Saat yield harga naik akibat permintaan yang semakin meningkat, maka yield akan terkoreksi. Demikian sebaliknya, saat harga turun akibat permintaan yang menurun, maka hield akan semakin naik. Jadi, pergerakan yield itu akan selalu berlawanan dengan harga.
Bagi Indonesia sendiri, yield obligasi pemerintah Indonesia yang betenor 10 tahun mencapai 8,02% sementara Malaysia hanya 3,79%. Jika pemerintah Indonesia menerbitkan surat utang tenor 10 tahun yang baru, maka besaran bunga yang ditawarkan adalah 8,02%. Begitu juga dengan Malaysia hanya perlu menawarkan bunga atau kupon sebesar 3,79%.
Kasus sederhana, jika Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan surat utang senilai 10 juta USD per hari ini, maka Indonesia harus menyiapkan pembayaran bunga sebesar 802.000 USD. Sedangkan negara Malaysia hanya membayar 379.000 USD saja. Padahal, Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan surat Utang senilai 10 Juta USD. Rasanya masih kurang adil mengingat kondisi perekonomian berbanding terbalik dengan bunga yang ditawarkan dengan nilai pinjaman yang sama. Indonesia masih perlu meningkatkan rating surat utang agar bisa mengurangi beban bunga utang yang sangat tinggi. Beban bunga merupakan beban pasif yang sangat tidak produktif yang mau tidak mau harus dibayarkan sebagai imbalan bagi kreditur (penyedia jasa pinjam).
Pada tahun 2018 dengan kondisi BBB-, pembayaran utang APBN negara Indoenesia tumbuh sangat pesat senilai 19% year-on-year (yoy). Saat ini, keseimbangan primer masih tercatat negatif, dengan demikian pemerintah memerlukan penerbitan surat utang baru untuk menutupi utang lama. Penerbitan surat utang baru digunakan untuk membayar cicilan utang serta bunga yang nilainya tidak pernah menyusut, tetapi membengkak apalagi jika tidak melakukan pembayaran sama sekali.
Prospek Tinggi terhadap dunia Ekonomi dan SDM
Peringkat positif yang diberikan oleh S&P ini menyiratkan naiknya kepercayaan lembaga pemeringkat terhadap perekonomian Indonesia. Prospek serta harapan tinggi atas sinergi kebijakan moneter, sektor finansial dan fiskal yang diarahkan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi yang konsisten mendorong pertumbuhan ekonomi konsisten di angka minim 5% pertahun.
Prospek ini juga dipengaruhi oleh situasi politik terkini. Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden memberikan gambaran positif terhadap dunia ekonomi makro dan mikro yang semakin bergairah. Terbukti, saat KPU mengumumkan kemenangan Jokowi 20 Mei lalu, IHSG dan nilai Rupiah mengalami sentimen positif di pasar modal dan mata uang asing.
Tak hanya itu, Berbagai Bank juga ikut mendapatkan percikan rezeki dengan naiknya harga saham serta aksi beli atas saham-saham bank di BUKU 4, Bank dengan modal diatas Rp 30 Triliun seperti PT. BRI yang meroket diangka 4,06%, PT. Bank BNI sebesar 3,07%, Mandiri dengan perolehan 2,32% serta bank BCA 1,22%.
Bank Indonesia juga berperan besar dalam mendapatkan peringkat ini. BI selalu sukses berupaya mempertahankan lajut pertumbuhan ekonomi yang stabil karena mengedepankan kebijakan pasar dan kebijakan moneter. Salah satu contohnya adalah menaikkan suku bunga hingga 175 bps pada tahun 2018 sehingga mekanisme pasar lebih terprioritaskan dari nilai tukar yang fleksibel.
Situasi yang menggembirakan ini mendukung upaya optimisme terhadap pertumbuhan perekonomian yang digalang oleh presiden Joko Widodo. Situasi yang positif berpengaruh besar terhadap iklim investasi, perekonomian makro, kemampuan konsumsi masyarakat sehingga kemampuan untuk mencapai Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar didunia nomor 4 akan tercapai di tahun 2045, bahkan bisa tercapai lebih cepat dari perkiraan.