Hal tersebut tidaklah sepenuhnya tepat. Poin inilah yang menurut penulis sangat umum terjadi di sekolah.
Sekolah sebagai institusi pendidikan akan berdusta apabila mendidik anak menggunakan kacamata angka saja.Â
Angka yang Nampak justru sering kali tidak menunjukkan kedalaman upaya mengembangkan anak-anak menjadi pribadi yang holistik.
Ingat, anak adalah jiwa-jiwa pencari/eksploratif (istilah yang digunakan Romo Mangunwijaya). Artinya apabila seorang anak saat ini sedang gandrung oleh robot-robotan, bisa jadi bulan depan ia tertarik pada bintang-bintang. Atau bahkan minggu depan, fokusnya sudah beralih pada hewan-hewan dan tumbuhan. Tentu hal demikian bukanlah masalah.
Anak-anak selalu memiliki minat yang tak terduga. Meski tidak jarang ada anak-anak yang sudah menunjukkan minatnya terhadap bidang spesifik tertentu.
Keragaman dan dinamisnya minat anak inilah yang harusnya disikapi aktif dan bijak oleh pendidik (dalam hal ini, pendidik yang berada di lingkungan sekolah).Â
Kita sebagai orangtua dan pendidik harus sabar mengikuti dinamika minat anak ini sampai pada satu titik si anak benar-benar menunjukkan atensi terhadap bidang tertentu.
Tentu sekali lagi selama proses pencarian itu, tidak serta-merta harus dilakukan pengukuran dengan angka. Lebih parah lagi bila ditambah embel-embel tuntutan angka kriteria minimum tertentu.
Perkembangan anak secara holistik tidak melulu dapat diukur dengan angka. Angka tinggi pantas untuk anak-anak yang memiliki minat di bidang tersebut yang ia minati.
Apabila ada anak yang tidak menyukai bidang tersebut, kenapa harus dituntut untuk memenuhi kriteria minimum (yang terkesan dipaksakan)? Sehingga tak jarang kemudian berdampak pada lunturnya rasa ingin tahu anak pada bidang yang sebenarnya ia minati dari hati (alami).