Rabu 8 Januari 2020, presiden Joko Widodo pada pagi hari bertolak menuju Natuna untuk melakukan serangkaian kegiatan penting. Salah satu kegiatan yang sangat penting adalah memeriksa persiapan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk bersiaga di Perairan Natuna. Maklum, belakangan ini Indonesia dibuat geram dengan berbagai manuver coast guard Cina yang mengawal para nelayan Cina yang diduga menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Kedatangan ini tentu tak ingin sekedar menjadi ajang mencari popularitas, apalagi hanya ingin untuk berkunjung saja karena yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa yang menyangkut kedaulatannya. Sikap Jokowi yang keras ini ingin menunjukkan kepada Cina bahwa sikap Indonesia tegas terhadap urusan Natuna. Sikap ini sejalan dengan pendapatnya beberapa saat lalu bahwa tidak ada kompromi soal kedaulatan negara Republik Indonesia.
Kedatangan Jokowi yang merupakan orang nomor satu di Republik Indonesia ini sedikit banyak secara politis dan psikologis akan berpengaruh banyak terhadap Natuna. Dunia juga akan diberi pesan bahwa Natuna baik secara de facto dan de jure adalah wilayah kedaulatan Indonesia yang telah disepakati secara Internasional.
Perairan Natuna berdasarkan Konvensi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Tiongkok merupakan salah satu partisipan dari UNCLOS 1982. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
Kehadiran Jokowi turut juga didampingi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto minus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang belakangan ini bersikap jauh terbalik dibandingkan saat Pilpres lalu yang terkesan garang jika berhadapan dengan asing.
Siap Siaga
Rupanya Jokowi juga telah memerintahkan untuk menempatkan berbagai kapal perang untuk bersiaga di Laut Natuna. Kapal perang tersebut adalah jenis Korvet dan jenis Fregat. Untuk Jenis Korvet, ada KRI Tjiptadi 381 dan KRI Teuku Umar 385, KRI John Lie 358, KRI Sutendi Senoputra 378, dan KRI Usman-Harun 359. Kapal perang jenis Korvet ini dikhususkan untuk menghadapi kapal perang dan kapal selam karena KRI jenis Korvet dibekali dengan tabung peluncur torpedo.
KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 saat ini sedang berlabuh di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa. Kapal KRI Usman Harun misalnya, merupakan salah satu kapal milik TNI AL yang dilengkapi dengan sistem manajemen tempur modern yang mumpuni di kelasnya.
Kapal perang ini juga dilengkapi dengan sistem penjejak sasaran yang mampu mengarahkan meriam 76 milimeter Oto Melara Super Rapid Gun. Kapal ini juga dilengkapi dengan laras senapan mesin kaliber besar jarak pendek 30 milimeter di lambung kiri dan kanan kapal perang buatan Damen - BAE Systems, Inggris. Subsistem yang terakhir ini difungsikan juga sebagai sistem pertahanan pasif kapal perang dari serangan permukaan dan udara yakni sebagai Close - In Weapon System (CIWS) yang memberi tabir peluru jika serangan mendekat.
Sementara kapal perang jenis Fregat, TNI menurunkan Kapal KRI Ahmad Yani 351 dan kapal KRI Karel Satsuit Tubun 356 yang merupakan kapal kelas perusak kawal berpeluru kendali yang memiliki sistem persenjataan rudal, meriam, senapan mesin dan torpedo. KRI ini dilengkapi sensor bawah air yang memiliki tingkat akurasi yang baik dalam mendeteksi dan mengklasifikasi kontak bawah air yaitu sonar. Kelengkapan system sensor senjata juga dilengkapi dengan EOTs (Electro Optical Tracker System) untuk pengendalian meriam kapal dan pengamatan secara visual oleh kamera video yang ada.