Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kelola Sampah, Suburkan Tanah

14 September 2021   10:00 Diperbarui: 14 September 2021   10:07 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMK Bagimu Negeriku Semarang mengumpulkan sampah organik di Pasar tradisional untuk dijadikan pupuk ramah lingkungan

Bertani memang kian hari kian dianggap kuno. Saat ini mungkin hanya bapak-ibu sepuh saja yang sudi untuk tetap bertani. Bertani semakin asing bagi anak-anak muda. Apalagi ditengah arus teknologi sekarang ini, berkecimpung di pertanian seolah ketinggalan jaman.

Nyata dari fakta tersebut, bahwa sebenarnya persoalan ketidakpopuleran pertanian merupakan sebuah masalah. Berkaitan dengan Indonesia sebagai negeri agraris, dengan logika sederhana pun kita bisa mengerti : kalau kita tidak bertekad menghasilkan sesuatu, maka kita akan menjadi konsumen. Memang bukankah dengan mudahnya mendapat barang tertentu secara online anak muda semakin hari "diarahkan" menjadi semakin konsumtif ?

Di dunia pertanian lokal tak hanya dari sisi sumber daya manusianya yang berkurang, pemahaman bertani dengan cara yang bijak pun semakin luntur. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan pupuk kimia yang tidak terkontrol. Penggunaan pupuk kimia sendiri bertujuan agar hasil yang didapat terlihat memuaskan. Tetapi tidak sadar bahwa hal tersebut memiliki dampak buruk untuk lingkungan, khususnya bagi kesuburan tanah bila digunakan berlebihan.

Penggunaan pupuk kimia secara tidak terkontrol (berlebihan) akan mengganggu kehidupan mikroorganisme didalam tanah. Hal ini terjadi karena tanah akan menjadi asam, sehingga teksturnya tidak gembur, keras dan cenderung liat apabila terkena air. Tentu akan mengganggu aktivitas mikroorganisme dalam tanah, yang fungsinya adalah melakukan dekomposi bahan organik dari tumbuhan maupun hewan yang sudah mati, sebagai pupuk alami bagi tumbuhan.

Sumber : pixabay.com ilustrasi penggunaan pestisida secara berlebihan
Sumber : pixabay.com ilustrasi penggunaan pestisida secara berlebihan

Celaka bukan? sudah semakin berkurangnya jumlah petani, masih ditambah lagi persoalan pemahaman bertani yang kian hari kian tidak bijak. Petani tidak mau repot mengolah tanah agar tetap lestari dan tidak tercemar.

Dengan persoalan demikian ini, kita sebagai masyarakat yang menyadarinya harus segera bertindak dimulai dari lingkungan terdekat.

Siswa SMK Bagimu Negeriku Semarang berkunjung ke pasar Mijen dan Mangkang, Kota Semarang setiap subuh untuk mengambil sampah organik sisa kegiatan jual-beli di Pasar. Hal ini dilakukan untuk pembuatan pupuk organik cair maupun padat. Tujuan utamanya adalah mengembalikan kesuburan tanah yang sebelumnya rusak dan liat akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang tidak terkontrol.

Siswa SMK Bagimu Negeriku Semarang mengumpulkan sampah organik di Pasar tradisional untuk dijadikan pupuk ramah lingkungan
Siswa SMK Bagimu Negeriku Semarang mengumpulkan sampah organik di Pasar tradisional untuk dijadikan pupuk ramah lingkungan

"Melalui kegiatan ini, diharapkan kami anak-anak muda dapat kembali menghayati anugerah indah Tuhan kepada negeri ini. Bertani bukan hal kuno yang harus dijauhi, melainkan wujud syukur atas anugerah yang sudah Tuhan kasih.", ujar Yosua, siswa kelas 11 Multimedia SMK Bagimu Negeriku Semarang saat di wawancarai pada 14 September 2021.

Sampah-sampah ini terdiri dari kulit buah, sisa-sisa sayuran, sisa parutan kelapa, cangkang telur dan jeroan ayam. Sampah yang sudah terkumpul, kemudian dicacah menjadi potongan kecil agar proses fermentasi menjadi semakin efektif. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan cairan eco-enzym, yang juga dibuat sendiri oleh anak-anak tersebut dari kulit buah dan air molase (tetes tebu).

Sampah organik dicacah untuk mempermudah proses fermentasi/Dokpri
Sampah organik dicacah untuk mempermudah proses fermentasi/Dokpri

Setelah proses fermentasi dilakukan selama kurang lebih 2 minggu, sampah organik sudah bisa disebut sebagai pupuk. Siap untuk digunakan untuk pupuk organik pertanian.

Siswa SMK Bagimu Negeriku memasukkan pupuk organik hasil fermentasi kedalam tanah sebagai upaya mengembalikan kesuburan tanah/Dokpri
Siswa SMK Bagimu Negeriku memasukkan pupuk organik hasil fermentasi kedalam tanah sebagai upaya mengembalikan kesuburan tanah/Dokpri

Pembaca yang budiman, kita sebagai masyarakat mungkin bisa melakukan upaya sederhana seperti contoh fakta diatas untuk kembali melestarikan alam negeri. Kerusakan demi kerusakan yang timbul tidak jauh sebab musababnya, dari kita sendiri yang berperilaku tidak bijak.

Tanah dan segala isinya, udara dan segala isinya, air dan segala isinya adalah anugerah indah dari Tuhan untuk negeri ini. Tugas kita untuk melestarikannya, bukan hanya mengeksploitasinya. Tentu agar anak-cucu kita dikemudian hari dapat merasakan kayanya negeri ini.

Mudah-mudahan contoh pengelolaan sampah organik oleh siswa SMK Bagimu Negeriku dapat kita teladani. Bahwa untuk berkontribusi melestarikan alam bukanlah hal rumit. Bahkan bisa mulai dilakukan dengan mengelola sampah dengan bijak dari rumah !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun