Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Leicester City, Habis Manis Sepah Dibuang

25 Februari 2017   16:56 Diperbarui: 26 Februari 2017   04:00 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Claudio Ranieri Mengangkat Trofi Liga Premier Inggris saat membawa Leicester Juara musim 2015/2016. Sumber : ITV.com

Musim 2015/2016 merupakan musim ajaib dalam sejarah sepak bola Inggris. Untuk pertama kalinya dalam sejarah tim sekelas Leicester City menjadi kampium juara Liga Premier Inggris 2015/2016 dengan margin 10 poin dari runner-up, Arsenal. Padahal pada awal musim, Leicester sama sekali tak diunggulkan dalam perebutan juara Liga Inggris, bahkan bursa taruhan hanya memberikan taruhan senilai 5000 : 1 peluang untuk juara.

Berada dibawah asuhan The ThinkermanClaudio Ranieri, Leicester City perlahan tapi pasti melaju sejak awal musim dimulai. Hanya Arsenal (2 kali) dan Liverpool (1 kali) yang mampu menundukkan mereka sepanjang musim itu, selebihnya dihajar oleh tim berjuluk The Foxesini.

Dibantu oleh pemain-pemain kunci macam Jamie Vardy yang sensational, Rhiyad Mahrez yang menjadi pemain terbaik tournament, Ngolo Kante, Drinkwater, kiper Kesper Smeichel, dan lain-lain. Semuanya terlihat bermain Spartannan heroik saat bermain di laga tandang maupun kandang.

Awal musim memang Ranieri tidak pernah menargetkan berada di 10 besar, apalagi masuk zona Eropa apalagi juara liga inggris. Ranieri hanya menargetkan agar lolos dari zona degradasi. Setidaknya Ranieri telah beberapa kali mengungkapkan itu saat konferensi pers dengan wajahnya yang selalu ceria, tanpa beban, dan selalu mengungkapkan Dilli ding dilli dong, bel untuk setiap memulai jam latihan armada si rubah.

Rajin Traktir Pemain

Ranieri ibarat seorang bapak bagi Leicester. The Thinkerman sering kali mentraktir para pemainnya saat berhasil menang, cleansheet, atau setidaknya target terpenuhi. Ranieri pun berjanji akan mentraktir lagi jika para pemain menunjukkan performa dan hasil yang positif di setiap lagi.

Entah jadi motivasi atau bagaimana, para pemain menjadi bermain tanpa beban. Selebrasi sepuasnya jika gol tercetak, aplaus kepada fans jika menang, atau tetap berusaha jika kalah atau gagal. Saat latihan pun, taka da pemain yang berani absen, semua datang tepat waktu.

Tak hanya traktiran Pizza yang diberikan oleh Sang manajer. Ranieri juga pernah mentraktir para pemainnya makan Lobster saat mereka sudah memastikan diri untuk bermain di Liga Champions untuk musim 2016/2017.

Traktiran Pizza tersebut membuat sang pelatih sangat dekat dan akrab dengan semua pemain. Tidak ada yang lebih istimewa dalam diri seorang pemain dibanding pemain lainnya. Semuanya sama, sama-sama sebagai pemain, dan yang pasti tidak ada yang lebih besar dari Leicester itu sendiri.

Dilly – Ding, Dilly-Dong

Dilly-Ding Dilly Dongdigadang-gadang menjadi matra apik seorang Ranieri. Setiap pagi menjelang latihan, bel yang berbunyi Dilly-Ding Dilly Dong menghiasi bunyi ruangan tempat latihan menjelang latihan out door atau lapangan sepakbola. Dilly-Ding Dilly Dongjuga merupakan motivasi khusus kepada para pemain karena hanya Ranieri yang memiliki karakteristik untuk melatih tim yang demikian.

Kebiasaan membunyikan alarm Dilly-Ding Dilly Dong sudah dimulai sejak dirinya melatih Cagliari. Hingga dirinya melatih di Leicester, Dilly-Ding Dilly Dong menjadi matra khusus kepada setiap pemain yang masih kurang moodsaat latihan. Bunyi alarm tersebut bagaikan mantra yang mampu membangunkan rubah untuk merengkuh sang musuh dan bersemangat untuk bangun dari tidurnya.

Dipecat Setelah 10 Bulan Jadi Pahlawan

Sepakbola memang kejam. Sepakbola akan sangat mengagumi saya seseorang atau tim mampu melakukan yang terbaik dan akan sangat menyakitkan saat seseorang atau tim saat berada dalam performa terbaik. Itu juga yang dialami oleh Ranieri. 10 bulan lalu masih hangat teringat bagaimana dirinya meneteskan air mata saat Leicester City mendekati tangga juara, tetapi belum mau sesumbar untuk mengakui gelar juara yang sudah didepan mata.

Leicester akhirnya bisa memuseumkan trofi Liga Inggris di koleksi trofinya setelah 132 tahun tidak pernah merengkuh gelar prestisius ini. Dibalik kehebatan Vary, Mahrez, Kante, dkk, ada sosok Ranieri yang rendah hati dan berjiwa besar yang menjadi kunci utama dalam meracik strategi permainan The Foxes.

Setelah dikalahkan oleh Sevilla di 16 besar Liga Champions Leg 1 2-1, Ranieri menemukan nasib tragisnya. Sang pahlawan 10 bulan lalu dipecat, sama seperti beberapa pelatih lain di liga premier Inggris yang dipecat lantaran tak mampu membawa timnya bermain apik. Maklum Leicester City musim ini baru meraih 21 poin, atau selisih 1 poin dari Hull City, penghuni juru kunci zona degradasi atau hanya selisih 2 poin dari peringkat 20, Sunderland.

Musim ini Leicester sangat jauh berbanding terbalik dibanding musim lalu. hingga pekan ke 25, Leicester baru bisa mencetak 5 kemenangan dan 6 seri, selebihnya kekalahan. Begitu juga produktivitasnya, Vardy dkk hanya mampu mencetak 24 gol dan 43 kali kebobolan. Sangat jauh dari produktivitas musim sebelumnya.

Tetapi, sepakbola memang demikian. Jika sudah merosot, tak peduli seberapa berpengaruh seseorang untuk dipertahankan. Mungkin hanya seorang Wenger yang tak mampu di sentuh jabatannya di kursi manajer Arsenal meski telah lebih dari 1 dekade tidak mengangkat trofi liga Inggris. Meski demikian, Wenger memberikan konsistensi selalu berada di 4 besar, sehingga setiap musim Arsenal wajib berlaga di Liga Champion Eropa.

Dilema Yang Harus Direlakan

Pemecatan sang thinkermanmemang sebuah dilema bagi semua pihak. Fans sepakbola kota Leicester berduka mendalam atas pemecatan ini. Begitu juga dengan pelaku sepakbola lain, macam Jose Mourinho yang sengaja memakai kaos berinisal CR, untuk memberikan motivasi kepada sang pelatih. Tak ketinggalan juga Gary Lineker yang mengaku menangis setelah mendengar kabar pemecatan itu.

Pemecatan memang sedih, terutama bagi seorang pelatih yang membawa sebuah klub merengkuh trofi paling bergensi sepanjang sejarah klub. Mungkin, tidak akan ada lagi pelatih yang mampu membawa Leicester kembali juara liga Inggris lagi. Dan musim ini, Leicester terancam terdepak ke divisi Championship mengingat jarak mereka dengan penghuni dasar klasemen hanya 2 poin saja.

Apa daya, perubahan harus dilakukan secepat mungkin. Revolusi namanya. Kebijakan ada ditangan sang pemilik Klub, Srivaddhanaprabha dan keluarga, bukan di tangan sang manager. Semua orang tahu jika Ranieri juga memikirkan cara agar keluar dari hasil buruk musim ini, tetapi pemilik sudah tak sabar. Romantika pesta jawara musim lalu sudah terasa hambar karena begitu sulitnya mencapai kemenangan di Liga Inggris.

Habis manis sepah dibuang, habis memori manis, thinkermandi selesaikan masa baktinya. Sepakbola memang demikian, sekarang adalah sekarang, masa lalu adalah tinggal sejarah. Terimakasih Mr. Ranieri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun