Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ambiguitas Norma Sosial: Penyebab Konflik Orangtua dan Anak?

4 Februari 2022   08:44 Diperbarui: 7 Februari 2022   23:31 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik orangtua dan anak merupakan hal yang semakin marak terjadi. Meski demikian hal tersebut tidaklah normal. Konflik orangtua dan anak jika tidak diterima dan dikelola secara bijak akan berdampang buruk bagi keluarga, dan bagi generasi mendatang tentunya. 

Konflik ornagtua dan anak meliputi berbagai aspek kehidupan dan terkait dengan beragam perbedaan cara pandang. Selain itu tentunya perbedaan era orangtua dan anak pun berperan besar dalam munculnya konflik orangtua dan anak.

Pada artikel ini penulis ingin mencoba beropini mengenai norma social dalam kaitannya dengan konflik orangtua dan anak. Penulis berusaha memberi argumentasi bahwa di lingkungan social masyarakat telah terjadi tranfromasi norma sosial, yang mungkin banyak berbeda dengan norma social 50, 20 atau bahkan 10 tahun yang lalu.

Hal tersebut penulis nilai memiliki sumbangan cukup mendasar dalam maraknya konflik orangtua dan anak. Orangtua menilai perbuatan atau sikap A adalah tidak patut dilakukan. Tapi si anak menganggap sikap A tersebut biasa saja, karena banyak individu melakukannya. Sebaliknya, ada hal yang orangtua anggap perlu dan penting dilakukan. Tapi si anak justru menganggap hal tersebut kuno, ketinggalan jaman dan tidak penting untuk dilakukan.

Kesenjangan semacam itulah yang menjadi kerangka konflik orangtua dan anak. Penulis akan mencoba mengupas ini sesuai pendapat penulis.

Penyebab Umum Kesenjangan Orangtua dan Anak

Perbedaan Kebutuhan

Era orangtua dengan era anak muda sekarang amatlah berlainan. Perkembangan budaya, ekonomi dan teknologi mengubah banyak hal dalam kehidupan seseorang. Kebutuhan tidak sesederhana generasi orangtua. Dulu, barangkali segala hal lebih sederhana dan tidak sekompleks sekarang. Namun semakin kemari kebutuhan seolah-olah menjadi semakin banyak. Kemajuan jaman seakan membentuk banyak kebutuhan baru yang menuntut individu untuk memenuhinya.

Sebagai contoh, pada era orangtua dulu anak-anak memiliki waktu yang banyak untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Mereka banyak mengenal permainan tradisional dan juga budaya-budaya daerah masing-masing. Keterampilan social anak-anak masa itu pun bagus.

Sumber: pexels.com || Ilsutrasi telepon genggam menjadi sebuah kebutuhan
Sumber: pexels.com || Ilsutrasi telepon genggam menjadi sebuah kebutuhan

Namun semenjak menjamurnya telepon genggam, kebiasaan anak-anak pun mulai berubah. Bermain bersama teman sebaya pun kian langka. Anak-anak sudah menemui teman baru yang lebih canggih, yaitu telepon pintar. Akhirnya ketika terjadi pemakluman perubahan kebiasaan ini, handphone atau telepon genggam atau ponsel pintar seolah muncul sebagai kebutuhan baru yang penting. 

Padahal pada masa sebelumnya (era orangtua) kebutuhan akan telepon genggam belum ada. Atau mungkin, telepon genggam hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan komunikasi saja. Tidak seperti sekarang, berbagai aspek kehidupan terpusat dalam kontol ponsel pintar. Telepon genggam tidak hanya menjadi alat komunikasi semata. Ia juga menjadi sumber hiburan hingga alat penunjang pekerjaan seseorang.

Perbedaan Cara Pandang Hidup

Sumber: pexels.com || Ilustrasi pandangan hidup
Sumber: pexels.com || Ilustrasi pandangan hidup

Tentu anda pernah tahu bahwa orangtua jaman dulu menganggap bahwa pekerjaan paling prospektif adalah menjadi PNS. Atau bahkan diantara pembaca pernah diberi harapan oleh orangtua kalau sudah saatnya nanti bekerjalah sebagai PNS. Orangtua menilai bahwa menjadi PNS itu enak, masa tua terjamin, gaji mencukupi dengan pekerjaan kantoran.

Tapi pembaca, mari kita lihat keadaan jaman ini. Pekerjaan yang digandrungi anak-anak muda sangatlah berbeda dari pada favorite job era terdahulu. Anak-anak jaman sekarang menggandrungi pekerjaan yang sama sekali tak dipahami kebanyakan orangtua. Bahkan generasi muda ini sanggup menciptakan pekerjaannya sendiri ! Sebut saja youtuber, vlogger, influencer, brand ambassador dan beragam pekerjaan abad ini yang penulis sendiri pun tidak terlalu mengerti.

Hal tersebut menjadi indikasi bahwa dari sisi cara pandang hidup pun orangtua dan anak sudah sangat berbeda. Ini sudah memberi sumbangan terhadap kesenjangan orangtua dan anak. Anak muda memandang hidup dan dunia sama sekali berlainan dengan cara pandang orangtua.

Globalisasi 

Sumber: pexels.com || Ilustrasi globalisasi
Sumber: pexels.com || Ilustrasi globalisasi

Jaman edan merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi sekarang ini. Dimana dunia yang luas ini terasa sempit. Arus globalisasi membuat kita merasa dunia ini ada dalam genggaman. Mungkin keadaan ini juga yang membuat individu era sekarang ini cenderung lebih menganggap enteng kehidupan.

Globalisasi membawa dampak negatif yang mencolok disamping banyak dampak positifnya. Dampak negatif yang menonjol dari globalisasi adalah individualisme. Hal ini tentu kontradiktif dengan definisi dari globalisasi itu sendiri. Manusia cenderung individualisti di era globalisasi dikarenakan seluruh aktivitasnya terpusat pada kemajuan teknologi yang hampir semuanya terkontrol pada ponsel pintar. Demikianlah ponsel pintar merupakan anak kandung dari globalisasi. 

Keadaan ini yang sering menjadikan tidak click-nya orang tua dan anak-anak. Sementara pada era kebanyakan orangtua, kerjasama dan solidarity masih sangat kental. Nilai-nilai tersebut erat dipeluk karena arus globalisasi belum sederas sekarang ini. Dan teknologi pun belum semutakhir seperti sekarang.

Penyebab Khusus Kesenjangan Orangtua dan Anak : Ambiguitas Norma Sosial

Pada bagian ini penulis ingin mengungkap persoalan inti dari pendapat penulis. Duduk perkaranya terletak pada kenyataan bahwa ada suatu pergeseran pemahaman mengenai norma sosial antara generasi terdahulu (para orangtua) dengan generasi muda sekarang (anak-anak). Lebih detail, ada perbedaan mengenai sesuatu yang diyakini sebagai norma social antara generasi orang tua dengan generasi anak-anak. 

Secara singkat, fenomena ini kerap menimbulkan konflik tak berujung antara orang tua dengan anak-anak mereka di setiap rumah tangga. Orangtua menganggap anak-anak jaman sekarang sebagai pribadi yang tak tahu sopan santun dan tidak memiliki kepedulian. Sebaliknya, anak-anak sering memandang orangtua sebagai manusia kolot yang selalu membanggakan pencapaian di masa lampaunya.

Begitulah bagi penulis ada sebuah fenomena ambiguity of social norms. Fenomena yang memunculkan pertanyaan reflektif, "norma social seperti apa yang saat ini dianut oleh masyarakat ?".

Pengertian Norma Sosial

Sumber: pexels.com || Ilustrasi norma sosial
Sumber: pexels.com || Ilustrasi norma sosial

Sebelum menelisik lebih lanjut, kita semua perlu memahami betul apa yang dimaksud dengan norma social. Untuk lebih jelasnya kita akan memetik beberapa definisi dari para ahli tentang norma social.

  1. Menurut Antony Giddens, norma adalah sebuah prinsip atau aturan yang jelas, nyata atau konkret yang harus diperhatikan oleh masyarakat.
  2. Menurut E. Utrecht, norma merupakan segala himpunan petunjuk hidup yang mengatur mengenai segala macam bentuk tata tertib, disuatu masyarakat atau bangsa yang mana aturan tersebut harus di taati oleh setiap masyarakat. Apabila dilanggar, akan mendapat suatu tindakan dari pemerintah.
  3. Menurut Soerjono Soekanto, norma merupakan suatu perangkat yang dibuat dengan tujuan supaya hubungan dalam masyarakat berjalan sesuai yang diharapkan.

Ciri Norma Sosial

  • Tidak tertulis
  • Hasil Kesepakatan Masyarakat
  • Ditaati oleh seluruh anggota masyarakat
  • Pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelanggar norma sosial
  • Norma sosial memiliki prinsip flexibility, berubah mengikuti perubahan sosial
  • Perubahan aturan-aturan tergantung pada keinginan masyarakat

Sumber Umum Norma Sosial

  • Hati nurani, merupakan starting point dari norma sosial. Ini berkaitan dengan keyakinan yang bersumber pada hati individu. Bagaimana pandangannya terhadap ketidakpatutan sosial, kejahatan, ketidakadilan dan ketidakbenaran.
  • Hukum, negara dengan produk perundang-undangannya juga menjadi sumber bagi norma sosial yang tidak tertulis. Rasa berkewajiban masyarakat dalam menjalankan aturan negara kemudian menjadi semacam pandangan hidup yang mengikat secara tidak tertulis.
  • Agama, poin ini kental dan terasa di Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi aturan keagamaan menjadi tools untuk upaya ketertiban dalam masyarakat. Bahkan daerah tertentu masih menggunakan aturan keagamaan di masyarakatnya, seperti Aceh.

Penggunaan Berlebih Smartphone : Penyebab Ambiguitas Norma Sosial ?

Penulis melakukan sebuah wawancara daring dengan salah satu mahasiswi program studi Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Gracia Omega. Menurutnya, generasi tua memiliki kecenderungan sikap yang lebih disiplin terhadap anak-anaknya, tidak mentolelir kesalahan dan terbiasa dengan hukuman. Sementara di generasi sekarang, anak-anak muda cenderung memiliki gaya hidup yang santai dan biasa membantah orangtua. 

Sikap hidup dan gaya hidup yang dianut anak-anak muda era ini menurut Gracia tidaklah lepas dari pengaruh media social yang akrab di kalangan anak muda. Sehingga media social juga berpengaruh kepada pembentukan frame generasi muda terhadap kepatutan sikap dan perbuatan di dunia social (norma sosial).

Poin inilah yang bagi penulis menjadi penyebab utama terjadinya pergeseran pandangan generasi muda terhadap aturan-aturan tertentu di kehidupan sosial (norma sosial). Dengan demikian apa yang dianggap tidak normal pada masa sebelumnya bisa jadi akan normal di masa sekarang. Sebaliknya apa yang dianggap normal atau biasa saja di masa lalu, bisa saja dianggap unik atau bahkan aneh dan ketinggalan jaman di masa sekarang.

Dalam 24 jam (sehari) berapa waktu yang Anda gunakan untuk menggunakan aplikasi chat, media sosial, game online atau beragam platform online lainnya ? Yakinkah bahwa hal tersebut tidak berdampak pada cara pandang kita terhadap aturan-aturan tertentu dikehidupan sosial ? 

Sumber: pexels.com || Ilsutrasi penggunakan ponsel pintar berdampak pada pelunturan kehangatan sosial
Sumber: pexels.com || Ilsutrasi penggunakan ponsel pintar berdampak pada pelunturan kehangatan sosial

Hal kecil saja soal sapa-menyapa. Era sebelumnya, kehangatan sosial mungkin sangat terasa. Senyum dan saling sapa adalah hal wajib saat bertemu orang lain. Terutama terhadapa orang yang lebih tua. Nilai ini terus dijaga dan secara tidak langsung menjadi aturan (norma) yang mengikat. Apabila tidak dilakukan (dilanggar) maka akan ada hukum tertentu dari masyarakat sekeliling (hukum sosial). 

Tapi di jaman ini, kehangatan sosial tersebut makin jarang dirasakan. Dunia sosial menjadi dingin, kebersamaan menjadi dangkal. Tentu sebagian anak muda menganggap kebersamaan saat mereka melakukan main bareng game online, bukan? Dan hal ini dianggap normal dan biasa-biasa saja, karena kebanyakan orang menormalisasikannya. 

Belum lagi bila kita bicara tentang budaya luar yang diserap oleh generasi muda sekarang. Mulai dari gaya bicara, berpakaian, hingga barang konsumsi. Anak-anak muda menganggap budaya luar lah yang patut diterapkan. Budaya luar tersebut sangat mudah diakses dan ditiru hanya melalui penggunaan ponsel pintar. Sayangya, tidak semua budaya luar yang digandrungi tersebut  sesuai bila diterapkan di Indonesia. 

Sumber: pexels.com || Ilustrasi budaya barat 
Sumber: pexels.com || Ilustrasi budaya barat 

Demikanlah penggunaan ponsel pintar secara berlebihan akan menipiskan dampak positif dari ponsel pintar itu sendiri. Bahkan cenderung memiliki daya rusak yang tinggi. Jangan sampai ponsel pintar yang berfungsi sebatas alat bantu pekerjaan manusia ini berubah menjadi sumber inti dari pembentukan nilai-nilai dan norma-norma sosial baru yang membawa dampak kurang baik bagi kehidupan sosial.

Nilai-nilai sosial yang masyarakat muda anut sama sekali lain dari era sebelumnya. Hal ini menyebabkan kebingungan pada orangtua yang sebagian besar tumbuh dewasa pada era sebelum generasi milenial. Janganlah ketidaknormalan jaman ini dianggap biasa saja. Perlu ada sikap kritis dari seluruh masyarakat, terutama untuk anak-anak muda. Mari coba kritisi ulang kebiasaan kita yang kerap bermesraan dengan teknologi, khususnya ponsel pintar. Apakah kebiasaan itu memiliki andil dalam pembentukan "kenormalan-kenormalan" tertentu yang menyebabkan konflik orangtua dan anak?

Kesimpulan

Begitulah bagi penulis jaman ini terjadi kemenduaan terhadap norma sosial. Hal yang sebenarnya jika ditelaah lebih dalam tidaklah normal semakin dianggap biasa-biasa saja karena banyak orang yang melakukan. Bahkan kebiasaan-kebiasaan berpotensi merusak yang kemudian dinormalisasikan tersebut berperan dalam pembentukan norma sosial baru yang mengkhawatirkan.

Fenomena ini dapat secara detail dilihat dari hubungan orangtua dan anak. Hubungan keduanya merupakan cerminan tajam dari  fenomena yang penulis sebut sebagai ambiguitas norma sosial. Terjadi kebingungan di kedua belah pihak, norma sosial seperti apa yang sebenarnya dianut ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun