Perekonomian dunia sedang diguncang oleh bahaya resesi. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, Inggris, Turki, dll sedang mengalami penurunan pertumbuhan perekonomian dalam dua kuartal berturut-turut.
Hal ini membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia direvisi dari 3,5% menjadi 3% saja seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih dari 70 negara dunia yang mengalami resesi dan diambang bahaya resesi.
Ketidakpastian global ini juga dipengaruhi oleh perang dagang yang belum berakhir antara AS dan Tiongkok, ketegangan Geopolitik di Hongkong yang belum mereda, kontraksi kinerja ekspor di 72 negara yang cenderung menurun, fluktuasi harga komoditas, dan pelemahan aktivitas manufaktur di berbagai negara. Bahkan Tiongkok saja mengalami pertumbuhan industri terendah dalam 17 tahun terakhir.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia justru merupakan negara yang tahan resesi karena apa? Perekonomian negara Indonesia sebagian besar ditopang oleh angka konsumsi rumah tangga yang sangat tinggi sehingga mampu bertahan di atas 5%.
"Kalau dilihat komposisi ekspor-impor masih berimbang dan konsumsi rumah tangga masih bisa dipertahankan," kata Iskandar Simorangkir, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Ekonomi di Forum Merdeka Barat (FMB9) dengan tema  "APBN Menjawab Ancaman Resesi", di Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Sebagian besar komponen barang impor tersebut merupakan barang konsumsi dan bahan baku/penolong sehingga mendorong dan memfasilitasi tingginya angka konsumsi sebesar 54% dari total PDB. Jadi, pelemahan kinerja ekspor ini tertolong oleh kinerja impor yang menurun juga.
Untuk melepas jeratan resesi ini, kita harus mengatasi pelemahan nilai ekspor dengan memberdayakan domestik. Caranya adalah barang yang tidak diserap pasar ekspor akan dijual di dalam negeri agar tidak mengalami kerugian, karena barang untuk ekspor tersebut otomatis akan menumpuk oleh produksi barang berikutnya.
Faktor lain yang tak kalah menentukan Indonesia dari jeratan resesi global adalah Easy of Doing Business (EODB) Indonesia yang berada di peringkat 73 dari 190 negara.Â
Artinya, para Investor masih memiliki kepercayaan dan kenyamanan pelayanan berinvestasi di Indonesia untuk menanamkan sahamnya meski masih kalah dibanding Vietnam yang berada diperingkat 70.
Kemudahan ini kemudian membuat Indonesia masih menjadi daya tarik Investasi bagi para investor. Berdasarkan data The Economist, Indonesia menjadi negara paling banyak diminati oleh investor asing setelah India dan Tiongkok di Asia per tahun 2019.
Pun demikian dengan pengelolaan utang pemerintah, Indonesia menjadi salah satu negara dengan defisit fiskal rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta negara dengan rasio terhadap utangnya yang rendah, yakni 29,8% terhadap PDB 2018 sebesar Rp. 13.837,36 Triliun. Artinya, Indonesia tidak memiliki kesulitan dalam melunasi utang luar negerinya.
Peran Kebijakan Fiskal dan APBN
Pemerintah mengambil kebijakan fiskal dan APBN untuk menghadapi risiko pelemahan ekonomi. APBN sebagai instrumen utama dalam kebijakan fiskal untuk mendukung perekonomian melalui fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi.Â
Langkah konkret yang dilakukan antara lain menjaga tingkat konsumsi, meningkatkan daya saing, reformasi struktural serta menjaga ekonomi-politik.
Untuk mendukung daya saing usaha domestik bidang UMKM, pemerintah juga telah menurunkan suku bunga acuan bahkan sampai 4 kali pada tahun 2019 agar pada pelaku UMKM tetap eksis dipasar domestik dari 5,75 menjadi 5% saja.
Dengan demikian, asumsi pertumbuhan perekonomian pada tahun 2020 optimis akan bisa dicapai di angka 5,3% dengan tingkat Inflasi 3,3% Yoy. Indonesia siap menghadapi risiko perlambatan ekonomi dunia karena potensi internal berupa SDM dan konsumsi kita yang sangat tinggi.
Dalam pemanfaatan APBN, pemerintah harus memaksimalkan efektivitas, bukan sekadar harus memaksimalkan belanja negara dan daerah. Perlu ada sinkronisasi antar kementerian, lembaga dan kepala daerah agar program bisa dibuat searah dan sejalan dengan biaya yang seminimum mungkin.
Dalam pengembangan SDM, pelatihan Vokasi menjadi kunci utama dalam meningkatkan produktivitas karena pasar tenaga kerja sangat membutuhkan tenaga ahli dalam bidang tertentu sehingga berperan besar dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan tingkat kemampuan konsumsi rumah tangga.
Program lain yang digadang-gadang bakal berpengaruh besar adalah program B-30. Salah satu contohnya adalah percepatan program B30 di mana nantinya akan menggunakan CPO dalam negeri sebagai campuran untuk biodisel. Ini akan meningkatkan penghasilan petani.Â
Petani sawit tadi harganya menjadi lebih tinggi berarti daya beli petaninya menjadi lebih tinggi. Ketika daya beli menjadi tinggi, konsumsi barang-barang yang dihasilkan industri dalam negeri jadi naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H