Era pemerintahan Jokowi -- Jusuf Kalla, pembangunan Indonesia identik dengan pembangunan infrastruktur, bahkan sampai terkesan jor-joran bagi sebagian kalangan. Kesan tersebut bukan tanpa alasan karena pembangunan infrastruktu dilakukan bukan hanya disatu tempat saja, melainkan hampir diseluruh wilayah Indonesia secara serentak.Â
Misalnya, dengan pembangunan tol Trans Jawa yang akan selesai akhir bulan Desember 2018, pembangunan tol trans Sumatera, jalan trans Papua, Sulawesi, Kalimantan, berbagai pelabuhan, bandara udara, pembangkit listrik, pos perlintasan batas luar negeri, daerah pariwisata baru, jembatan, dan lain-lain.
Pembangunan ini memakan biaya yang tak sedikit. Khusus untuk infrastrukur saja, APNB harus rela berbagi angka sebesar Rp 420,5 Triliun, hampir menyamai anggaran Pendidikan Nasional senilai Rp 444,1 Triliun. Angka tersebut masih sangat sedikit dibanding kebutuhan anggaran untuk infrastruktur setiap tahunnya sebesar Rp 1.500 Triliun. Jadi, masih ada Rp 1.080 Triliun setiap tahunnya yang bukan berasal dari APBN.Â
Dari manakah dana tersebut berasal? Tentu dana tersebut berasal dari pinjaman atau utang, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri.
Utang lebih dari Rp 1.000 Triliun setiap tahun merupakan sebuah beban yang luar biasa terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Meski prospeknya menjanjikan untuk jangka panjang, tetapi utang tersebut tetap menjadi beban jangka pendek dan jangka panjang juga tergantung bagaimana pemerintah membayar utang tersebut. Ingat, utang tersebut mengalami pertumbuhan bunga yang sangat besar setiap tahunnya.
Sebelum Jokowi menjadi presiden, Utang Indonesia telah mencapai Rp 2.700 Triliun dengan biaya bunga per tahun Rp 250 Triliun. Sebuah bunga yang sangat besar sebab nilai tersebut hampir setengah dari anggaran APBN kita untuk Pendidikan dalam satu tahun.Â
Dengan demikian, jika pelunasan utang tidak lebih dari Rp 250 Triliun per tahun, Indonesia akan mengalami pertambahan Utang secara pasif, artinya utang makin bertambah, hanya dari nilai bunganya saja, meski pada faktanya Indonesia tidak bisa melepas ketergantungan terhadap utang ditengah gencarnya pembangunan infrastruktur.
Mekanisme Public Private Partnership
Pemerintah sebenarnya sudah berusaha membangun infrastruktur tanpa menggantungkan diri kepada utang. Sebagai contoh, Indonesia mengalokasikan pembangunan infrastruktur dari APBN, meski nilainya tidak sebesar nilai total pembangunan infrastruktur skala nasional dalam setahun, kemudian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK), fisik kemudian menggunakan hibah, pasar modal, bilateral multilateral bank, dan environmental fund. Negara juga concern dalam membangun Desa melalui dana desa, salah satu yang menjadi fokus dari Dana Desa tersebut adalah pembangunan infrastruktur pedesaan.
Skema pembiayaan berikutnya adalah kerja sama pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) atau dikenal dengan public private partnership (PPP) yang diajukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Skema ini merupakan mekanisme yang menggunakan ekuitas sehingga tidak menggunakan utang luar negeri.
Kemudian ada juga pembiayaan pembangunan sekuritisasi terhadap proyek yang sudah berhasil dibangun dan sudah bisa dioperasikan. Dengan demikian, berbagai proyek infrastruktur yang dibangun oleh BUMN, BUMD, dan Pemerintah Daerah bisa mendapatkan pendanaan lagi dengan cara membawanya ke pasar modal.
Pemerintah juga bisa mengajak swasta untuk turut serta memberikan penjaminan karena pihak swasta kadang melihat beberapa proyek pemerintah tidak menarik untuk jangka pendek dan jangka panjang. Swasta selalu melihat keuntungan baik secara finansial, kelangsungan perusahaan dan trust kepada masyarakat jika ingin terlibat dalam pembangun infrastruktur.
Skema berikutnya yang tak kalah menarik dan menjadi trend saat ini adalah menawarkan pembangunan infrastruktur kepada investor asing. Investor asing bisa dibeirkan kepada perusahaan swasta asing maupun kepada negara-negara secara bilateral maupun di forum-forum investasi dan negara.
Menggenjot Penerimaan Pajak
Kebijakan ini disinyalir akan semakin menambah wajib pajak yang terdaftar dan patuh pada tahun 2016 dan pada tahun 2017 diharapkan akan membayar pajak dengan patuh sehingga akan menambah penerimaan sektor pajak.
Total ada lebih dari Rp 5.000 triliun nilai wajib pajak yang melapor sesudah diadakan tax amnesty. Dari nilai tersebut, negara baru bisa mendapatkan Rp 135 Triliun. Nilai yang lumayan membantu APBN dalam membantu pembangunan infrastruktur. Kedepannya diharapkan seluruh wajib pajak yang mendaftar bisa patuh membayar pajak agar penerimaan dari sektor pajak bisa maksimal.
Untuk menggenjot penerimaan pajak ini, negara bisa meningkatkan rasio penerimaan pajak dengan cara menurunkan tarif pajak. Dengan menurunkan tarif pajak, maka para wajib pajak setidaknya merasa berkurang bebannya dalam melakukan kewajibannya sebagai wajib pajak.Â
Jumlah wajib pajak saat ini baru sekitar 39 Juta wajib pajak dengan jumlah kepatuhan baru mencapai 10,6 Juta SPT. Artinya masih banyak objek pajak yang menjadi wajib pajak yang tidak patuh untuk membayar pajak dan belum mendaftar untuk menjadi objek pajak itu sendiri. Â
Untuk tahun 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.618,1 Triliun atau 95,4% dari target. Penerimaan pajak yang kurang maksimal ini bisa diitekan dengan peningkatan kesadaran pajak. Ini sangat perlu dengan cara melakukan berbagai stimulus dan sosialisasi yang komprehensif, edukatif, inovatif dan bersifat membudahkan para objek pajak agar tidak menanggap pajak sebagai momok menakutkan bagi finansial bagi masing-masing individu, keluarga, maupun koorprasinya.
Mengurangi Porsi Utang
Meskipun cara tersebut diatas berhasil dilakukan, rasanya upaya tersebut tidak akan bisa membuat negara dalam kondisi zero debt atau berutang nol rupiah, tetapi upaya bisa memberikan efek positif dengan mengurangi penambahan jumlah utang setiap tahunnya sehingga sebagian beban pembayaran biaya bunga utang bisa dialihkan sekaligus untuk pembayaran utang.
Dalam 4 tahun terakhir ini, pemerintah selain menambah pinjaman luar negeri juga melakukan pembayaran utang yang tidak sedikit. Â Ada Rp 1.600 Triliun yang telah disodorkan oleh pemerintah untuk pembayaran utang, meskipun sebagian besar untuk membayar beban bunga utang luar negeri.Â
Hingga sekarang, Utang luar negeri telah mencapai Rp 5.410 Triliun per oktober 2018, tentu beban bunga terhadap nilai utang tersebut akan semaki besar dan dipastikan akan melebihi Rp 500 Triliun setiap tahunnya.
Nilai tersebut memang masih relatif aman karena rasionya terhadap PDB masih dalam nilai 30,31%. Dalam laporan APBN kita, pemerintah menilai rasio utang saat ini masih dalam kondisi aman karena masih berada dibawah batas yang ditetapkan dalam UU keuangan negara yaitu 60% terhadap PDB.
Dengan pelibatan BUMN dengan APBN, BUMD dengan APBD, dunia usaha dan swasta dengan investasi dalam negeri maupun luar negeri, maka pemerintah bisa menekan jumlah utang sehingga nilai anggaran tersebut benar-benar produktif.Â
Pembangunan infrastrutur tanpa melibatkan utang mungkin sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan, tetapi setidaknya dengan melakukan strategi public private partnership , penurunan tarif pajak untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak akan bisa mengurangi jumlah beban negara terhadap utang setiap tahunnya.
Utang akan berkurang setiap tahunnya, pembangunan infrastruktur tetap berjalan dan kebermanfaatannya bisa dirasakan sejak dini tanpa harus mengorbankan energi berlebih dengan fokus besar untuk pembayaran utang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H