Praktik Nyata Merusak Demokrasi
Menambah masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun adalah salah satu upaya merusak esensi demokrasi itu sendiri. Bahkan, 6 tahun saja sebenarnya sudah tidak fair karena Presiden sekalipun hanya memperoleh masa jabatan 5 tahun saja setiap periodenya.Â
Masa jabatan 6 tahun saja sudah menjadi sebuah keistimewaan bagi seorang kepala desa, karena dipangkuan merekalah amanat rakyat terlama serepublik ini dipercayakan padahal wilayah otonomi dan administrasi mereka adalah yang paling kecil sehingga tanggungjawabnya tentu tidak sebesar kepala daerah yang diatasnya. Masa jabatan 6 tahun bahkan sudah tidak sesuai lagi dengan konstitusi karena semua jabatan kepala daerah hasil pemilihan langsung diatur hanya 5 tahun saja.
Wacana 9 tahun masa jabatan seorang kepala desa juga memperkecil ruang demokrasi bagi desa itu sendiri sehingga meminalisir lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang cakap di desa, terutama golongan anak muda. Bagaimana tidak, seorang anak muda yang dinilai punya kemampuan yang cakap dalam memimpin harus menunggu setidaknya 9 tahun dan semaksimalnya 27 tahun jika petahana terpilih untuk 3 periode.Â
Hanya hal-hal yang diluar dugaan saja pergantian kepala desa bisa cepat berlangsung, misalnya jika kepala desanya meninggal atau sakit, itupun jabatan pelaksana tugas itu biasanya akan dilimpahkan ke Sekretaris Desa (Sekdes). Padahal, anak muda adalah sumber kreativitas dan inovasi agar sebuah daerah bisa berubah lebih cepat.
Para kepala desa juga bisa saja meminggirkan aspirasi warga yang tidak mendukungnya pada saat proses pemilu sehingga pembangunan desa tidak bisa berjalan dengan maksimal. Hal ini merupakan hal yang sangat lazim terjadi di desa-desa, orang-orang yang tidak memilih kepala desa akan dinomorduakan oleh kepala desa tersebut, Semakin lama dia menjabat, maka semakin lama ketidakadilan semakin menganga.
Potensi menyuburkan praktek KKN
Kepala desa juga memiliki tanggungjawab besar untuk mengelola dana desa yang jumlahnya tidak sedikit. Era Presiden Joko Widodo, guyuran dana desa 500 Jutaan hingga 1 Miliar Rupiah setiap desa bukan jumlah yang sedikit. Jumlah ini satu sisi bisa mengakselerasi pembangunan desa, tetapi satu sisi jadi boomerang bagi Desa apabila dana desa tidak berada di tangan orang yang tepat.
Tidak sedikit pula kepala desa yang tertangkap korupsi akibat penyalahgunaan dana desa. Sejak 2012 hingga 2021 saja, KPK menyatakan bahwa sebanyak 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus.
Nilainya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan pejabat di pusat yang korupsi. Tetapi 601 kasus korupsi jika diakumulasikan akan menjadi megakorupsi yang sangat besar, belum lagi yang tidak terdeteksi oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam beberapa kasus, bukan hal yang langka jika warga-warga desa menemukan peningkatan ekonomi yang tidak wajar terjadi pada kepala desanya.