Begitu kira-kira bayangan penulis mengenai apa yang sedang sang guru pikirkan mengenai anak-anaknya di kelas.
Hal apa yang terjadi kemudian? Banyak kemungkinan yang akan terjadi, tapi semuanya selalu mengarah pada labelling anak.Â
Semua gambaran tentang anak pada pikiran orang dewasa lama-kelamaan akan mencuat ke dunia nyata, dan hal ini akan mengena sekali pada diri anak apabila sudah termanifestasi dalam perkataan dan tindakan. Ini akan berpengaruh pada persepsi anak mengenai dirinya.
Apakah si anak yang sedang mencorat-coret di kertas selalu anak malas? Tentu tidak. Barangkali memang si anak tidak punya minat dalam mata pelajaran matematika atau yang berbau eksak lainnya.Â
Mungkin saja si anak akan lebih berkembang apabila diarahkan untuk mendalami seni lukis, menggambar atau seni grafis.Â
Lalu kenapa harus dipaksa untuk mendalami matematika, fisika atau kimia, yang sama sekali tidak ia minati? Bukankan melalui seni si anak juga bisa belajar untuk berkembang ?
Mungkin juga si anak yang sedang asyik dengan lamunannya akan tertarik pada pelajaran bahasa, yang di dalamnya terdapat materi mengarang cerita, membuat cerpen, pantun atau puisi. Ketidaksukaannya terhadap pelajaran yang tidak ia sukai bukan merupakan kebodohan, bukan?
Poin yang penulis maksud di sini bukan mengenai detail minat anaknya (karena pada prinsipnya apapun minat anak, selama itu positif akan menjadi samudera anak untuk mengembangkan dirinya). Yang penulis tekankan adalah bagaimana fenomena labelling ini sering terjadi di lingkungan sekolah.Â
Dan celakanya, labelling terjadi pada area ketidaksadaran orang dewasa di sekolah. Kita sebagai orang dewasa sering tidak sadar apabila sedang melakukan labelling pada anak.
Labelling di sekolah memicu terjadinya labelling di rumah