokes), memang kurang suka dengan keurakan post-impresionisme yang memotret overall visual effects ketimbang repot pada detil-detil. Ditambah lagi, kelakuan post-impresionisme yang suka mendiskonto dimensi dari tiga menjadi hanya dua, kadang malah satu, apalagi bayangan (shades) tidak mesti penting, selain suka mengacaukan perspektif semisal “jauh dekat besarnya sama” atau “sapi lebih kecil dari orang.”
Kanvas “Vision after the Sermon” lahir dari tema kitab Perjanjian Lama tentang pergulatan Yakub melawan malaikat dalam Kejadian 32:24-28. Dalam sintetisme Gauguin, pergulatan ini menjadi suatu penglihatan batin para perempuan (barangkali mereka adalah biarawati) sehabis mendengarkan khotbah di gereja.
Terkait dengan karya ini, perlu diingat juga kalau pengaruh Japonisme— terutama genre Ukiyo-e— pada seni rupa di Eropa sudah terasa sejak impresionisme muncul pertengahan abad ke-19 itu. Tidak hanya Gauguin yang terpengaruh, tetapi juga para raksasa sekaliber Vincent van Gogh (pada “Portrait of Père Tanguy” dan “La Courtisane”), Édouard Manet (pada “Portrait of Émile Zola”), Claude Monet (“Garden in Giverny” dan “Madame Monet en costume Japonais”)
Mendapat inspirasi dari woodblock prints karya Hiroshige, Gauguin mengembangkan ide non-naturalistic landscapes. Bisa dilihat inspirasinya pada batang pohon yang melintang maupun penerapan warna, dan bandingkan dengan karya Hiroshige “The Plum Garden in Kameido” dibawah ini.
Penerapan warna, bentuk dan garis pada “Vision After the Sermon” diapresiasi karena keberaniannya. Warna merah polos (flat) melawan representasi lazimnya untuk earth subjects. Begitu juga warna coklat pada batang pohon, warna hitam pada garmen, warna putih, semuanya dalam color shading yang minimal. Warna merah, hitam dan putih ini menonjol dibandingkan warna lainnya, menopang the visual energy of the scene, terutama merah memberikan kekuatan to the struggle that is occurring.
Dalam memotret “Vision After the Sermon”, Gauguin memainkan distorsi bentuk, exaggerating features, dan memainkan garis kontur yang kuat ketimbang gradual shifts in tone yang lazim dipraktekkan masa itu. Gauguin menjelaskan tentang hal ini kepada kawannya, yang sama-sama rada gila itu, Vincent van Gogh:
“I think I have achieved in the figures a great simplicity, rustic and superstitious. The whole thing is very severe. The cow under the tree is very small in comparison with reality and rearing up. For me in this picture the landscape and the struggle exist only in the imagination of the people praying owing to the sermon, which is why there is contrast between the life-size people and the struggle in its non-natural, disproportionate landscape.”
Maka bisa dilihat Gauguin membuktikan bahwa sangatlah mungkin untuk menjauhi cara menyatakan diri sebagaimana adanya alam seperti dituntut dalam realisme dan naturalisme, untuk kemudian melangkah dengan cara yang lebih abstrak, bahkan juga dengan cara simbolik.
Cara Gauguin menstrukturisasi lukisannya juga unik. Dia menempatkan batang pohon melintang secara diagonal yang memisahkan sekaligus mensintesakan dua tema: “the visionaries”, yaitu para perempuan yang menonton dan “the vision” yaitu pergulatan Yakub dan malaikat.
Hermeunitika tradisional tentang kisah pergulatan Yakub dan malaikat ini pada intinya adalah tentang pergulatan manusia memakan buah dari “pohon pengetahuan” (knowledge) setelah mengabaikan “hati nurani” (conscience). Dan apa yang disebut “kemenangan” Yakub sebetulnya adalah kemenangan Allah sendiri yang mau turun dalam rupa malaikat yang “bergulat” dengan manusia, yang dalam kisah ini disimbolisasikan dengan otoritas sang malaikat untuk mengubah nama Yakub menjadi Israel, yang artinya “telah menang bergumul dengan Allah ”.
Paradoksal memang, Yakub dikisahkan menang tetapi si malaikat punya otoritas untuk mengubah nama. Mengubah nama artinya menjadikan seseorang “manusia baru”.
Jadi batang pohon yang melintang pada lukisan ini adalah simbol dari knowledge itu sendiri, sedangkan pergulatan Yakub dan malaikat adalah simbol dari conscience yang selalu bergulat dalam kehidupan. Lalu apa makna sapi pada lukisan itu? Sapi, selain domba, dalam Perjanjian Lama adalah simbol kurban, simbol penebusan. Kurban tidak dilihat sebagai pujian apalagi rayuan kepada Allah, karena kodrat ke-Allah-an tidak butuh pujian dan rayuan, tetapi lebih kepada sarana manusia untuk masuk dalam kerahiman-Nya, sebab kodrat Allah adalah kasih (Deus caritas est).
Akan tetapi selain makna biblis dalam Perjanjian Lama itu, sapi adalah juga simbol dari empat orang suci yang dianggap sebagai patron saints untuk wilayah Brittany, mereka adalah: Cornley, Nicodeme, Herbot dan Theogonnie.
Keduabelas perempuan pada “Vision after the Sermon” adalah simbol dari keduabelas suku bangsa Israel keturunan Yakub yang menyebar ke segala penjuru mata angin, sedangkan sosok seorang laki-laki disana adalah simbol patriarch (Yakub sendiri adalah seorang patriarch) dengan kekuasaan magisterium, yang dalam gereja Katolik direpresentasikan oleh Paus dan para klerus dibawahnya.
Di sini ada tiga kelompok perempuan dengan tiga ekspresi iman yang berbeda. Kelompok pertama, dua orang yang duduk paling jauh di belakang dengan ekspresi indifferent. Kelompok kedua, yang empat orang di tengah dengan ekspresi kontemplatif, mereka semua menutup matanya seakan sedang meditasi atau berdoa. Kelompok ketiga, yang tiga orang di depan dengan ekspresi aktif diwakili oleh perempuan yang membuka mata dan nampak antusias menghadapi pergulatan “Yakub dan malaikat” itu. Sedangkan satu-satunya sosok laki-laki yang ada, terlihat juga mengambil sikap kontemplatif.
Silahkan simpulkan sendiri apa makna masing-masing ekspresi tersebut.
****
Dalam surat yang dikirim kepada seniman Claude-Emile Schuffenecker pada akhir Agustus 1888, Gauguin menulis: “Do not paint too much from nature. Art is an abstraction; extract it from nature while dreaming in front of it and pay more attention to the act of creation than to the result.”
Sesungguhnya simbolisme dan abstraksi adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
— Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H