Labelling di sekolah inilah yang menjadi pemicu labelling oleh orangtua terhadap anak di rumah.Â
Tak jarang kita jumpai bahwa orangtua akan sangat bangga apabila anaknya mendapat prestasi pada mata pelajaran tertentu (missal matematika, fisika, kimia atau bahasa inggris). Sementara orangtua yang anaknya lemah di mata pelajaran tersebut, menganggap si anak lemah dan tak berprestasi.
Atau mungkin juga ada tipe orang tua yang bangga pada anaknya hanya apabila si anak mendapat nilai bagus di semua matapelajaran. Sehingga apabila ada satu saja nilai mata pelajaran yang di bawah kriteria tertentu, maka itu dianggap sebagai kegagalan.
Lalu apakah pemikiran ini hanya berputar di kepala orangtua saja? Tentu ini akan mengena pada diri anak.
Maka bagi penulis, tak jarang fenomena malas, pornografi dan kecanduan game merupakan akibat dari labelling orang dewasa terhadap anak-anak.Â
Tidak ada suasana yang mendukung dari lingkungan terdekatnya untuk pengembangan minat anak, yang bisa saja amat unik dan jarang ditemukan.
labelling kerap terjadi pada area ketidaksadaran orangtua atau pendidik
Labelling merupakan hal ironis dan benar-benar terjadi. Sekali lagi, labelling sering terjadi pada area ketidaksadaran kita sebagai orang dewasa.
2. Anak sebagai subyek pasif
Kegiatan yang terjadi di sekolah sekarang ini sering kita sebut sebagai kegiatan belajar-mengajar. Apapun yang dilakukan, disederhanakan dengan istilah ini. Tentu perlu kita gali penggunaan istilah belajar-mengajar ini.
Apakah istilah belajar-mengajar ini berarti bahwa subyek yang belajar adalah anak dan subyek yang mengajar adalah guru?Â
Apakah kegiatan di sekolah hanya sesederhana itu?Â