Amin Ikhsan, mantan atlet senam yang pernah menduduki peringkat 7 kejuaraan dunia tahun 2003 di Tokyo, Jepang harus menjual barang-barang rongsokan dari sisa bangunan yang telah dirobohkan demi menyambuh hidup.
Bahkan rumahnya pun turut menjadi korban penggusuran pemkot Bandung pada tahun 2015.
Anang Ma’ruf, mantan bek kanan Persebaya dan Timnas Indonesia era 1990-an harus banting setir menjadi pengendara ojek online.
Padahal dirinya pernah mempersembahkan medali perak di ASEAN Games 1998 dan medali perunggu pada tahun berikutnya.
Maria Segendi, mantan atlet pencak silat peraih medali emas Sea Games 1981, Filiphina harus menjadi sopir taksi meski pada tahun 2013 baru menerima penghargaan dari pemerintah.
Suharto, mantan atlet balap sepeda yang kini berprofesi sebagai tukang becak, dirinya pernah merebut medali emas Sea Games 1979 di Malaysia untuk nomor “Team Time Trial” jarak 100 Km.
Demikian juga dengan Hasan Lobubun (tinju), Lenni Haeni (Dayung), Ellias Pical (tinju) yang harus menjadi satpam disebuah tempat hiburan, Tati Sumirah (bulutangkis) Jatmiko (angkat besi), Denny Thios (angkat besi), dan masih banyak atlet yang terabaikan nasibnya kini, padahal mereka berjasa besar bagi negara.
The question is, jika atlet dan pahlawan yang sudah mempersembahkan medali prestisius saja bisa terabaikan bagai kacang lupa kulitnya, bagaimana dengan atlet yang sedang dalam tahap berjuang hingga kini?
Barangkali itu yang membuat Sandra bepikiran harus mencari dana sendiri tanpa mengharapkan dana dari pemerintah karena hanya janji belaka.
Toh suatu saat nanti para atlet-atlet hebat masa kini akan terabaikan oleh omong kosong janji manis pemerintah, untuk apa mengharapkan dana dari mereka? Kurangnya fasilitas dan apresiasi menjadi dilemma tersendiri bagi atlet Indonesia masa kini.
Di satu sisi, mereka harus bersikap professional sebagai seorang atlet, tetapi disisi yang lain mereka juga seorang manusia biasa, yang butuh dukungan finansial dan moral demi menyambuh kehidupan.