Mohon tunggu...
Jhonny Sitorus
Jhonny Sitorus Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Seorang biasa yang ingin berbagi hidup dengan orang lain malalui tulisan-tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Doa Warga HKBP di Setiap Tahun Baru

1 Januari 2013   18:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:40 3846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi tradisi warga gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), setiap memulai tahun baru selalu diawali dengan acara ibadah di setipa keluarga. Di saat hiruk-pikuk pesta kembang api di luar rumah atau di pusat-pusat keramaian, namun suasana khusuk menyelimuti rumah keluarga Batak yang beragama Kristen. Saya belum pernah melihat tradisi Kristen ini dijalankan oleh etnis di luar Batak. Jika saya keliru, mohon dikoreksi.

Sebenarnya, tulisan tentang ibadah keluarga Batak bertepatan dengan pergantian tahun, sudah sering diulas panjang lebar. Acara 'mandok hata' ini, merupakan ritual sekelompok masyarakat (Batak) yang sudah terpelihara secara turun-temurun. Bahkan bisa jadi, kegiatan yang dimulai tepat pukul 12 malam atau 00.00, menjadi satu-satunya tradisi di masyarakat Batak yang ada di dunia ini. Unik, karena ketika masyarakat umum merayakan pesta kembang api, namun masyarakat batak menuntup pintu rumah untuk beribada bersama keluarga.

Biasanya, tata cara beribadah sebelum ibadah dimulai sudah diperoleh saat ibadah 'tutup tahun' di gereja HKBP. Sudah ada susunan acaranya, sehingga pemimpin ibadah tinggal membaca dan diikuti oleh anggota keluarga. Salah satu hal yang membedakan ibadah awal tahun keluarga dengan ibadah lainnya, yakni adanya acara 'mandok hata' atau pesan dan kesan anggota keluarga, dimulai dari anggota keluarga yang terkecil hingga tertua dan akhirnya ditutup dengan doa.

'Mandok hata' ini bisa dibilang salah satu demokrasi yang sudah ada di masyarakat Batak sejak lama. Setiap anggota keluarga diberikan kesempatan bicara apa saja tentang keluhan selama tahun yang sudah lewat dan harapan di tahun baru. Tak jarang, ada anggota keluarga yang menumpahkan emosi hingga menangis, karena selama ini mungkin memendam uneg-unegnya. Atau ada juga anggota keluarga yang diam seribu bahasa, meski akhirnya di tahun mendatang di acara yang sama menumpahkan keluh-kesahnya. Biasanya, anak-anak paling ditunggu komentarnya pertama kali. Selain mereka punya permintaan lucu, seperti meminta tambahan uang saku atau minta dibelikan mainan, tingkah polah mereka menggemaskan karena sulit sekali diminta pertama kali untuk bicara. Ketika masih kecil, saya pernah merasakan sulitnya bicara di depan umum. Namun karena acara ini saya ikuti bertahun-tahun, akhirnya komunikasi saya bisa lancar.

Konon, tradisi ini tetap dijalankan oleh warga HKBP yang ada di luar negeri. Sebagai gereja terbesar di Asia Tanggara, warga HKBP banyak yang tinggal di negara tetangga, Eropa, Amerika Serikat dan di beberapa negara Arab. Bagi warga HKBP yang sudah berkeluarga, tradisi ini sangat baik untuk memupuk persaudaraan dan kekeluargaan, serta mampu memperbaiki komunikasi yang selama ini terganggu. Bagi warga HKBP yang tetap mempertahankan tradisi ini, menunjukkan bahwa keluarga merupakan hal terutama di tengah godaan pesta tahun baru yang luar biasa meriahnya di luar rumah sana.

Dan hal yang terindah dari acara ini adalah doa, yang biasanya dilakukan secara syafaat oleh pemimpin ibadah atau orang yang dituakan. Doa ini biasanya merupakan inti dari rangkuman keluh-kesah seluruh anggota keluarga yang hadir. Kemudian, usai mengumpulkan persembahan (kolekte) untuk gereja dan doa penutup, acara ini diakhiri dengan jabat tangan, peluk-cium hingga meneteskan air mata. Biasanya, menangis karena terharus sudah melampiaskan keluh-kesah atau tanda permintaan maaf atas kesalahan selama ini.

Mudah-mudahan, tradisi masyarakat Batak yang beragama Kristen ini bisa lestari. Dengan menghindari pesta pora menyambut pergantian tahun, acara ini merupakan 'titik nol' memulai sebuah perubahan yang dikomunikasikan bersama keluarga. Saya pikir, tak salah jika etnis lain boleh mengadopsi tradisi ini dengan mengemasnya sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun