Mohon tunggu...
Jhon Rivel Purba
Jhon Rivel Purba Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti BRIN

Hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juli

20 Juli 2023   00:07 Diperbarui: 20 Juli 2023   00:37 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai pemuda yang hidup pas-pasan, terasa berat memang mendanai biaya operasional sekolah itu. Kalau hanya mengharapkan gajiku sebagai dosen tidak tetap dan dari honor menulis, tak akan cukup membiayainya. Untunglah ada beberapa teman-temanku sewaktu kuliah yang masih mau memberikan recehannya untuk sekolah ini hingga sekarang.

"Ngapain kau urus anak orang, uruslah dirimu dulu", itulah pernyataan mamaku yang sering dilontarkannya. Tapi aku mencoba menjelaskannya dengan nada-nada lembut, berharap bisa dipahaminya. Namun ternyata susah juga dipahaminya karena baginya kesuksesan dilihat dari seberapa banyak harta yang dimiliki.

Tidak sedikit juga orang menganggapku sebagai orang gila dan aneh. Aku merasa dunia ini sudah terbalik. Yang benar dianggap gila tapi yang gila dianggap benar. "Bukankah mengasihi orang miskin bagian dari ibadah?" tanyaku dalam hati. Bagiku ibadah yang hidup bukanlah berdoa, sholat, puasa, dan merayakan hari besar keagamaan. Aku muak dengan pejabat-pejabat yang pura-pura beragama tapi kerjanya mencuri uang rakyat.

Rasanya susah mempercayai pejabat-pejabat itu. Entah mengapa aku selalu geram ketika melihat pejabat berpenampilan mewah. "Jangan-jangan mobil mewah yang dimiliki pejabat itu adalah hasil korupsi", pikirku dalam hati dengan kecurigaan. "Bukankah anak-anak yang malang ini adalah korban keserakahan pejabat?" tanyaku kembali meski kutahu jawabannya.

Sekarang, hanya anak-anak inilah yanng bisa kupercayai. Mereka polos, tulus, dan jujur. Aku selalu berharap mereka tidak diracuni oleh pejabat-pejabat itu. Aku ingin anak-anak ini bertumbuh di dalam kejujuran dan kesederhanaan. Dengan melihat wajah mereka, aku optimis masih ada harapan perubahan di negeri ini.

"Pak, tugas Juli sudah siap", kata si Juli dengan semangat. Juli memang selalu lebih cepat mengerjakan tugas berhitung dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.

"Ya, sudah. Kumpul ya... yang lain sudah siap?"

"Belum, Pak!", kata murid yang lain serentak.

Kembali aku teringat dengan si Juli yang di negeri orang tersebut. Apalagi hari ini adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Seperempat abad. Aku benar-benar merindukan kehadirannya dan ingin menagih janji-janjinya.

Setelah semua siswa mengumpulkan tugasnya, aku kembali berdiri di depan siswa. Seperti biasa sebelum mengakhiri pertemuan, aku selalu menyampaikan kata-kata motivasi. "Anak-anak...", aku mulai memberikan kata-kata semangat tetapi semua mata siswa tidak tertuju padaku, melainkan ke pintu masuk. Aku pun mencoba melihat ke pintu. Ternyata ada sosok yang tak asing dalam pikiranku.

Dia yang hadir itu adalah Juli, gadis yang selama ini hinggap di pikiranku. Dia tersenyum malu-malu. Aku pun jadi tersenyum. Untuk mencairkan suasana, aku menyalam dia dan memberi waktu memperkenalkan diri kepada anak-anak. Setelah itu aku heran, anak-anak begitu dekat dengan dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun