Mohon tunggu...
Josef H. Wenas
Josef H. Wenas Mohon Tunggu... Administrasi - Not available

Not available

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Gudeg

20 Maret 2016   14:06 Diperbarui: 1 Oktober 2019   08:44 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Josef H. Wenas

Makanan tradisional berperan penting dalam ketahanan dan kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional dibuat dengan potensi lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor," kata Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.

Hari ini publik Jogja sepakat kalau gudeg adalah ikon kuliner mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti jejak-jejak sejarah yang panjang, dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di Alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede sekitar abad ke-15. Dalam arti generik, “alas” itu artinya hutan.

Banyak pohon ditebang saat pembangunan itu, diantaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo. Anugerah alam inilah yang menginspirasi dan mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Jumlah mereka banyak, lelah dan lapar, maka nangka muda (disebut “gori”) yang dimasak jumlahnya juga sangat banyak.

Dari konteks historis ini, jelas gudeg tidak lahir dari rahim bourgeoisie, melainkan dari rahim proletariat, begitulah dalam kaca mata Marxisme. Gudeg kemudian menjadi salah satu ekspresi “manunggaling kawula gusti” yang memang sudah berurat akar dalam batin orang Jawa— begitu kata seorang Yesuit ahli budaya Jawa, almarhum Prof. Zoetmulder, SJ.

Kebanyakan gudeg Jogja berbahan nangka muda alias gori, tetapi di kemudian hari ada yang namanya gudeg manggar, berbahan bunga kelapa yang masih sangat muda. Untuk mengaduknya, dalam bahasa Jawa dikatakan “hangudek”, menggunakan alat menyerupai dayung perahu. Dari proses “hangudeg” inilah lalu disebut “gudeg”.

Dalam karya sastra Jawa “Serat Centhini”, disinggung tentang gudeg. Diceritakan di dalamnya, somewhere in the 16th century Raden Mas Cebolang sedang singgah di pedepokan Pengeran Tembayat, somewhere in present-day Klaten, dan di sana Pangeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan, salah satunya adalah gudeg.

Meskipun begitu sebelum jadi makanan tradisional yang setenar sekarang perlu proses panjang. Diungkapkan oleh Prof. Gardjito, karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, sampai dengan awal abad ke-19 di Jogja sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg. Teknologi memasak menentukan, gudeg tentu saja mengikuti perkembangan dari api tungku, ke api minyak tanah hingga api gas. Dulu itu, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Anak sakit akan diajak makan gudeg bila telah sembuh, misalnya. Ada bermacam lagi ungkapan syukur lainnya.

Sejak Presiden Soekarno menggagas pendirian Univesitas Gajah Mada (UGM) pada dekade 1940-an, susul-menyusul institusi pendidikan lain juga didirikan, ada ASRI (ISI hari ini), ada Sanata Dharma, ada lainnya. Lalu Yogyakarta menjadi kota pelajar, gudeg juga mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat.

Lahirnya “gudeg kering” sejalan dengan perkembangan ini, menemani perjalanan kakaknya “gudeg basah” yang lahir sejak semula. Para pelajar pendatang luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh, kemudian menginspirasi hadirnya gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.

Dinamika kampus UGM di Bulaksumur memunculkan sentra gudeg Mbarek yang berdekatan. Boleh dibilang para mahasiswa UGM masa itu adalah konstituen "gudeg kering" pertama yang memungkinkan para penjual gudeg di kampung Mbarek berkembang. Memasuki era Yogyakarta sebagai destinasi wisata internasional menjelang akhir dekade 1960-an, Wijilan di sekitar Kraton menjadi sentra gudeg yang kemudian.

Gudeg Yogya hidup ditengah-tengah generasi zamannya. Hari ini, “Generasi Z" (born 1995-…) mulai memasuki pendidikan tinggi, “Generasi Y" (1977-1994) sedang meniti karir, “Generasi X" (1966-1976) berada pada puncak atau ujung karir mereka dan mulai bersiap-siap pensiun. Masing-masing mereka memiliki cara pandangnya sendiri tentang gudeg.

Sebagaimana sebagian “Generasi Baby Boomers" (1946-1965) pernah memilikinya, dan mengenangnya, dibalik nisan-nisan mereka.

— Yogyakarta, 6 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun