Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utang Luar Negeri Indonesia Mencapai 5.528 Triliun Rupiah, Masih Aman atau Bahaya?

20 Juni 2019   13:32 Diperbarui: 20 Juni 2019   13:39 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang Luar Negeri Indonesia tidak pernah berkurang angkanya, yang terjadi justru sebaliknya makin tahun semakin bertambah nilainya. Meski pemerintah tetap melakukan pembayaran utang setiap tahunnya dengan berbagai cara, tetapi bagai pepatah "gali lubang tutup lubang," dana pembayaran utang tersebut juga bersumber dari pinjaman luar negeri. Meski demikian, utang adalah sebuah instrumen perekonomian dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dana yang terbatas dari sebuah negara mengakibatkan sebuah negara terpaksa harus melakukan pinjaman luar negeri kepada negara lain atau lembaga keuangan luar negeri.

Terbaru, per bulan April 2019, Bank Indonesia (BI) merilis data utang luar negeri Indonesia. Tercatat, Utang Luar Negeri Indonesia sudah menyentuh angka 389,3 Miliar Dolar Amerika Serikat ( Dolar AS) atau setara dengan Rp. 5.528,06 Triliun dalam asumsi kurs Rp 14.200,00/ Dolar AS. Jumlah Utang Luar Negeri tersebut naik sebesar 8,7% jika dibandingkan dengan periode bulan Maret 2019 sebesar 7,9%. Nilai tersebut meningkat sejalan dengan melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap Dolar AS sehingga nilai tersebut akan meningkat dalam denominasi dolar AS.

Dari peningkatan utang luar negeri 8,7% tersebut, utang pemerintah memang mengalami perlambatan pertumbuhan, tetapi utang luar negeri swasta justru mengalami peningkatan. Utang Swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai 199,6 Miliar Dolar AS atau Rp 2.834,2 Triliun, tumbuh 14,5% lebih tinggi dibanding periode sebelumnya sebesar 13%.

Utang luar negeri swasta ini terdiri dari sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, gas uap air dan udara, pertambangan dan penggalian, dan listrik dengan total pangsa utang 75,2% dari utang luar negeri swasta.

Adapun utang pemerintah adalah 189,7 Miliar Dolar AS atau Rp 2.693,7 Triliun dengan pertumbuhan yang mengalami perlambatan sebesar 3,4% dibandingkan dengan bulan Maret sebesar 3,6%. Perkembangan utang pemerintah dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman 0,6 Miliar Dolar AS dan penurunan berharga negara nonresiden dengan nilai 0,4 Miliar Dolar AS yang dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia terutama perang dagang AS dengan Tiongkok yang belum juga menemukan titik reda.

Meski Utang Luar Negeri Pemerintah besar, tetapi pengelolaannya difokuskan ke sektor riil dan hal-hal yang bersifat produktif. Artinya, alokasi dana yang bersumber dari Utang Luar Negeri Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin kesektor yang mendukung pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat jangka panjang.

18,8% dari total utang luar negeri pemerintah difokuskan ke sektor kesehatan dan kegiatan sosial, 16,3% dialokasikan ke sektor konstruksi, 15,8% untuk jasa pendidikan, 15,1% untuk jaminan sosial, pertahanan, dan administrasi pemerintah, dan sektor jasa keuangan atau asuransi sebesar 14,4%.

Aman atau Bahaya?
Saat ini, komposisi penyumbang utang luar negeri terbesar adalah swasta dan sudah menjadi trend dalam 10 tahun terakhir. Pemerintah tak hanya mengacu pada sumber dana luar negeri berupa utang, tetapi juga bergantung pada sumber dana berupa utang domestik atau dalam negeri.

Jika ditelisik dari perbandingan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih berada di level 36,5%, masih jauh dari batas atas sebesar 60% sesuai dengan ketentuan UU no 17 tahun 2013. Ini artinya, rasio utang Indonesia masih termasuk kedalam kategori aman walau perlu juga diperhatikan sebab angka rasionya sudah melampui 30%, artinya sudah melebihi 50% dari batas rasio.

Meski tergolong aman, perlu diperhatikan faktor dari sisi lain yang bisa mempengaruhi tingkat kemampuan membayar utang tersebut. Kenaikan utang ini salah satunya dipengaruhi oleh strategi pembiayaan APBN (Front Loading) untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga AS oleh The Fed yang berpengaruh besar terhadap penentuan suku bunga di pasar. Karena apa? Faktor utamanya adalah karena kita masih berutang menggunakan kurs Dolar AS. Jika The Fed menaikkan suku bunganya 1% saja, maka akan ada peningkatan puluhan triliun Utang Luar Negeri Indonesia dalam kondisi pasif (negara kita tidak melakukan penambahan pinjaman utang luar negeri).

Faktor berikutnya yang jadi pertimbangan adalah Debt to Service Ratio (DSR) yang mencerminkan kemampuan negara dalam membayar utang luar negeri. Ini seringkali diacuhkan oleh pemerintah karena selama ini selalu menjadikan rasio terhadap PDB sebagai bahan pertimbangan utama. DSR membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor. Rata-rata beban bunga utang luar negeri adalah sebesar 8,12%, maka Utang Luar negeri Indonesia akan bengkak sebesar Rp 445 Triliun setiap tahunnya.

Ilustrasi kemampuan membayar utang dalam DSR. Seringkali sebuah negara menggunakan ratio terhadap PDB sebagai acuan tetapi mengesampingkan DSR negara tersebut. sumber: zakat.or.id
Ilustrasi kemampuan membayar utang dalam DSR. Seringkali sebuah negara menggunakan ratio terhadap PDB sebagai acuan tetapi mengesampingkan DSR negara tersebut. sumber: zakat.or.id
Bandingkan dengan target pembayaran utang luar negeri per tahun 2019 sebesar Rp 275,89 Trilun. Artinya, dalam kondisi tidak menambah utang luar negeri dan membayar bunga utang, Indonesia akan tetap mengalami penambahan utang minimal sebesar Rp 169,11 Triliun. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah mencari sumber pendanaan untuk beberapa sektor seperti pembangunan infrastruktur dengan mengharapkan kuncuran dana dari investor agar mau menginvestasikan dana mereka di berbagai proyek strategis pemerintah tanpa harus melakukan pinjaman luar negeri untuk sektor tersebut.

Kembali ke masalah DSR, dalam kondisi lemahnya Indonesia dalam membayar utang luar negeri, ada pertimbangan lain dalam mengukur kemampuan DSR Indonesia, yaitu nilai ekspor secara surplus atau neraca perdagangannya. Per April 2019 saja, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 2,5 Miliar Dolar AS atau Rp 36 Triliun.

Jika neraca perdagangan defisit, maka devisa yang masuk ke negara akan negatif sehingga diperlukan pendanaan berupa dana tunai dalam waktu singkat, utang luar negeri menjadi opsi terbaik dan termudah. Saat ini, DSR Utang luar negeri Indonesia sudah menembus angka 25%, batas aman yang ditentukan oleh International Monetary Found (IMF). Dengan demikian, angka DSR yang semakin besar menunjukkan utang kurang mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah.

Rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengelola utang luar negeri perlu diantisipasi sejak dini karena opini yang sama tentang masih dalam batas aman terhadap PDB akan menjadi jawaban utama sementara pemerintah berjibaku menambal pembayaran utang dan bunga dengan cara berutang kembali dan menutupi defisit APBN yang selalu bergantung penuh dan berharap banyak pada utang luar negeri.

Reformasi bidang Pajak

Reformasi bidang pajak secara menyeluruh menjadi salah satu solusi utama dalam mengurangi utang luar negeri agar APBN tidak selalu tergantung pada utang luar negeri. sumber: tempo.co
Reformasi bidang pajak secara menyeluruh menjadi salah satu solusi utama dalam mengurangi utang luar negeri agar APBN tidak selalu tergantung pada utang luar negeri. sumber: tempo.co
Peningkatan utang pemerintah bisa ditekan jika kemampuan pemerintah dalam memungut pajak bisa ditingkatkan. Berdasarkan data kementerian keuangan, penerimaan sektor pajak hanya 92,4% dari target yang ditetapkan di APBN 2018 padahal pada tahun sebelumnya telah diberlakukan tax amnesty bagi wajib pajak yang tidak melakukan SPT. Ada Rp 108,1 Triliun lagi yang belum diterima dan tercatat oleh pemerintah. Pun demikian dengan pajak dan e-commerce dan raksasa layanan internet yang sampai saat ini masih belum terealisasi, pemerintah perlu membuat upaya sesegera mungkin karena peralihan aktivitas ekonomi offline atau tatap muka ke online atay daring sudah sangat pesat. Berdasarkan perkiraan Alibaba saja, orang Indonesia menghabiskan total Rp 413 Triliun melalui transaksi online, itu masih transaksi barang, belum termasuk jasa.

Pemerintah juga perlu menaikkan tax ratio karena rasio pajak terhadap PDB belakangan ini cenderung melambat. Per 2018 saja, tak ratio di Indonesia masih sangat rendah, yaitu kisaran 10%, sedangkan Malaysia 15%, Singapura 13,6% dan Filiphina 14,6% padahal sesuai Nawacita yang dibangun oleh pemerintah ingin menaikkan tax ratio sebesar 15% pada tahun 2020.

Perlu ada tax reform yang meliputi perbaikan regulasi, proses bisnis, sistem administrasi, tata organisasi, dan sumber daya manusia dengan target penerimaan pajak secara gradual proportional. Perlu asanya ekosistem dan environment yang kondusif agar perpaduan antara peningkatan wajib pajak, perbaikan kualitas regulasi, penyempuraan administrasi, sumber daya, dan perbaikan iklim usaha dan pajak bisa berjalan dengan beriringan tentu dengan cara yang bertahap dan sosialitatif agae tidak menimbulkan gejolak dari wajib pajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun