Terkadang ceramah dari masjid menusuk hati saya pada saat suasana panas Pilkada DKI, tetapi teman-teman aku malah sering secara verbal mengatakan bahwa penceramah tersebut tidak pantas untuk berkata demikian. Menurut mereka, kurang elok jika menceramahkan hal-hal yang demikian karena menyakiti hati umat lain, lebih baik menceramahkan bagaimana menjadi umat yang damai, peduli, dan selalu berbelas kasih. Meski demikian aku tetap memaklumi karena aku tidak tahu banyak tentang ajaran Islam dan tidak ingin ikut campur terlalu dalam soal masalah Pilkada yang dikaitkan dengan agama Islam.
Komitmen kami untuk tinggal dikontrakan ini sudah berjalan hampir dua tahun tanpa ada persoalan apapun, kecuali masalah maling-maling yang tampaknya selalu mengintip kelengahan kami setiap saat. Karena aku juga berusaha untuk tahu diri dan tidak ikut campur secara serius dengan masalah yang tidak saya ketahui, demikian juga teman-teman saya menjadi respect kepada aku. Kami memang tidak menghormati secara langsung atau mengedepankan soal senioritas, tetapi tahu memposisikan diri, itulah kunci pluralisme kami berjalan dengan aman dan harmonis hingga saat.
Kami meyakini Tuhan turut campur tangan atas kondisi kami yang berbeda-beda ini dalam satu atap rumah. Tuhan pencipta alam semesta selalu menolong dan mempersatukan setiap individu yang berbeda dalam jalan kebenaran. Tuhan yang menciptakan perbedaan, perbedaan itu tak pantas untuk kami ganggu gugat dan kami verbalisasi, perbedaanlah yang mewarnai kondisi kami hingga kami eksis sampai saat ini. Indonesia, patut mencontoh kerukunan kontrakan kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H