Mohon tunggu...
Jhonny Sitorus
Jhonny Sitorus Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Seorang biasa yang ingin berbagi hidup dengan orang lain malalui tulisan-tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Akhirnya, 'Demi Ucok' Saya Tonton!

3 Januari 2013   15:29 Diperbarui: 9 Maret 2017   08:00 1928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus saya akui, saya sudah lupa kapan terakhir beli tiket untuk nonton film Indonesia di bioskop. Tapi kali ini, saya rela membeli tiket bioskop, 'hanya' untuk menonton film 'Demi Ucok'. Film ini menurut saya layak ditonton, karena menyuguhkan ide cerita drama orisinil, yang dikemas secara jenaka. Padahal secara umum, film ini sebenarnya mengisahkan sebuah konflik prinsip, antara ibu dan anak perempuannya. Sang ibu bernama Mak Gondut menginginkan anaknya segera menikah, karena usianya sudah mendekati 30 tahun. Sementara anak semata wayangnya, Gloria Sinaga, ingin mewujudkan mimpinya menjadi sutradara terkenal. "Kawin dulu lah kau, baru kejar mimpi-mimpi…” “Ga mau! Glo  gak  mau hidup menjadi sia-sia. Glo mau mengejar mimpi.” “Egois sekali itu, hidup harus untuk sesama. Baru itu namanya hidup yang berarti.“

-- cuplikan konflik ibu dan anak dalam 'Demi Ucok'

Konflik keduanya dibungkus apik oleh sutradara film ini, Sammaria Simanjuntak. Di premiere 'Sang Ucok' bertepatan dengan Hari Ibu bulan Desember 2012, Samaria mengaku film ini berkisah tentang dirinya yang 'dipaksa' segera menikah. Bahkan ia tak tanggung-tanggung mengeksplor film ini, dengan meminta ibunya sendiri, Lina Marpaung--wanita ini biasa disapa Mak Gondut--untuk turut bermain film. Di film ini, Mak Gondut berhasil meraih Piala Citra 2012 sebagai aktris pendukung terbaik. Aktingnya mampu mengalahkan Merriem Bellina (dalam film 'Pest Pack You’re My Baby'), Wulan Guritno (Dilema), Kenes Andari (Hello Goodbye) dan Christine Hakim (Rayya Cahaya di Atas Cahaya). Ini adalah film kedua Sammaria, setelah film 'Cin(t)a. Sama persis di dalam kisah film ini, Gloria (diperankan oleh Geraldine Sianturi) ingin mewujudkan film keduanya, setelah empat tahun vakum. Beruntung, dalam membuat film ini, Sammaria mendapat rekan-rekan tim yang hebat, termasuk ibunya. Sebagai sutradara, penulis skenario dan sekaligus produser, ia harus menggaji kru, pemain, membayar pajak dan merilisnya ke bioskop. Di dalam film, Gloria kelimpungan mencari dana membuat film yang mencapai Rp 1 miliar. Sedangkan Sammaria berhasil mencari dana penyelesaian film ini hingga mencapai Rp 250 juta. Cara Gloria dan Samaria menggalang dana pembuatan film, intinya tetap sama, yakni bersama ibunya menggunakan media sosial, salah satunya melalui website www.demiapa.com. Bedanya, Gloria dan Mak Gondut sempat mengunjungi seorang napi di lapas untuk meminta bantuan dana. Sepertinya, saya bisa menebak-nebak siapa tokoh Batak korup yang di sel mewah penjara itu. Hehehe.. Seorang kawan saya bercerita, Mak Gondut dan Sammaria bergerilya mencari dana pembuatan film 'Demi Ucok'. Salah satunya mendatangi jemaat gereja JPCC di kawasan Bunderan HI, kemudian memutar trailler film ini usai acara ibadah. Banyak sekali jemaat non-etnis Batak yang mengapresiasi pembuatan film ini, karena diyakini kaya edukasi keluarga, budaya nasional dan toleransi. Hal yang unik, di akhir kisah film ini, Sammaria tak saja menampilkan nama-nama para kru 'Demi Ucok'. Sekitar 1.000-an orang (atau mungkin lebih?) tampil usai deretan nama kru film. Menurut Sammaria di acara premiere beberapa waktu lalu, para donatur yang sudah menyumbangkan dana film ini baik lewat media sosial dan door stop, akan ditampilkan di deretan kru sebagai co-produser. Mulai dari tokoh politik, penggiat seni, pengusaha, mahasiswa/pelajar, jurnalis, pedagang dan ibu rumah tangga. Bahkan, mata saya menemukan nama Jokowi-Ahok di deretan co-produser film ini. Sayangnya, mata saya tak menemukan nama Pak Beye atau menteri yang berwenang mendukung industri film nasional. Bagi saya, film terbaik versi Majalah Tempo 2012 ini, tak saja menargetkan calon penonton dari komunitas Batak di Tanah Air. Film yang menyuguhkan dialog-dialog jenaka ini, cukup menghibur penonton dari luar etnis Batak yang mulai jenuh oleh film-film lokal di bioskop bertema 'setan' dan 'susu'. Mudah-mudahan film mencerdaskan dan menghibur seperti ini, muncul kembali. Dari film ini saya sadar, betapa sulitnya mencari uang di dunia film. Berbeda dengan industri sinetron televisi yang bisa 'hidup' dari iklan, film nasional membutuhkan dukungan masyarakat dan regulasi pemerintah. Jika film-film seperti ini selalu muncul di layar bioskop, setiap orang akan malu membeli DVD bajakan. (@jhonnysitorus)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun