Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara agraris. Dengan jumlah 7,1 juta hektar sesuai data dari BPS yang dirilis terakhir pada 2018. Dengan lahan seluas ini, pembaca mengira bahwa semuanya itu dikelolah oleh petani secara keseluruhan dan banyak orang yang ingin menjadi petani. Akan tetapi semuanya itu tidak sesuai dengan yang kita bayangkan, bahwa menurut data BPS terakhir pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah petani di Indonesia. Jumlah petani yang rendah berpotensi mempengaruhi produksi komuditas pangan nasional. Kesenjangan akan terjadi jika jumlah permintaan terlalu tinggi dan jumlah produksi yang terlalu rendah sehingga menyebabkan tingginya harga komuditas pangan di pasar. Semua hal tersebut terjadi dikarenaka adanya tren urbanisasi. Urbanisasi tersebut banyak dilakukan kalangan anak muda didesa yang ingin merubah taraf ekonomi mereka. Hal ini menyebabkan kurangnya minat masyarakat dalam mengelolah sektor pertanian.
Pada periode awal masa kepemimpinan Joko Widodo, terdapat Sembilan agenda prioritas yang diberi nama "Nawacita" salah satu agenda yang termuat dalam Nawacita adalah membuat kebijakan Agraria berupa agenda Reforma Agraria dan strategi pembangunan Indonesia dari pinggiran yang dimulai dari daerah dan desa. Melalui kebijakan ini diharapkan terjadinya pembenahan agraria berupa, "Menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Hal tersebut diwujudkan dengan lahirnya peraturan presiden nomor 45 Tahun 2016 tentang rencana kerja pemerintah tahun (RKP) 2017. Di dalam RKP 2017 ini, Reforma agraria menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah, yang dijalankan dalam kesatuan enam aspek, yakni:
- Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria.
- Penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria.
- Kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah objek reforma agrarian.
- Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atau  tanah obyek reforma agraria.
- Pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola oleh masyarakat.
- Kelembagaan pelaksana reforma agraria pusat dan daerah dengan adanya kebijakan reforma agraria.
Dalam realita sebenarnya kurang efektifitas pemerintah dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi. Program Kepemilikan Tanah Seluas 9 Juta hektar ini masih termasuk dalam implementasi dari land reform dimana bertujuan agar setiap warga negara mempunyai kesempatan untuk memiliki tanah, sebagai tempat menetap atau sebagai tempat memperoleh sumber penghidupan secara layak. Dalam program ini terbagi menjadi 2 sub program yang dijalankan yakni 4,5 Hektar diperuntukkan legalisasi aset dan 4,5 Hektar diperuntukkan dalam program redistribusi Tanah. Maka dari itu, dengan adanya kebijakan pemerintah dengan membagikan sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat di daerah-daerah dianggap sudah menyelesaikan masalah yang terjadi. Namun, program agraria ini  belum dapat dikatakan sebagai program yang berhasil karena dalam pembagiannya tidak merata dan masih hanya segelintir orang saja. Masih banyak konflik-konflik yang belum deselesaikan oleh pemerintah khususnya di sektor perkebunan yang selalu menempati posisi pertama dalam konflik agraria. Konsorium pembaruhan agrari mencatat sedikitnya telah terjadi 1771 letusan konflik agraria di Indonesia pada tahan 2015-2018. Sebanyak 642 konflik agrarian terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan hak guna usaha-hak guna usah perusahan negara dan swasta. Pemerintah jokowi-Jk selalu beragumen bahwa telah menjalankan reform agrarian melalui redtribusi tanah 9 juta hektar yang dibagi ke dalam 4,5 juta hektar redtribusi tanah dan 4,5 juta hektar legalisasi tanah kepada petani dan rakyat kecil. Dalam realisasinya belum menyasar kepada akar masalah dan kurangnya partisipasi rakyat dalam menyikapi hal ini.
Sungguh ironis banyak konflik agraria yang terjadi tetapi tidak ada sebuah penyelesaian yang serius dilakukan pemerintah dalam menyikapi hal tersebut. Temasuk semakin maraknya pembakaran hutan tiap tahun yang menyebabkan rusaknya ekosistem serta polusi udara juga masih saja terjadi. Peran pemerintah sangat kurang dalam melihat fenomena tersebut, kian banyaknya pembebasan lahan untuk perkebunan sehingga banyak masyarakat mempertanyakan terkait hak guna usaha yang sering menjadi akar permasalahan di sektor agraria.
Ruu pertanahan masih menjadi pembahasan bagi tiap orang yang melihat proses pembuatan undang-undang tersebut dan pengesahannya. Isi pasal yang sangat tidak elok menyebabkan masyarakat yang kurang sepakat dalam hal ini. Timbul pro kontra yang terjadi di tengah masyarakat menyikapi ruu yang telah dicanangkan ini. Banyak ketimpangan yang terjadi dalam isi pasal di ruu tersebut.
Dalam pasal 42-45 ruu pertanahan dijelaskan bahwa  tidak memiliki prinsip menyelesaikan konflik, sumber kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis. Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir seluruh bab dan pasal ruu tersebut. Prinsip reforma agraria adalah keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA). Dalam ruu tersebut juga dijelaskan bahwa pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara. pemerintah juga memiliki hak untuk menertibkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk kemudian menjadi tanah negara. ini menjadi polemic ditengah masyarakat khususnya para petani di Indonesia.
Dalam pasal 25 RUU Pertanahan  berisi tentang  bahwa mengubah perpanjangan hak guna usaha ( HGU ) dari 35 tahun menjadi bisa diperpanjang dua kali sehingga total mencapai 90 tahun. Padahal , UUPA menyebutkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) hanya bisa dilakukan sekali saja. Hal ini juga menyebabkan reaksional masyarakat yang tidak kunjung selesai. Kita ketahui akar permasalahan konflik agraria terjadi dikarenakan permasalahan hgu yang kian tak jelas ditambah ruu yang mengubah bahwa HGU tersebut dapat diperpanjang hingga dua kali.
Pada  pasal 79-81 RUU Pertanahan terkait sistem pengadilan pertanahan. Pembentukan pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria structural yang selama ini terjadi. Justru, pembentukan pengadilan pertanahan hanya semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat atas tanah mereka. Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas. Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin dan tanah adat diukur bukan berdasarkan legalitas melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan hak, dan historis penempatan tanah secar turun temurun.
Sering terjadi  ancaman kriminalisasi kepada masyarakat yang hendak berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan yg diatur pada pasal 94 ruu pertanahan. Pasal-pasal itu berpotensi dapat mempidanakan petani, masyarakat miskin, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan.
Dengan kondisi ini, banyak pihak yang menilai RUU Pertanahan hanya bertujuan mendorong investasi semata. Banyak orang mengatakan bahwapemerintah hanya memfasilitasi perpanjangan hak guna usaha. Dengan disahkannya RUU itu dapat menimbulkan bencana ekologis. Berbagai pasal didalam RUU pertanahan membuka peluang korporasi untuk memiliki lahan. Sementara, selama ini korporasi terbukti kerap melakukan kegiatan berbahaya bagi lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang sedang terjadi di sumatera dan Kalimantan merupakan salah contohnya. Impilikasinya, banyak perusahaan besar nanti akan membakar hutan dan lahan. Terbatasnya tanah bagi masyarakat juga akan membuat kesenjangan kepemilikan lahan antara laki-laki dan perempuan semakin besar. Mengutip data Badan Pertanahan Nasional, hanya sekitar 24,2 % lahan saat ini terdaftar atas nama perempuan.
Ombudsman Republik Indonesia sebelumnya meminta agar pembahasan RUU pertanahan dihentikan karena dianggap tidak mengakomodir konflik-konflik agraria. Konflik-konflik terkait pertanahan masih tetap terjadi. Apakah UU ini dapat mereduksi konflik-konflik yang ada?. Menurut data yang telah dicatat oleh ombudsman selama 2015-2019 terdapat jumlah kasus pertanahan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada lembaga tersebut, yakni sekita 4.806 kasus. Kasus maladministrasi proses Sertifikat Hak Milik (SHM) menempati laporan terbanyak pada periode bulan januari - juni tahun 2019 dengan jumlah laporan sebanyak 128 laporan. Kasus terbanyak kedua adalah penerbitan sertifikat sebanyak 96 laporan dang anti rugi pembebasan tanah sebanyak 46 laporan.
Sangat diharapkan dalam pembahasan dan pengesahan RUU pertanahan perlu dikaji dan didiskusikan kembali serta di pertimbangkan, apakah RUU ini sudah relevan untuk diterapkan dengan kondisi masyarakat saat ini?
Jika tidak, batalkan saja. Tidak usah diperdebatkan lagi karena sejatinya semua kebijakan yang dikeluarkan harusnya memiliki nilai positif yang menguntungkan masyarakat bukan malah semata-mata demi kepentingan segelintir orang hingga para petani dan masyarakat kecil sering menjadi korban sistem kebijakan yang tak relevan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H