Mohon tunggu...
hasran wirayudha
hasran wirayudha Mohon Tunggu... Wiraswasta - welcome to my imagination

orang kecil dengan cita-cita besar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

THR Buah Perjuangan Buruh Tempo Doeloe

27 Mei 2019   09:26 Diperbarui: 27 Mei 2019   09:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : liputan6.com

THR atau tunjangan hari raya merupakan salah satu yang paling ditunggu-tunggu oleh para pekerja saat bulan Ramadhan sebelum libur panjang leberan, THR biasanya akan dibayarkan maksimal 2 minggu sebelum lebaran, para pemberi kerja baik itu negri atau perusahaan swasta wajib memberikan karyawannya THR yang telah bekerja minimal 1 tahun sebesar 1 kali upah dan karyawan yang bekerja kurang dari satu tahun THR nya dibayar proporsional.

Namun tahukah kalian kalau THR itu hanya ada di Indonesia?

THR pertama kali muncul yaitu pada tahun 1951-1952 pada masa kabinet Soekiman Wirjosandjojo yang menjabat sebagai perdana mentri ke 6 Indonesia dengan wakilnya yang bernama Suwiryo, kabinet pada masa itu dikenal dengan nama kabinet sukiman-suwirjo.  saat berjalannya kabinet sukiman-suwirjo itulah pertama kalinya THR diperkenalkan dan dibayarkan sebagai bentuk tunjangan sebelum hari raya, namun saat itu THR hanya dilaksanakan oleh pemerintah sehingga yang menerima THR hanyalah para aparatur sipil saja, sedangkan pekerja swasta tidak mendapatkannya.

Pemberian THR saat itu memang belum memiliki landasan hukumnya sehingga nilainya pun bersifat sukarela tidak ada ketentuan pasti mengenai perhitungannya. kemudian kaum buruh saat itu berada dalam kondisi kemiskinan absolut yang pada hari-hari biasa saja kesulitan untuk mencukupi kebutuhannya apalagi saat lebaran tiba, 

Maka atas dasar itulah serikat buruh indonesia yang bernama SOBSI (sentral organisasi buruh seluruh indonesia) memulai perjuangannya menuntut hak-hak buruh mendapatkan THR.

Pada sidang dewan nasional ke 2 pada bulan maret 1953 SOBSI mulai menyuarakan dengan lantang tuntutannya untuk pemberian tunjangan hari raya untuk semua buruh sebesar 1 kali gaji kotor, tetapi sayangnya SOBSI ini kemudian di cap sebagai PKI.

Karena pemerintah belum juga memenuhi tuntutan SOBSI maka mereka terus menerus berjuang tanpa henti hingga pada tahu 1954 keluarlah dalil peraturan pemerintah no 27 tahun 1954 tentang "persekot hari raja". sayangnya persekot itu hanya dinikmati oleh pegawai negri saja sedangkan kaum buruh tidak mendapatkannya. 

Akibat desakan kaum buruh yang semakin besar maka pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan edaran yang berisi tentang "hadiah lebaran" untuk kaum buruh berdasarkan keikhlasan perusahaan yang besarnya seperdua belas dari upah antara Rp 50- Rp 300.

Kemudian pada tahun berikutnya 1955,1956,1957, dan 1958 pemerintah masih belum juga mengeluarkan peraturan untuk mengganti surat edaran sehingga surat edaran itu tidak memiliki dasar hukum yang mengikat perusahaan untuk memberikan "hadiah lebaran", akibatnya banyak perusahaan yang tidak memberikan "hadiah lebaran " pada buruh.

Melihat kondisi itu serikat buruh khususnya SOBSI terus berjuang menuntut diberikannya THR untuk buruh, hingga pada tahun 1961 pada masa kabinet kerja II mulai menunjukkan titik terang dengan peraturan yang dikeluarkan oleh mentri perburuhan yaitu Ehem Erningpraja yang mewajibkan diberikannya THR pada pekerja atau buruh yang telah bekerja sekurang-kurangnya 3bln, meski saat itu nilainya belum 1 kali upah, namun ini merupakan awal yang bagus sebab dengan adanya peraturan ini para pemberi kerja atau perusahaan wajib hukumnya memberikan THR.

Masuknya orde baru dianggap sebagai pro buruh dengan keluarnya surat keputusan mentri tenaga kerja tahun 1967 yang berisi substansi dari peraturan mentri perburuhan 1961 sebagai dasar perhitungan besaran THR yang menjadi hak buruh sehingga tuntutan buruh dapat diprediksi dan dinetralisir ketika tuntutannya sudah melebihi batas hukum.

Akan tetapi peraturan 1967 itu hanya memberikan angin segar pada buruh hingga tahun 1968 sebab pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang perburuhan ( Undang-undang derajat hukumnya lebih tinggi daripada peraturan mentri) sebagai pijakan orde dalam bidang perburuhan. 

Di mana seiring waktu pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam bidang ekonomi dengan pilar ekonomi kapitalis liberal dalam penataan sosial masyarakat. termasuk di dalamnya, restrukturiasi politik yang dapat menciptakan kendali atas gerakan buruh, guna pembangunan ekonomi.

Dalam kontrol sosial politk inilah perubahan besar terjadi terhadap THR buruh, melalui surat edaran mentri tenaga kerja Mohammad Sadli yang menjabat sebagai ketua komite penanaman moda asing mempermasalahkan keberadaan THR yang membebani perusahaan sehingga diminta untuk mencari pengganti THR. 

Adanya pengganti THR akan menarik minat investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi istilah pengganti THR memiliki arti yang ambigu sehingga memberikan kesempatan pada pengusaha untuk menetapkan pengganti THR secara sepihak dan ini jelas sangat merugikan kaum buruh.

Adanya surat edaran itu membuat kaum buruh sulit  menuntut perusahaan untuk membayarkan THR yang selama ini mereka perjuangkan tanpa henti. apalagi saat itu pemerintah sangat membatasi berbagai jenis gerakan yang sifatnya menuntut pemerintah, buruh mulai terbiasa dengan ketiadan THR , sehingga selama 20 tahun kemudian kaum buruh atau organisasi buruh tidak lagi mempertanyakan perihal THR. 

Pada masa itu kaum buruh tidak diberikan hak lagi menyuarakan aspirasinya secara mandiri apalagi jika menyangkut soal hak dan kepentingan, makanya pada zaman orde baru tidak ada istilahnya mogok kerja karena ini bisa dikategorikan sebagai perlawanan terhadap negara dan hukumnya jelas penjara.

Memasuki tahun 90an para kaum buruh yang sudah muak dengan pemerintah yang tidak memperhatikan buruh kemudian melakukan perlawanan dengan mogok kerja pada tahun 1994, pemogokan yang paling besar saat itu terjadi di medan, dengan besarnya dampak yang diakibatkan mogok kerja itulah pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan yang isinya serupa dengan peraturan mentri 1967 dan melalui mentri tenaga kerja menyerukan membayarkan THR paling lambat 14 hari sebelum lebaran. tetapi meski sudah diserukan mentri tenaga kerja masih banyak perusahaan yang belum membayar THR 1 hari sebelum lebaran.

Seiring hancurnya orde baru dan memasuki masa revolusi kaum buruh terus menerus memperjuangkan THR setiap tahunnya hingga pemerintah kemudian semakin memperhatikan kaum buruh dan memberikan apa yang mereka perjuangkan selama ini yaitu THR  sebesar 1 kali upah. 

Mungkin ketika organisasi buruh melakukan demo banyak orang menganggap remeh bahkan mencibirnya, padahal selama ini apa yang telah kita dapatkan khususnya THR merupakan buah hasil perjuangan mereka untuk semua buruh di Indonesia dan buah itu bisa dinikmati oleh semua pekerja. jadi jangan anggap sepele kaum buruh, adanya mereka merupakan andil terhadap apa yang kita nikmati saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun