Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memastikan akan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB Total mulai tanggal 14 September 2020. Ini merupakan sebagai konsekuensi dari bertambahnya pasien positif Covid-19 di DKI Jakarta.Â
Jumlah kasus terkonfirmasi di DKI Jakarta bahkan telah mencapai 49.837 kasus berdasarkan data dari Pemprov DKI Jakarta, 37.245 orang di antaranya telah dinyatakan sembuh serta 1.347 orang meninggal dunia.Â
Jadi total yang masih diisolasi hingga Rabu, 9 September 2020 ada sebanyak 11.245 orang di DKI Jakarta yang tersebar di berbagai rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Hal yang paling mengkhawatirkan, penambahan kasus harian sudah menyentuh dan melewati angka 1.000. Per hari Rabu, 9 September saja, penambahan jumlah kasus di DKI Jakarta sudah mencapai 1.004 kasus positif. Angka kasus positif Covid-19 di Jakarta bahkan mencapai angka 13,2%, jauh melampaui angka ketentuan aman WHO sebesar 5%.
Jumlah harian ini dikhawatirkan akan bertambah lagi mengingat virus ini sangat cepat menular kepada orang lain dalam waktu yang singkat dan tingkat penyebarannya sangat tinggi mengingat DKI Jakarta merupakan wilayah yang sangat padat.
Langkah ini dinilai langkah yang tepat, meski sebenarnya terkesan terlambat dan pelaksanaannya kurang tepat. Terlambat karena korban sudah terlanjur banyak, kurang tepat karena rentang pengumuman PSBB terhadap pelaksanannya berjarak 4 hari.Â
Jarak 4 hari ini dikhawatirkan akan membuat mobilitas individu dimaksimalkan oleh warga sebelum memasuki masa PSBB sehingga berpotensi besar melahirkan kluster baru. Jika hal ini terjadi, lonjakan kasus Covid-19 bisa terjadi di H+7 PSBB total.
Dengan PSBB total, berarti semua aktivitas sosial akan berhenti sebagaimana yang telah dilakukan pada bulan Maret dan April lalu. Ini akan berdampak besar bagi tatanan masyarakat, pemerintah maupun sektor usaha makro dan mikro.
DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian nasional sekaligus pusat pemerintah negara Indonesia. Ekonomi DKI total menyumbang 15-17% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, bahkan 70% perputaran uang nasional berada di Jakarta. Ini artinya, kondisi apapun di DKI Jakarta sangat menentukan laju perekonomian skala nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jakarta mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat merosok pada kuartal II 2020 yaitu - 8,22%, jauh melebih angka pertumbuhan nasional sebesar -5,32%. Angka ini sekaligus menyumbang defisit pendapatan DKI Jakarta yang melebihi Rp 40 Triliun, terburuk sepanjang sejarah DKI Jakarta.
Kondisi dipastikan akan semakin parah dengan diberlakukannya PSBB total mulai 14 September 2020.Â
Berbagai prediksi yang menyatakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 0% pada kuartal IV tahun 2020 bisa jadi melenceng lebih jauh dari target.Â
Bahkan PDB di kuartal III bisa semakin menurun lebih tajam dari prediksi sebelumnya sebesar -1,1% sebagaimana diprediksi oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani.
Kebijakan work from home (WFH) tentu tidak akan banyak menyumbangkan dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian karena WFH lebih dominan menyentuh kepada hal-hal yang bersifat pelayanan dan jasa.
Kondisi ini memang tidak terelakkan karena masalah kesehatan adalah faktor utama. Jika kesehatan manusia bermasalah, maka ekonomi akan turut bermasalah karena subjek penggerak roda perekonomian itu tidak bisa produktif secara maksimal.
Jika PSBB berjalan, maka konsekuensinya tentu kepastian masuk ke jurang resesi, apalagi jika sampai provinsi lain mengikuti PSBB total. Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah kemungkinan bisa menyusul untuk menerapkan PSBB total untuk menghindari migrasi berlebih dari Jakarta, ini akan semakin menghadirkan ancaman serius bagi ekonomi nasional.Â
Jika itu terjadi, besar kemungkinan kuartal IV PDB Indonesia belum bisa beranjak dari angka negatif, ini artinya akan terjadi resesi yang berkepanjangan.yang berakibat pada depresi ekonomi.
Kondisi ini mengingatkan kita pada the Great Depresion pada tahun 1929 karena memiliki kemiripan, yaitu kinerja sektor keuangan yang baik, tetapi satu sisi sektor fundamental ekonomi lesu.Â
Nilai tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) relatif menguat tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi dalam hingga -5,32% pada kuartal II tahun 2020.
Faktor terbesar yang mengantar kita pada lingkaran depresi ekonomi adalah menurunnya angka konsumsi rumah tangga, padahal sektor konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% terhadap PDB Indonesia.Â
Jika PSBB total diterapkan, maka dipastikan konsumsi rumah tangga akan berkurang signifikan karena aktivitas yang terbatas hanya sekadar di rumah dan lingkungannya.
Rendahnya konsumsi rumah tangga juga oleh berkurangnya pendapatan baik di sektor formal, maupun informal. Di sektor formal, banyak terjadi PHK besar-besaran di sejumlah industri dan manufaktur karena menurunnya permintaan terhadap produk yang dihasilkan.
Di sektor informal, terbaru Asosiasi UMKM bahkan merilis data terbaru, lebih dari 30 juta UMKM telah mengalami kebangkrutan, ingat UMKM adalah penyumbang terbesar terhadap PDB nasional, yaitu 61,41% per tahun.Â
Rendahnya stimulus fiskal dan bantuan sosial yang kurang tepat sasaran membuat dampak Pandemi Covid-19 semakin terasa berat baik di sektor mikro maupun makro.
Jika kuartal IV melenceng negatif dari perkiraan, maka kita sebaiknya mengencangkan sabuk pengaman untuk menyelami depresi. Depresi ekonomi biasanya akan berlangsung 18-43 bulan.Â
Jika pada akhirnya terkena depresi, biasanya negara akan mengarah pada krisis meski tidak ada sebenarnya negara yang ingin situasi ekonominya tenggelam dalam situasi krisis ekonomi.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan mesti lebih ngegas lagi untuk menangani pandemi agar terbebas dari depresi ekonomi. Memang, penanganan sektor kesehatan masih lambat, terlihat dari realisasi penanganan kesehatan oleh pemerintah baru mencapai 7,9% atau Rp 6,3 Triliun dari pagu anggaran yang ditetapkan sebesar Rp 87,55 Triliun. Jadi satu sisi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakatnya diistirahatkan dulu untuk sementara, tetapi aktivitas untuk kesehatan diupayakan secara maksimal.
Tidak ada tawar menawar lagi selain mengutamakan kesehatan dibanding bidang yang lain. Sembari menunggu vaksin yang merupakan kunci utama dari semua akar masalah ini, perlu kesadaran dan kerja sama yang baik juga dari masyarakat agar tidak memperbesar penyebaran Covid-19 dengan tertib melaksanakan protokol kesehatan dan social distancing.
Kita tentu berharap tidak sampai terjadi resesi ekonomi berkepanjangan hingga menyebabkan depresi ekonomi agar tidak terjadi krisis seperti yang sudah pernah menimpa kita dekade lalu.Â
Semoga PSBB total ini menjadi PSBB yang terakhir agar senantiasa kita bisa kembali beraktivitas normal, roda perekonomian kembali berputar, angka pertumbuhan ekonomi berada konsisten di atas 5% setiap tahun serta mampu memanfaatkan bonus demografi secara maksimal untuk menuju ekonomi dunia terbesar nomor 4 tahun 2040 bisa tercapai. Indonesia sehat, ekonomi melesat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H