Baru menjabat setahun, sudah bisa langsung membangun rumah mewah lengkap dengan kendaraan pribadinya. Uang dari mana? Apa benar hanya mengandalkan gaji dan usaha? Tentu ini sangat tidak masuk akal. Maka tak heran juga kita sering menemukan ada BUMDES yang terbengkalai, bangunan fasilitas umum yang tak terawat karena tidak ada niat dan sistem yang berkesinambungan untuk memastikan segala fasilitas yang dibangun terpelihara dengan baik
Suburnya praktek korupsi di desa-desa, sejalan juga dengan suburnya praktek Nepotisme. Hal yang lumrah terjadi di desa, mengangkat kerabat atau keluarga sebagai anggota perangkat desa. Seperti kita tahu, perangkat desa hanya diangkat berdasarkan surat rekomendasi dari Camat atas nama Bupati, dimana calon perangkat desa tersebut juga direkomendasikan atas permintaan kepala desa. Asal tidak melebihi batas umur 42 tahun, maka hal yang mudah bagi kepala desa untuk mengangkat kerabatnya menjadi perangkat desa untuk mengelola administrasi desa tersebut.
Pada Beberapa kasus lain, saat pendistribusian sembako dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kerap kali menjadi masalah besar di desa. Sering terjadi pendistribusian bantuan dari pemerintah tidak dibagikan secara adil oleh kepala desa. Makanya, banyak kasus temuan dari Kemensos terutama saat Covid-19, pendistribusian Bantuan Sosial (Bansos) tidak adil dan merata di desa-desa.
Sering terjadi pembagian bansos yang mengutamakan kerabat dan keluarga sang kepala desa meski kerabat dan keluarganya tersebut tidak berkategori "layak" untuk menerima bantuan sosial sehingga warganya yang seharusnya menerima dengan kategori "layak" atau "miskin" tidak mendapatkan distribusi bansos. Ketidakadilan ini sangat sering terjadi di desa. Meskipun demikian, warga desa hampir sedikit yang mau protes karena kurangnya pemahaman prinsip keadilan dan keterbukaan (transparansi).
Dalam hal pendataan, kepala desa seringkali asal melaporkan data ke pemerintah pusat sehingga timbul kecemburuan sosial antar masyarakat penerima bansos dengan masyarakat yang tidak menerima bansos padahal merasa kurang mampu secara ekonomi.Â
Hal ini juga yang membuat betapa lamanya proses up-date data penerima bansos karena banyak kepala desa yang memberikan data yang lama atau hanya memberi sedikit revisi tanpa survey sehingga bantuan-bantuan banyak yang tidak tepat sasaran.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut diatas menjadi problem utama desa akan semakin menghambat pembangunan desa itu sendiri. Memang, bila desa ada ditangan orang yang berintegritas, maka desa tersebut akan konsisten lebih maju. Tetapi, pada prakteknya tidak banyak desa yang demikian.Â
Apalagi dari alasan kepala desa yang demo, tahun ke enam sudah disibukkan dengan agenda politik, ini artinya tidak ada sistem yang baku yang terbangun didesa tersebut sehingga kala siapapun yang mendrive desa tersebut, akan selalu ada dijalur yang tepat.
Bila sistem yang baku dan benar sudah tercipta dengan baik disertai dengan pengawasan dari masyarakat itu sendiri, maka tidak ada lagi alasan bagi desa untuk memperpanjang masa jabatan. Masa jabatan 5 tahun untuk 1 periode lebih dari cukup.Â
Bahkan, desa yang demokrasinya maju dan kualitas regenerasinya berjalan dengan baik, petahana mestinya harus rela memberi kursi kepada generasi berikutnya untuk memimpin desa tersebut. Desa juga membutuhkan regenerasi kepemimpinan agar desa tersebut bisa berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Desa yang demokrasi dan regenerasinya maju biasanya akan menerapkan prinsip keterbukaan sehingga apapun program yang akan dijalankan, pencapaian dan tanggungjawab keuangan akan dipertanggungjawabkan kembali ke masyarakat melalui forum desa. Karena ruang lingkupnya kecil, kepala desa mestinya bisa melibatkan seluruh warga untuk menentukan program prioritas untuk dilaksanakan bersama.