Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ramai-ramai Berebut Gatot Nurmantyo

10 Oktober 2017   14:32 Diperbarui: 10 Oktober 2017   14:37 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangliman TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Sumber : Poskotanews

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi perbincangan hangat saat ini terutama menjelang Pilpres 2019 nanti. Meski kontestasi perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih harus menunggu 2 tahun lagi, tetapi aroma persaingan sudah mulai terasa. Partai politik pun sudah mulai menjalankan strateginya tersendiri sesuai dengan visi dan misi partai masing-masing.

Untuk partai politik yang tidak memiliki kandidat kuat calon presiden atau wakil yang akan dicalonkan nanti, mereka mayoritas menjatuhkan pilihan kepada tokoh-tokoh non-partai yang dianggap memiliki popularitas dan tingkat elektabilitas yang tinggi. Salah satunya adalah Gatot Nurmantyo, Jenderal bintang 4 TNI yang selama ini selalu mencuri perhatian masyarakat Indonesia.

Gatot Nurmantyo dianggap menjadi salah satu tokoh yang potensial pada perhelatan Pilpres 2019 mendatang padahal namanya sama sekali tidak pernah terdengar saat pilpres 2014 lalu. Bersama Jokowi dan Prabowo yang kemungkinan (pasti) akan menjadi mencalonkan diri sebagai calon presiden, Gatot Nurmantyo muncul diantara mereka berdua. Gatot bisa jadi pendamping salah satu diantara Jokowi atau Prabowo, tetapi tidak menutup kemungkinan jika Gatot akan menjadi pihak ketiga yang muncul diantara Jokowi dan Prabowo.

Popularitas seorang Gatot dinilai sangat tinggi apalagi dalam momentum yang tepat sebab tahun 2018 nanti dirinya akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima TNI. Artinya, Gatot akan pensiun dari TNI dan akan kembali menjadi warga sipil sehingga dirinya bebas dari "politik praktis". Dengan demikian, tidak ada lagi beban "mengingkari amanah" jika dirinya benar-benar ingin mencalonkan diri di pergelatan 2019 nanti.

Menuju 2019, mayoritas partai tidak memilki kader yang dianggap memiliki kapabilitas sebagai seorang calon presiden. Misalkan saja partai Golkar yang citranya semakin berkurang dimata masyarakat terlebih karena kasus dugaan korupsi Setya Novanto. Rasanya mustahil bagi Golkar untuk mencalonkan Setya Novanto meskipun statusnya sebagai ketua DPR atau ketua partai Golkar. Demikian juga partai Nasdem yang tidak memiliki kader potensial untuk dimajukan di pertarungan 2019 nanti, tak beda jauh juga dengan partai Hanura yang rasanya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mencalonkan kembali Wiranto.

PKS juga dianggap tidak memiliki kader yang memadai untuk kriteria sebagai calon presiden di 2019 nanti, begitu juga dengan PKB dan PPP yang rasanya mustahil bagi mereka untuk mencalonkan kader atau anggota partainya untuk dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

PDI-P memang sudah memiliki seorang Jokowi, tetapi PDI-P tidak memiliki pendamping (cawapres) yang tingkat elektabilitas dan popularitasnya tinggi sehingga masih memerlukan usaha yang jauh relatif besar untuk menentukan pasangan Jokowi selanjutnya.

Gerindra juga tidak ketinggalan, mereka memang memiliki seorang Prabowo yang dianggap masih memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi tetapi tidak memiliki kader yang mumpuni untuk disandingkan dengan Prabowo di Pilpres 2019 nanti.

Partai Demokrat dikenal masih memiliki ketergantungan besar terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), padahal SBY sudah tidak bisa untuk mencalonkan diri kembali karena sudah menjabat sebagai presiden 2 periode. Agus Harimurti Yudhoyono menjadi tokoh paling potensial karena popularitasnya belakangan ini. Tetapi sayang, sekedar popularitas tidaklah cukup untuk menggapai sebuah kemenangan, terlebih dirinya merupakan calon Gubernur yang kalah di perhelatan Pilkada DKI pada beberapa bulan yang lalu.

Kekosongan tokoh atau kader yang potensial di masing-masing internal partai membuat partai politik memasang manuver yang relatif sama, yaitu mengalihkan padangan ke tokoh non-partai untuk dijadikan sebagai kader agar bisa diusung untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Hadirnya tokoh potensial dalam tubuh partai jelas merupakan prestise tersendiri bagi sebuah partai mengingat buruknya persepsi masyarakat terhadap partai politik dan tokoh-tokoh politik saat ini.

Dalam kondisi krisis tokoh dan kader partai politik yang memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, muncul sebuah nama yang diyakini sangat potensial terpilih di 2019 nanti, baik sebagai capres maupun cawapres. Gatot Nurmantyo merupakan tokoh paling potensial. Meski nama-nama beken macam Kapolri Tito Karnavian dan mantan panglima TNI Moeldoko juga dimungkinkan, tetapi potensinya dianggap tidak sepopuler Jenderal Gatot.

Tak lebih dari setahun lagi Gatot Nurmantyo akan pensiun, partai politik sudah mulai membuka pintu lebar-lebar kepada mantan Pangkostrad ini. Sebut saja Nasdem melalui Sekjennya sendiri menyatakan akan menampung semua tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan dan tokoh nasional. Salah satunya adalah Gatot Nurmantyo. Meski saat ini Nasdem berdalih bahwa semuanya tergantung kepada sang Jenderal, tetapi tidak bisa ditutupi bahwa besar keinginan Nasdem agar Gatot segera bergabung dengan partai berlambang biru kuning ini.

Tak ketinggalan, partai berlambang Mercy Demokrat seakan tak ingin mantan KASAD ini disunting oleh partai lain. Wakil ketua umum Demokrat Syarif Hasan menyatakan bahwa Demokrat selalu terbuka kepada setiap tokoh yang sesuai dengan platform Demokrat, terutama tokoh yang nasionalis-religius. Demokrat yang krisis tokoh potensial terlebih setelah dalam 5 tahun terakhir ini banyak anggota partai Demokrat yang terjerat oleh kasus hukum membuat Demokrat berharap lebih kepada Gatot.

Bukan tidak mungkin Gatot akan menjatuhkan pilihannya kepada Demokrat karena jika dirinya bergabung ke Demokrat, maka Gatot berpeluang besar menjadi capres, bukan menjadi cawapres. Terlebih dalam kontestasi perpolitikan 3 tahun terakhir ini, Demokrat selalu abstain atau terkesan tidak memihak kepada kubu pemerintah dan tidak memihak kepada kubu oposisi. Kondisi yang abu-abu ini semakin meyakinkan Gatot jika dirinya mau bergabung dengan Demokrat makan ganjarannya adalah menjadi Calon Presiden.

Partai belatarbelakang militer lain macam Hanura, Gerindra dan Golkar bukan tidak mungkin akan menjadi tempat bernaung Gatot Nurmantyo. Untuk Hanura yang merupakan partai pendukung pemerintah, nama Gatot kemungkinan besar akan menjadi pendongkrak suara Hanura. Mengingat dukungan Hanura yang sudah positif untuk mendukung Jokowi di 2019 nanti, besar kemungkinan Gatot akan menjadi calon wakil presiden di 2019 nanti.

Sama halnya dengan Hanura, Gerindra juga merupakan partai yang potensial untuk dinaungi oleh Gatot. Mengingat hubungan antara Gatot dengan Prabowo yang berlatar belakang sama, dari dunia kemiliteran, besar kemungkinan jika Gatot menjadi kader Gerindra, maka dirinya akan dijadikan sebagai calon wakil presiden, digadang-gadang akan mewakili Prabowo. Meski sebenarnya agak menggelitik bahwa Prabowo hanyalah jenderal bintang 3 sedangkan Gatot adalah jenderal bintang 4 yang akan menjadi mantan Panglima TNI segalanya masih memungkinkan tergantung kebijakan partai dan Prabowo itu sendiri.

Golkar jelas tidak ingin tinggal diam dalam mencari kader potensial untuk bertarung di 2019 nanti. Partai legendaris dan bernama besar ini tidak memiliki kader potensial saat ini. Bergabungnya Gatot akan semakin menumbuhkan elektabilitas partai Golkar meski secara umum masih diperlukan perbaikan sana-sini.

 Banyaknya kader Golkar yang berasal dari kalangan militer  bisa jadi daya tarik Gatot untuk bergabung dengan partai berlambang beringin ini. Meski Golkar sudah menyatakan akan mendukung Jokowi di 2019 nanti, tetapi suara dukungan bisa saja berubah mengingat Golkar adalah partai pendukung Prabowo di 2014 lalu. Peluang Gatot untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dinilai sama besar karena status dukungan Golkar terhadap pemerintah masih tidak signifikan.

PKS yang berbasis agamis juga membuka peluang besar bagi Gatot untuk bergabung dan menjadi kader. Dalam track-recordnya1 tahun belakangan ini, Gatot merupakan tokoh yang meraih simpati paling banyak lewat aksi-aksi "Bela Islam" belakangan ini. Mulai dari jilid 1 hingga jilid terakhir, simpati kepada Gatot terkesan lebih banyak jika dibandingkan dengan Jokowi dan Tito Karnavian.

 Dengan basis partai yang islamis, bukan tidak mungkin Gatot akan menjadi penantang serius Jokowi dan Prabowo di perhelatan 2019 nanti. Hal yang sama juga dimungkinkan akan terjadi terhadap partai PKB dan PPP beserta dengan koalisinya masing-masing.

Bagaimana dengan PDI-P? bukan menutup kemungkinan juga Gatot akan bergabung ke PDI-P, tetapi disinyalir kecil kemungkinan Gatot bergabung dengan PDI-P. secara sosiologis dan psikologis dalam kurun waktu 2 tahun belakangan ini, Gatot hanya dekat dengan Jokowi, sementara Jokowi bukanlah pimpinan partai. Jokowi juga bukan ketua DPP, Jokowi hanyalah kader partai politik yang kebetulan memiliki kinerja baik dan dipercaya oleh rakyat untuk memegang amanah sebagai Presiden RI. 

Jokowi jugalah yang mengangkat dan melantik Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI pada 2015 lalu. Kedekatan secara psikologis bukan tidak mungkin membuat Gatot menjatuhkan pilihannya kepada PDI-P, atau setidaknya jika berkarir di partai lain, dirinya kemungkinan besar akan didaulat menjadi pendamping Jokowi di 2019 nanti.

Semua harapan kemungkinan-kemungkinan diatas bukanlah suatu kepastian, hanya Gatot dan Tuhanlah yang tahu ke partai apa nantinya seorang Gatot akan menjatuhkan pilihannya. Tapi yang pasti, Gatot ibarat magnet bagi partai politik untuk menentukan masa depan politiknya. Popularitas dan elektabilitasnya yang dipandang sudah besar jelas menjadi tanggunjawab politik untuk menentukan masa depan bangsa ini sebab nama Gatot Nurmantyo bukan hanya sekedar nama biasa, tetapi sudah dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Masalah siapa yang akan memimpin negara ini di 2019, biarkan rakyat yang tetap memilih sesuai dengan nuraninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun