Komoditas politik murahan ini semakin tidak berharga saat harapan tidak tercapai. Sumpah serapah dan maki-makian terdengar keras di rumah ibadah, tak perduli mengucapkan kata terhina sekalipun, toh umat-umat dibelakangnya juga akan mengiyakan dan mendengar dengan baik.
Jika sudah pada saatnya harapan tidak terlaksana, maka saatnya membentuk pemerintahan tandingan, misalnya Gubernur tandingan seperti yang ada di DKI Jakarta meski pada akhirnya gubernur tandingan ini tidak memiliki fungsi administrative dan birokrasi sama sekali karena tidak memiliki pemilih yang jelas, konstitusi yang jelas, hukum yang jelas, aparat yang jelas, dan aktivitas yang jelas. Aktivitasnya hanya ada saat-saat demonstrasi saja dengan berteriak-teriak sumpah serapah kepada orang yang dibencinya.
Begitulah, kebencian menjadi buah dari murahnya agama dalam komoditi politik masa kini. Agama menjadi terlihat ternoda oleh aktivitas murahan yang hanya bisa dibayar dengan bayaran nasi bungkus dan amplop yang berisi beberapa puluh ribu rupiah. Meskipun demikian, masih banyak yang mampu berjiwa spiritual bukan hanya religius saja, tentu masih ada harapan agar situasi yang demikian bisa diperbaiki dengan menempatkan agama pada tempat yang seharusnya, bukan menjadi barang dagangan untuk pemilu. Agama tetap tempatnya kepada agama, politik biarkan berjalan sesuai dengan ranahnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H