Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Berkat Jokowi Indonesia Raih Predikat BBB, Pertama Sejak 1995 serta Optimisme Perekonomian

11 Juni 2019   16:11 Diperbarui: 11 Juni 2019   16:33 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo, sumber: Independensi.com

Indonesia sudah sepatutnya bergembira saat ini. Terlepas dari urusan politis yang selalu dikaitkan erat jika membahas tentang pemerintah, tetapi satu lagi yang membuat Indonesia semakin berprestasi di era pemerintahan Joko Widodo. Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) telah meningkatkan surat utang Indonesia menjadi rating BBB dengan prospek stabil. Sebelumnya, peringkat Indonesia berada di level BBB- ( BBB minus).

S&P merupakan lembaga pemeringkat kredit independen dan konservatif yang memberi rating dalam bidang Obligasi, saham, surat berharga, dan perusahaan asuransi. S&P juga mengkompilasi indeks pasar saham yang berpengaruh dan menerbitkan laporan , panduan, serta buku acuan khusus terhadap topik keuangan.

Menurut S&P, kebijakan pemerintah dalam bidang fiskal menjadi faktor utama penyebab kenaikan peringkat. Outlook perekonomian indonesia yang cenderung stabil dan memiliki prospek jangka panjang sehingga melahirkan harapan optimis untuk pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan jangka panjang. Faktor surat utang pemerintah yang masih rendah serta prediksi defisit transaksi berjalan yang akan semakin berkurang akan semakin membuat sektor perdagangan balance hingga surplus pada beberapa tahun yang akan datang.

Nilai pertumbuhan perekonomian Indonesia juga patut menjadi faktor pendukung kenaikan rating ini. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan perekonomian Indonesia berada di angka 4,1%, jauh diatas negara-negara dengan peringkat utang yang sama yaitu 2,2%. Defisit anggaran di era pemerintahan Jokowi relatif stabil rendah diangka 2% dari PDB sehingga beban utang sangat minim sehingga liabilitasnya terbatas.

Prestasi ini terakhir kali diperoleh Indonesia pada tahun 1995 sebelum turun menjadi BBB- pada tahun 1997 yang disusul oleh krisis moneter tahun 1998. Kini, per hari Jumat, 31 Mei 2019, Indonesia kembali menyamai perolehan 24 tahun lalu dengan mendapat rating BBB, sebuah penantian yang sangat panjang terhadap iklim ekonomi makro kita.

Hasil ini langsung berpengaruh positif terhadap nilai tukar rupiah kita. Begitu pengumuman dari S&P dengan predikat BBB, rupiah langsung menguat terhadap Dolar Amerika Serita (USD) kekisaran 1%. Sempat berkutat di Rp 14.375 / USD, rupiah ditutup dengan Rp 14.260/USD. Pada saat yang sama, IHSG menguat senilai 1,33% sehingga para investor asing berhasil membukukan laba senilai Rp 713,83 Miliar. 

Sentimen positif dari S&P menopang kerasnya arus modal dan penguatan nilai rupiah secara signifikan membuat harapa baru bagi perekonomian Indonesia, terlebih pada situasi Ramadhan dimana perputaran uang akan semakin banyak karena aktivitas perekonomian masyarakat serta kebutuhan mobilisasi yang menghabiskan materi akan sangat menambah daya tumbuh perekonomian saat ini.

Masih kalah dengan negara tetangga

Peringkat Surat Utang versi S&P sumber: CNBC Indonesia
Peringkat Surat Utang versi S&P sumber: CNBC Indonesia

Meski Indonesia sudah memperoleh predikat BBB, ternyata peringkat kita masih kalah dari negara tetangga macam Thailand dan Filiphina. Kedua negara tersebut memperoleh predikat BBB+ ( satu notch diatas Indonesia), sedangkan Malaysia sudah mendapatkan peringkat A- yang berarti termasuk dalam kategori "upper medium grade investment." Pun demikian dengan Singapura menduduki peringkat pertama dengan predikat AAA, disusul oleh Tiongkok diperingkat kedua dengan predikat A+.

Peringkat ini pada satu sisi menggembirakan karena menjadi acuan bagi investor untuk menanamkan modalnya serta menguatnya posisi mata uang Rupiah terhadap asing. Tetapi, disisi yang lain, peringkat surat utang berpeluang mempengaruhi besar bunga utang yang harus dibayarkan oleh Indonesia. Dengan naiknya peringkat, maka kepercayaan investor akan meningkat pula. Dengan demikian, diharapkan, pasar obligasi pemerintah akan semakin diminati sehingga akan menaikkan harga obligasi yang berdampak pada tingkat imbal hasil (yield).

Saat yield harga naik akibat permintaan yang semakin meningkat, maka yield akan terkoreksi. Demikian sebaliknya, saat harga turun akibat permintaan yang menurun, maka hield akan semakin naik. Jadi, pergerakan yield itu akan selalu berlawanan dengan harga.

Bagi Indonesia sendiri, yield obligasi pemerintah Indonesia yang betenor 10 tahun mencapai 8,02% sementara Malaysia hanya 3,79%. Jika pemerintah Indonesia menerbitkan surat utang tenor 10 tahun yang baru, maka besaran bunga yang ditawarkan adalah 8,02%. Begitu juga dengan Malaysia hanya perlu menawarkan bunga atau kupon sebesar 3,79%.

Kasus sederhana, jika Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan surat utang senilai 10 juta USD per hari ini, maka Indonesia harus menyiapkan pembayaran bunga sebesar 802.000 USD. Sedangkan negara Malaysia hanya membayar 379.000 USD saja. Padahal, Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan surat Utang senilai 10 Juta USD. Rasanya masih kurang adil mengingat kondisi perekonomian berbanding terbalik dengan bunga yang ditawarkan dengan nilai pinjaman yang sama. Indonesia masih perlu meningkatkan rating surat utang agar bisa mengurangi beban bunga utang yang sangat tinggi. Beban bunga merupakan beban pasif yang sangat tidak produktif yang mau tidak mau harus dibayarkan sebagai imbalan bagi kreditur (penyedia jasa pinjam).

Pada tahun 2018 dengan kondisi BBB-, pembayaran utang APBN negara Indoenesia tumbuh sangat pesat senilai 19% year-on-year (yoy). Saat ini, keseimbangan primer masih tercatat negatif, dengan demikian pemerintah memerlukan penerbitan surat utang baru untuk menutupi utang lama. Penerbitan surat utang baru digunakan untuk membayar cicilan utang serta bunga yang nilainya tidak pernah menyusut, tetapi membengkak apalagi jika tidak melakukan pembayaran sama sekali.

Prospek Tinggi terhadap dunia Ekonomi dan SDM

Setelah membangun Infrastruktur fisik, Jokowi akan fokus dalam membenahi pembangunan sumber daya manusia agar berdaya saing tinggi sumber: katadata.go.id
Setelah membangun Infrastruktur fisik, Jokowi akan fokus dalam membenahi pembangunan sumber daya manusia agar berdaya saing tinggi sumber: katadata.go.id

Peringkat positif yang diberikan oleh S&P ini menyiratkan naiknya kepercayaan lembaga pemeringkat terhadap perekonomian Indonesia. Prospek serta harapan tinggi atas sinergi kebijakan moneter, sektor finansial dan fiskal yang diarahkan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi yang konsisten mendorong pertumbuhan ekonomi konsisten di angka minim 5% pertahun.

Prospek ini juga dipengaruhi oleh situasi politik terkini. Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden memberikan gambaran positif terhadap dunia ekonomi makro dan mikro yang semakin bergairah. Terbukti, saat KPU mengumumkan kemenangan Jokowi 20 Mei lalu, IHSG dan nilai Rupiah mengalami sentimen positif di pasar modal dan mata uang asing.

Tak hanya itu, Berbagai Bank juga ikut mendapatkan percikan rezeki dengan naiknya harga saham serta aksi beli atas saham-saham bank di BUKU 4, Bank dengan modal diatas Rp 30 Triliun seperti PT. BRI yang meroket diangka 4,06%, PT. Bank BNI sebesar 3,07%, Mandiri dengan perolehan 2,32% serta bank BCA 1,22%.

Bank Indonesia juga berperan besar dalam mendapatkan peringkat ini. BI selalu sukses berupaya mempertahankan lajut pertumbuhan ekonomi yang stabil karena mengedepankan kebijakan pasar dan kebijakan moneter. Salah satu contohnya adalah menaikkan suku bunga hingga 175 bps pada tahun 2018 sehingga mekanisme pasar lebih terprioritaskan dari nilai tukar yang fleksibel.

Situasi yang menggembirakan ini mendukung upaya optimisme terhadap pertumbuhan perekonomian yang digalang oleh presiden Joko Widodo. Situasi yang positif berpengaruh besar terhadap iklim investasi, perekonomian makro, kemampuan konsumsi masyarakat sehingga kemampuan untuk mencapai Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar didunia nomor 4 akan tercapai di tahun 2045, bahkan bisa tercapai lebih cepat dari perkiraan.

Naiknya peringkat Utang Republik Indonesia meningkatkan kepercayaan investor dalam menanamkan modalnya sehingga sangat membantu pemerintah dalam mengatasi ketertinggalan segala bentuk pembangunan baik dalam infrastruktur fisik maupun sumber daya manusianya. Proses pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam 5 tahun pertama pemerintahannya agaknya masih kurang dari harapan meski satu persatu sudah mulai membuahkan hasil menggembirakan seperti tersambungnya tol Transjawa membuat angka kecelakaan dan durasi mudik semakin menurun. 

Investasi dalam bidang sumber daya manusia juga tak kalah sulit dibanding investasi dalam bidang fisik atau infrastruktur. Sumber daya manusia sudah harus disiapkan sedini mungkin agar bisa memaksimalkan potensi bonus demografi Indonesia tahun 2030. Jangan sampai tingginya angka angkatan kerja dan produktif tidak bisa dimaksimalkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun