Pada 2004, saya memulai perkuliahan di Universitas Sumatera Utara (USU). Di fakultas dan jurusan apa? Pertanyaan itu yang sering membuatku minder pada tahun pertama kuliah. Saya mengambil jurusan ilmu sejarah di fakultas sastra. Bagi banyak orang, jurusan tersebut bukanlah jurusan yang menjanjikan untuk masa depan. Ketika ada orang yang menanyakan soal jurusanku, saya kurang percaya diri menjawabnya. Padahal, jurusan tersebut adalah pilihan pertamaku sewaktu seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Di jurusan yang dianggap "kering" itulah saya menemukan dua sahabat yang luar biasa: Tongam dan Ganda. Tongam yang berasal dari Tarutung, memiliki ketekunan dalam belajar bahasa asing. Makanya saya tidak heran bila di kemudian hari dia melanjutkan dan menyelesaikan studi di Jerman. Sementara Ganda yang berasal dari Sibolga, memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Kedua sahabat inilah yang pada akhirnya membuat rasa percaya diriku tumbuh dan berkembang.
Kami bertiga kuliah di jurusan dan kelas yang sama, sehingga kami selalu bertemu di kampus. Kami sering mengerjakan tugas secara bersama-sama. Kami mencari buku ke perpustakaan, makan di kantin, dan saling berkunjung ke tempat kos. Kebersamaan semakin erat ketika kami masuk dalam komunitas yang sama, Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS). Bahkan ketika kami dipercaya sebagai pengurus, kami pun tinggal di sekretariat komunitas tersebut. Jurusan dan komunitas yang sama, membuat kami sering berjalan bersama-sama terutama di kampus. Oleh sebab itulah, banyak orang yang menyatakan kami sebagai Trio Kwek-Kwek. Seolah-olah tidak bisa dipisahkan.
Komunitas yang kami ikuti sangat besar pengaruhnya bagi persahabatan. Di komunitas ini kami rutin mengikuti diskusi-diskusi kritis terkait berbagai persoalan bangsa seperti pendidikan, politik, ekonomi, situasi nasional, dan hal-hal yang aktual. Diskusi rutin diadakan dua kali dalam seminggu. Hasil diskusi ditindaklanjuti dengan aksi seperti menulis, aksi sosial, dan turun ke jalan (demonstrasi).
Diskusi yang rutin menghadirkan kesadaran kritis dan kemampuan menganalisis masalah. Selain itu, di komunitas ini tersedia buku-buku bermutu yang bisa dibaca. Komunitas juga berlangganan koran Kompas dengan harga mahasiswa. Kolom opini menjadi bacaan wajib bagi saya dan juga buat kedua sahabat tersebut. Modal diskusi dan bacaan itulah yang menjadi vitamin bagi kami untuk menulis di beberapa media cetak, membuat selebaran, dan mengikuti lomba karya tulis.
Kadang kami melakukan aksi pembagian selebaran di kampus. Selebaran biasanya berisi seputar persoalan pendidikan. Kadang ikut juga beraliansi dengan komunitas lain melakuakan aksi demonstrasi pada momen tertentu seperti pada Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional. Sebenarnya kami tidak terlalu sering mengikuti aksi demonstrasi, tetapi yang jelas pada setiap demonstrasi pasti menyebarkan tulisan/selebaran. Â
Soal demonstrasi, ada cerita menarik terkait soal pengiriman surat izin tidak bisa masuk kuliah. Waktu itu jadwal demonstrasi bersamaan dengan jadwal kuliah. Kami bertiga pun sepakat bahwa masing-masing menulis surat izin tidak kuliah karena aksi tersebut. Tetapi redaksinya kami perhalus. Kami katakan berhalangan kuliah karena ada acara diskusi dengan DPRD Sumatera Utara terkait persoalan pendidikan. Belakangan kami tahu dari cerita teman satu kelas, ternyata sang profesor itu geleng-geleng kepala sambil membacanya di depan mahasiswa. Untungnya kami bertiga masih bisa lulus mata kuliah yang diampu profesor tersebut.
Kegiatan kami bukan hanya yang serius seperti kuliah, diskusi, menulis, dan aksi sosial. Sebagai mahasiswa, kami juga menikmati masa-masa muda dengan menyalurkan hobi dan menikmati hiburan. Setiap Sabtu kami bersama teman-teman yang lain selalu bermain bola di lapangan, tidak jauh dari sekretariat. Bermain sambil tertawa. Setelah bermain di lapangan hijau, biasanya kami minum teh sambil bercerita soal banyak hal termasuk mengomentari permainan teman-teman lain yang dianggap lucu.
Pada malam Minggu, masing-masing kami mengayuh sepeda ke warung makan. Kami bertiga biasanya makan buah bersama atau makan mie kuah. Beberapa kali kami memesan semangkuk mie kuah jumbo, lalu kami makan semangkuk bertiga. Kami bergantian menikmati mie tersebut sambil bercanda.
Kantong mahasiswa yang terbatas dan tergantung lancarnya tidaknya kiriman dari orangtua, membuat saya harus bijak mengelola keuangan. Bila uang tidak ada di tangan, maka kedua sahabat inilah yang paling diharapkan dapat membantu. Demikian juga sebaliknya. Pokoknya, sahabat adalah orang pertama yang siap membantu bila ada masalah apa pun termasuk juga ketika salah satu diantara kami mengalami sakit.