Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoroti Salah Kaprah Pendidikan yang Terjadi di Sekolah

20 September 2021   14:39 Diperbarui: 29 September 2021   11:53 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi nilai tinggi | Sumber: Pixabay

Mulanya Sekolah adalah tempat berdiskusi

Dalam beberapa catatan sejarah, seorang filsuf masyhur Yunani, Plato mendirikan suatu tempat untuk mendalami filsafat di belantara sekitaran Athena. Tempat belajar ini dinamai Academus, sesuai dengan nama pahlawan Attica dalam mitologi Yunani.

Di kemudian waktu, tempat itu dikenal dengan nama academi. Semenjak itu pula, "academi" seperti ini menjamur di seluruh penjuru bumi. Berperan juga dalam perkembangan peradaban dunia.

Sekolah kuno pertama ini berdiri sekitar tahun 427-347 SM di Athena, Yunani. Semenjak itu, kegiatan pendidikan tidak lagi merupakan kunjungan keliling para cendekiawan dan filsuf untuk mengajar ke penjuru kota. 

Melainkan, belajar adalah kegiatan pada suatu tempat. Artinya, sang guru tidak lagi berkeliling untuk mengajar, ia sudah menetap pada suatu tempat.

Murid-murid Plato di akademinya ini banyak berdiskusi mengenai topik-topik tua seperti filsafat dan matematika. 

Berdiskusi amatlah penting di lingkungan akademi Plato ini. Plato tidak menekankan kegiatan belajar searah, melainkan berdialog dan berdiskusi.

Ilustrasi berdiskusi, metode belajar pada sekolah mula-mula) | Sumber: Pixabay
Ilustrasi berdiskusi, metode belajar pada sekolah mula-mula) | Sumber: Pixabay

Maka bukan kebetulan kalau tulisan-tulisan Plato dibuat dalam format dialog. Tercatat, Plato banyak menulis surat (epistles) dan dialog-dialog filsafat yang hingga kini masih bisa kita temui dan nikmati.

Sekolah sendiri dilihat dari akar katanya berasal dari bahasa Latin "schola", yang konon memiliki arti "waktu senggang". 

Masyarakat Yunani masa itu memang memiliki kebiasaan mengisi waktu senggang untuk belajar hal-hal baru dari para guru. Mereka berdiskusi karena memiliki rasa ingin tahu akan suatu hal.

Rasa ingin tahu inilah yang terus terpelihara karena proses berdiskusi. Diskusi antar murid dan guru zaman itu yang memunculkan berbagai pemikiran dan teori filsafat, politik, teologi dan bahkan astronomi. 

Berdiskusi juga merupakan metode pengajaran yang dilakukan Socrates, hingga ia melahirkan tokoh-tokoh pemikir besar yang bermula dari muridnya, Plato.

Salah tapi lumrah di Sekolah?

Belajar dari sejarah, dapat kita petik pelajaran bahwa sekolah adalah tempat untuk seseorang memelihara dan memuaskan rasa ingin tahunya dengan cara berdiskusi. 

Rasa ingin tahu ini tentu erat kaitannya dengan pengalaman kehidupan individu tersebut.

Dari sejarah kita juga belajar bahwa posisi semua orang adalah setara baik si murid maupun guru, karena proses pendidikan mereka adalah dua arah, yaitu berdiskusi.

Saat ini perlu kita kritisi, proses pendidikan yang seharusnya holistik, relevan dengan kehidupan si pembelajar, dan berjalan dua arah, apakah masih lurus terjadi? Atau ada hal-hal menyimpang yang semakin hari makin dianggap biasa saja?

Anak-anak di sekolah tentu menjadi subyek utama proses pendidikan. Apapun yang menjadi strategi, visi dan upaya di sekolah semata-mata dilakukan untuk perkembangan sang anak. Tentu setiap kita orang dewasa setuju bahwa anak harus berkembang sesuai minat, bakat, dan potensinya.

Namun fenomena saat ini, yang terjadi adalah anak mengalami semacam penghambatan yang tidak disadari dalam proses perkembangannya, yang ironis banyak terjadi di lingkungan sekolah dan kian hari kian lumrah terjadi. 

Tentu penulis tidak sedang melakukan generalisasi fenomena ini kepada sekolah sebagai institusi pendidikan secara umum. 

Penulis bermaksud menyampaikan bahwa fenomena ini banyak terjadi di lingkungan sekolah.

Penghambatan seperti apa yang dimaksud?

1. Labelling

Bicara anak sebagai subyek utama pendidikan, secara tidak langsung memposisikan orang dewasa terdekatnya sebagai pemegang peranan penting. 

Ini berarti stimulus orang dewasa terhadap anak tidak bisa dianggap remeh. Itu adalah hal penting yang sangat berpengaruh bagi perkembangan anak.

Mari kita orang dewasa sedikit berkaca diri. Acapkali kita sebagai pemandu, pendamping dan pendidik anak menjadi egosentris ketika berhubungan dengan mereka. 

Kita sering kali menggunakan sudut pandang kita sebagai patokan pada tindak-tanduk anak. Apa yang tidak sesuai dengan kehendak kita dianggap sebagai pelanggaran.

Mari bayangkan dalam sebuah ruang kelas, terlihat beberapa anak yang amat antusias mengikuti pelajaran matematika, duduk serius di barisan terdepan.

Ketika sang guru melontarkan beberapa pertanyaan, anak-anak terdepan ini memiliki respon menjawab yang cukup cepat. 

Mereka kerap kali mendapat nilai di atas rata-rata. Hal tersebut tentu membuat bangga sang guru. Kemudian, bagaimana dengan anak-anak lainnya?

Anak-anak lain nampak ada yang sungguh mengikuti pelajaran namun tidak konsisten. Ada pula yang menggigit pulpen sembari melayangkan pandang keluar kelas. Ada yang asyik mencorat-coret gambar tak jelas di kertas. Ada pula di sudut belakang kelas anak yang sedang asyik dengan lamunanya.

Anda bisa membayangkan apa yang ada dalam pikiran sang guru? 

Anak responsif yang berada di barisan terdepan adalah anak-anak rajin dan yang serius bersekolah. Berarti pula serius untuk belajar. Mereka rajin mencatat, rajin menghitung, rajin menjawab dan serius memperhatikan apapun yang diucapkan sang guru.

Bagaimana dengan anak-anak yang lain? Anak-anak lain yang melamun adalah anak-anak malas. Anak yang mencorat-coret di kertas adalah anak-anak bandel sulit diatur. Anak-anak yang memperhatikan namun tidak konsisten juga tak jauh dari anak-anak malas.

Begitu kira-kira bayangan penulis mengenai apa yang sedang sang guru pikirkan mengenai anak-anaknya di kelas.

Hal apa yang terjadi kemudian? Banyak kemungkinan yang akan terjadi, tapi semuanya selalu mengarah pada labelling anak. 

Semua gambaran tentang anak pada pikiran orang dewasa lama-kelamaan akan mencuat ke dunia nyata, dan hal ini akan mengena sekali pada diri anak apabila sudah termanifestasi dalam perkataan dan tindakan. Ini akan berpengaruh pada persepsi anak mengenai dirinya.

ilustrasi labelling akan memperngaruhi persepsi anak tentang dirinya | Sumber: Pixabay
ilustrasi labelling akan memperngaruhi persepsi anak tentang dirinya | Sumber: Pixabay

Apakah si anak yang sedang mencorat-coret di kertas selalu anak malas? Tentu tidak. Barangkali memang si anak tidak punya minat dalam mata pelajaran matematika atau yang berbau eksak lainnya. 

Mungkin saja si anak akan lebih berkembang apabila diarahkan untuk mendalami seni lukis, menggambar atau seni grafis. 

Lalu kenapa harus dipaksa untuk mendalami matematika, fisika atau kimia, yang sama sekali tidak ia minati? Bukankan melalui seni si anak juga bisa belajar untuk berkembang ?

Mungkin juga si anak yang sedang asyik dengan lamunannya akan tertarik pada pelajaran bahasa, yang di dalamnya terdapat materi mengarang cerita, membuat cerpen, pantun atau puisi. Ketidaksukaannya terhadap pelajaran yang tidak ia sukai bukan merupakan kebodohan, bukan?

Poin yang penulis maksud di sini bukan mengenai detail minat anaknya (karena pada prinsipnya apapun minat anak, selama itu positif akan menjadi samudera anak untuk mengembangkan dirinya). Yang penulis tekankan adalah bagaimana fenomena labelling ini sering terjadi di lingkungan sekolah. 

Dan celakanya, labelling terjadi pada area ketidaksadaran orang dewasa di sekolah. Kita sebagai orang dewasa sering tidak sadar apabila sedang melakukan labelling pada anak.

Labelling di sekolah memicu terjadinya labelling di rumah

Labelling di sekolah inilah yang menjadi pemicu labelling oleh orangtua terhadap anak di rumah. 

Tak jarang kita jumpai bahwa orangtua akan sangat bangga apabila anaknya mendapat prestasi pada mata pelajaran tertentu (missal matematika, fisika, kimia atau bahasa inggris). Sementara orangtua yang anaknya lemah di mata pelajaran tersebut, menganggap si anak lemah dan tak berprestasi.

Atau mungkin juga ada tipe orang tua yang bangga pada anaknya hanya apabila si anak mendapat nilai bagus di semua matapelajaran. Sehingga apabila ada satu saja nilai mata pelajaran yang di bawah kriteria tertentu, maka itu dianggap sebagai kegagalan.

Lalu apakah pemikiran ini hanya berputar di kepala orangtua saja? Tentu ini akan mengena pada diri anak.

Maka bagi penulis, tak jarang fenomena malas, pornografi dan kecanduan game merupakan akibat dari labelling orang dewasa terhadap anak-anak. 

Tidak ada suasana yang mendukung dari lingkungan terdekatnya untuk pengembangan minat anak, yang bisa saja amat unik dan jarang ditemukan.

labelling kerap terjadi pada area ketidaksadaran orangtua atau pendidik

Labelling merupakan hal ironis dan benar-benar terjadi. Sekali lagi, labelling sering terjadi pada area ketidaksadaran kita sebagai orang dewasa.

2. Anak sebagai subyek pasif

Kegiatan yang terjadi di sekolah sekarang ini sering kita sebut sebagai kegiatan belajar-mengajar. Apapun yang dilakukan, disederhanakan dengan istilah ini. Tentu perlu kita gali penggunaan istilah belajar-mengajar ini.

Apakah istilah belajar-mengajar ini berarti bahwa subyek yang belajar adalah anak dan subyek yang mengajar adalah guru? 

Apakah kegiatan di sekolah hanya sesederhana itu? 

Bagi penulis hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang terjadi di sekolah adalah aktivitas satu arah yang perlu dikritisi

Ilustrasi model pembelajaran satu arah | Sumber: Pixabay
Ilustrasi model pembelajaran satu arah | Sumber: Pixabay

Akan lebih bijak bila setiap individu yang berada di sekolah memposisikan dirinya sebagai seorang pembelajar. Yang sudi belajar dari siapa pun, bahkan dari murid atau anaknya sendiri!

Sehingga dalam bayangan ideal mengenai manusia pembelajar ini, tidak ada lagi anggapan terhadap anak sebagai subyek pasif yang tidak tahu apa-apa. Di mana anak wajib menerima apapun yang ditransfer orang dewasa kepadanya. Bukan hal seperti itu yang seharusnya terjadi di sekolah.

Agak aneh bukan apabila segala ilmu di bumi yang dianggap penting ini diajarkan kepada anak dengan segala latar belakang yang berbeda? Apakah setiap anak akan menerima dengan cara dan porsi yang harus sama? Apakah semua ilmu itu relevan dengan kehidupan anak?

 ilustrasi anak yang tidak menyukai pelajaran | Sumber: Pixabay
 ilustrasi anak yang tidak menyukai pelajaran | Sumber: Pixabay

Maksud dari anak sebagai subyek aktif adalah bagaimana minat dan kecintaan anak akan sesuatu hal merupakan hal utama, yang berada di atas segala tuntutan eksternal di luar dirinya.

Biarlah anak terbiasa mengkritisi suatu hal sejak dini, tentu dengan cara yang berbeda-beda. Dan jangan dihalang-halangi.

Ketidaksetujuan anak akan suatu hal bisa diekspresikan dengan banyak tindakan. Di sinilah maksud peran pendidik sebagai fasilitator. Kita sebagai pendidik harus jeli memperhatikan perilaku anak.

Jika anak sudah terbiasa menjadi subyek aktif sejak dini, maka kebebasan dan kemerdekaan itu pun akan terus dibawanya hingga ke jenjang persekolahan berikutnya. Tanpa rasa takut dan minder.

3. Nilai bagus sudah cukup

Anak memiliki nilai mata pelajaran baik sering kali disamakan dengan berhasilnya pendidikan. Apakah benar demikian?

Hal tersebut tidaklah sepenuhnya tepat. Poin inilah yang menurut penulis sangat umum terjadi di sekolah.

ilustrasi nilai tinggi | Sumber: Pixabay
ilustrasi nilai tinggi | Sumber: Pixabay

Sekolah sebagai institusi pendidikan akan berdusta apabila mendidik anak menggunakan kacamata angka saja. 

Angka yang Nampak justru sering kali tidak menunjukkan kedalaman upaya mengembangkan anak-anak menjadi pribadi yang holistik.

Ingat, anak adalah jiwa-jiwa pencari/eksploratif (istilah yang digunakan Romo Mangunwijaya). Artinya apabila seorang anak saat ini sedang gandrung oleh robot-robotan, bisa jadi bulan depan ia tertarik pada bintang-bintang. Atau bahkan minggu depan, fokusnya sudah beralih pada hewan-hewan dan tumbuhan. Tentu hal demikian bukanlah masalah.

Anak-anak selalu memiliki minat yang tak terduga. Meski tidak jarang ada anak-anak yang sudah menunjukkan minatnya terhadap bidang spesifik tertentu.

Keragaman dan dinamisnya minat anak inilah yang harusnya disikapi aktif dan bijak oleh pendidik (dalam hal ini, pendidik yang berada di lingkungan sekolah). 

Kita sebagai orangtua dan pendidik harus sabar mengikuti dinamika minat anak ini sampai pada satu titik si anak benar-benar menunjukkan atensi terhadap bidang tertentu.

Tentu sekali lagi selama proses pencarian itu, tidak serta-merta harus dilakukan pengukuran dengan angka. Lebih parah lagi bila ditambah embel-embel tuntutan angka kriteria minimum tertentu.

Perkembangan anak secara holistik tidak melulu dapat diukur dengan angka. Angka tinggi pantas untuk anak-anak yang memiliki minat di bidang tersebut yang ia minati.

Apabila ada anak yang tidak menyukai bidang tersebut, kenapa harus dituntut untuk memenuhi kriteria minimum (yang terkesan dipaksakan)? Sehingga tak jarang kemudian berdampak pada lunturnya rasa ingin tahu anak pada bidang yang sebenarnya ia minati dari hati (alami).

Begitulah, angka tinggi tidak selamanya merupakan keberhasilan pendidikan. Sebaliknya, bisa saja ia menjadi senjata penumpulan jiwa eksploratif anak.

Refleksi

Sekolah merupakan tempat utama pendidikan setelah keluarga. Seyogyanya kita sebagai orang dewasa dan pendidik menggunakan cinta dan humanisme dalam mendidik anak-anak di sekolah. 

Mementingkan perkembangan anak di atas segala tuntutan yang bersifat sementara. Agar anak-anak berkembang secara mendalam, tidak melulu diukur dengan angka-angka. 

Mudah-mudahan dengan upaya memperbaiki segelintir fenomena diatas yang terjadi, sekolah dapat kembali menjadi tempat penggemblengan anak-anak untuk merdeka berpikir. Bukan menjadi tempat anak-anak menjadi takut berpikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun