Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya lebih suka mencurahkan perasaannya di Twitter. Dalam seminggu terakhir ini, SBY sedang dalam rajin-rajinnya mengetweet tentang kondisi dirinya yang merasa terpojok dengan kondisi sosial terkini. Mulai dari dugaan bahwa dirinya telah di sadap oleh pihak pemerintah, mengadu kepada Allah di Twitter, mengaku bahwa rumahnya digruduk oleh ratusan orang, dan lain-lain.
Entah mengapa sebagian besar netizen justru menganggap sinis tweet SBY ini karena mungkin beropini bahwa tindakan tersebut tidak mencerminkan sikap seorang negarawan. Seorang negarawan sejatinya membahas masalah langsung bertatap muka, tetapi agaknya SBY lebih suka berdoa lewat media sosial dan “curhat” di media sosial sehingga sedikit terkesan “norak”.
Begitu juga dengan Jokowi yang tidak mau terganggu dengan isu kekinian yang sedang terjadi, Presiden Republik Indonesia asal Solo ini selalu mampu membalas setiap kritikan dan tudingan yang ditujukan kepada dirinya dengan gaya khasnya, komunikasi non verbal.
Entah benar atau tidak, tetapi setiap SBY melakukan curhat dan kritik di media sosial, Jokowi tak lama memberikan respons. Respons itu ditunjukkan dengan cara yang elegan, terlihat biasa tetapi sebenarnya menusuk di dalam hati.
Terbaru, Jokowi sedang bermain futsal bersama menteri, panglima, kapolri, dan wartawan istana pada Selasa, 2 Februari 2016 di kawasan Kelapa Gading dalam rangka menyambut Hari Pers.
“Kita ingin pemerintahan ya saya bersama menteri-menteri ingin terus bersahabat dengan media,” kata Jokowi seperti dikutip dari Kompas.com
Jokowi berada satu tim bersama Tito Karnavian, Gatot Nurmantyo, Pramono Agung, Teten Masduki, Wiranto, Menhub Budi Karya, dan Mentan Amran Sulaiman. Mereka mengenakan seragam abu-abu bertanding melawan tim wartawan yang biasa meliput di istana yang mengenakan seragam hijau.
Lantas, di mana letak jawaban Jokowi terhadap tweet SBY yang memanas selama seminggu terakhir ini? ya, jawabannya ada di situ, ketika Jokowi bermain futsal, ada pesan persatuan dan perdamaian yang bersahabat dengan media (rakyat Indonesia) secara khusus. Jokowi merangkul para lembaga vital seperti menteri-menteri, Kapolri, dan Jenderal TNI untuk bermain bersama-sama dengan wartawan istana untuk bermain secara sportif, aman, damai, dan tidak memprovokasi lawan.
Meski tim presiden kalah 4-5 dari wartawan istana, mereka tetap menerima kekalahan tersebut karena memang faktanya demikian. Terlepas dari alasan kondisi fisik yang tidak mendukung untuk tim presiden, jiwa besar memang diperlukan untuk menerima suatu situasi meski dalam keadaan terpahit sekalipun, bukan malah menuntut atau mengungkap berbagai alasan atas kekalahan.
Bola kerap diidentikkan dengan sebuah keputusan yang akan diambil. Bola kini berada di tangan Jokowi, bukan SBY lagi sehingga Jokowilah yang mengatur skenario yang terjadi dalam negara ini, bukan SBY lagi karena SBY sudah bukan presiden lagi. Tindakan dalam mengambil keputusan harus dilakukan secara saksama, tepat sasaran, arah yang jelas, serta ada target. Kritik memang diperlukan untuk membangun, tetapi jika kritik hanya lewat twitter atau sekedar curhat di media sosial, bagaimana tercapainya ide-ide yang dimaksudkan sementara rakyat saja sudah memandang jelek tindakan yang demikian?
Pertandingan ini agaknya juga menjadi jawaban secara tidak langsung atas fenomena politik yang terjadi selama ini dimana banyaknya aksi provokatif dari suatu kelompok kepada orang/kelompok lain. Pertandingan sportif yang diperagakan Jokowi bersama teamnya dan lawannya juga menjadi jawaban tersirat atas banyaknya pejabat negara yang selalu berusaha melakukan provokasi terhadap suatu kasus yang terjadi, padahal masih ada badan hukum yang berwenang untuk menangani kasus tersebut. Banyak pejabat negara yang melakukan keputusan melampaui wewenangnya sebagai pemangku jabatan tersebut sehingga yang terjadi perampasan hak, korupsi, dan tindakan pelanggaran lain semakin marak.