Cerita soal pluralisme memang selalu mengundang perhatian dimana-mana, tak mengenal waktu. Tak melulu soal pilkada, bahkan pertemananpun bisa terputus karena perbedaan keyakinan. Indonesia adalah negara kesatuan, kesatuan yang terdiri dari beragam suku, agama, etnis, hingga latar belakang horizontal. Perbedaan ini membuat potensi konflik sangat besar apalagi banyak individu dan kelompok yang egois, tidak mau menerima perbedaan dan selalu menganggap dirinya dan kelompoknyalah yang lebih benar. Potensi konflik ini biasanya ada yang terlihat secara jelas secara fisik, ada yang hanya sekedar tekanan psikologis, hingga banyak juga yang mengiklaskan.
Aku adalah berasal dari keluarga Kristen Protestan, lahir di desa Amborgang, Toba Samosir, Sumatera Utara. Keberadaanku di Jakarta dikarenakan tuntutan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Ibukota ini. Karena tak ada keluarga yang dekat dengan kampus, akhirnya aku memutuskan untuk mengontrak rumah bersama teman-teman.
Berangkat dari rasa kebutuhan dan nasib yang sama, ingin mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman, aku bersama teman-teman tanpa ada yang mengomandoi mencari kontrakan yang cocok, cocok dengan hati, dan tentunya cocok dengan dompet. Perlu diketahui, kami berjumlah 8 orang dan berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Padang, Bukittinggi, Pariaman, Jambi, Bogor, dan Depok. Kami juga rata-rata berbeda usia strata pendidikan, dan profesi. Ada yang sudah bekerja, ada yang sedang melanjut di Pascasarjana, dan ada yang kuliah.
Aku sendiri yang berlatar belakang Kristen, selebihnya Islam. Saat kontrakan yang cocok dengan target ditemukan, kami sepakat untuk mengontraknya dalam setahun. Kami harus membayar Rp 26 Juta untuk satu tahun. Jika dikalikulasi, biaya mengontrak memang jadi lebih murah dibanding dengan ngekost untuk ukuran daerah Jakarta. Soal pembagian kamar, kami bagi sesuai dengan orang pertama yang menginjakkan kaki di kontrakan jadi tidak ada complain sama sekali saat mendapat kamar yang mana.
Aku tergolong orang yang luwes, selalu fleksibel dalam berbagai situasi apapun, termasuk dalam hal bergaul. Mungkin itu yang membuat aku memiliki teman Non Batak lebih banyak daripada teman Batak di Jakarta ini.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh teman-teman sekontrakan karena suasana sahur dan berbuka puasa hanya terjadi setahun sekali dalam sebulan penuh. Aku pun termasuk orang yang menunggu bulan Ramadhan dimana aku bersama teman-teman ikut sahur dan berbuka puasa bersama. Meski sebenarnya aku tidak puasa, karena kadang-kadang siang harinya makan juga di warteng yang setengah tertutup disekitar kontrakan atau kampus tetapi moment kebersamaan ini sangat membuat kami semakin solid. Pada saat sahur, aku kadang membangunkan teman-teman yang masih tertidur lelap, jika aku ketiduran, giliran mereka yang membangunkan aku untuk menikmati santap sahur sederhana dikontrakan.
Kami tidak pernah mempersoalkan bagaiana latar belakang kami yang teramat sangat berbeda. Kami dipersatukan oleh satu tujuan, niat dan cita-cita luhur, bagaimana menjadi sukses dan menjadi teladan bagi generasi-generasi kami berikutnya nantinya. Kamipun sering berdiskusi mengenai latar belakang perbedaan masing-masing, terutama aku yang hanya seorang Kristen di kontrakan. Teman-teman aku justru antusias mendengarkan budaya Batak an agama Kristen yang aku ceritakan kepada, demikian juga aku yang sering menanyakan tentang hal-hal yang berbau islami, mereka sangat open terhadap semua pertanyaanku.
Dipersatukan oleh niat kuliah dan mencapai hidup yang lebih baik membuat pikiran kami tidak memusingkan fenomena yang terjadi belakangan ini. misalnya soal aksi-aksi damai besar yang terjadi dalam beberap edisi, meski aku lebih banyak memilih diam soal masalah ini, kadang kami bercanda soal hal-hal yang unik dan kadang lebih memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan terhadap hal-hal yang berbau sejarah internasioanl dan nasional, politik objektif, hingga candaan soal sepakbola dan pacar atau gebetan.
Pernah dalam suatu moment saat berbuka puasa hari Minggu sore, aku ikut berburu takjil ke pasar Rawamangun dengan teman-teman. Disana ternyata banyak makanan dan sangat ramai. Saking banyaknya, kami kebigungan mau membeli yang mana. Setelah berburu takjil, kami kembali kekontrakan, menunggu adzan berbunyi pertanda berbuka puasa dimulai. Adzan berbunyi, teman-teman mengucapkan doa sembari aku menunggu mereka. Setelah itu, kami santap buka puasa bersama, bertukar lauk dan takjil. Takjil kami tak mewah, hanya es cendol, sop buah, dan es kelapa tetapi itu sudah menyegarkan dahaga yang begitu menggelora.
Sehabis makan, teman-teman langsung sholat magrib dan menunggu adzan berikutnya untuk sholat traweh, sedangkan aku mandi dan bersiap-siap ke gereja, kebetulan aku masuk gereja malam di salah satu gereja di Rawamangun. Aku bergegas ke gereja, sementara teman akupun pada saat yang sama pergi ke masjid terdekat untuk sholat trawaweh.
Perbedaan tak membuat kami berbeda, tetapi perbedaanlah yang menyatukan kami atas dasar tuntutan kuliah dan persamaan idealisme sebagai pemuda yang mengharga pluralisme. Kami memang tak mengenal pluralisme secara defenitif, tetapi dalam perilaku kami rasanya tak perlu ada pihak yang mengajarkan kami soal pluralisme dan persatuan.