Satu hal menarik ketika kedatangan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ustad Tengku Zulkarnain ditolak secara serentak oleh warga kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dibandara Susilo Sintang. Melihat kerumunan massa yang menolak kedatangannya lengkap dengan baju adat dayak, Tengku dan rombongan tidak jadi turun dari pesawat dan lepas landas untuk kembali ke Pontianak.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Berawal dari pernyataan sang ustad beberapa waktu lalu bahwa suku dayak merupakan kafir, tidak pantas masuk surga dan bahkan lebih buruk dari binatang merupakan alasan yang sangat menyulut emosi baik secara lahir maupun batin masyarakat yang merasa tersinggung.
Statement dari Tengku memang statement yang sangat kontradiktif mengingat Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam latar belakang, baik suku, agama, kepercayaan, dan lain-lain. Ceramah dan pernyataan sang Ustad Tengku merupakan salah satu bentuk provokasi yang berniat untuk memecah belah persatuan bangsa secara massif.
Tengku bukannya tidak tahu tentang ajaran Pancasila, bukannya tidak tahu tentang ajaran Islam yang damai. Tetapi, karena ego dan keinginan kelompok, kata-kata pengkafiran kepada orang lain menjadi terdengar menyakitkan, terlebih kepada mereka yang direndahkan lebih rendah dari derajat dan harkatnya sebagai manusia.
Agaknya beberapa daerah lain di Indonesia juga akan melakukan hal yang sama terhadap Tengku dan jajarannya jika berkunjung ke daerah tersebut karena provokasi yang memecah persatuan bangsa. Cap provokator sudah melekat sangat erat dengan identitasnya apalagi dirinya sangat identik dengan beberap ormas yang dipandang negatif oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena arogansi dan pemaksaan kehendak. Apa yang dilakukan oleh warga Dayak di Sintang merupakan salah satu gambaran betapa sebenarnya bangsa ini sangat cinta terhadap perdamaian tetapi sangat benci terhadap usaha pemecah belah.
Semua suku, agama dan ras dengan keyakinannya masing-masing telah menemukan cara tersendiri untuk menjadi masyarakat yang cinta damai tanpa perlu campur tangan kelompok lain soal kedamaian. Semua suku memiliki cara tersendiri agar dekat dengan Tuhannya, agar manusiawi, dan agar saling menghargai. Keberadaan Tengku adalah satu contoh betapa seorang tokoh mampu mengusik sebuah perdamaian disuatu daerah.
Tak perlu kelompok dari luar sebuah wilayah untuk mengajarkan tentang perdamaian dan jalan Tuhan. Tuhan juga memberikan jalannya tersendiri bagi masing-masing umatnya agar menuju jalan kebenaran. Bukankah agama terbaik adalah agama yang cinta damai dan manusiawi? Jika tidak bisa menjaga dan mengikat kebhinnekaan, setidaknya jangan melonggarkan tali kebhinnekaan agar tidak terjadi gesekan-gesekan ketika sedang berkunjung ke daerah lain di Indonesia.
Rakyat Sintang adalah rakyat yang cinta damai, tetapi tidak ingin kedamaiannya dan keyakinannya diusik, itulah salah satu rahmat Tuhan sang pencipta alam semesta. Rakyat Sintang telah memberi sebuah pelajaran berharga bagi sang provokator agar menggunakan dan mengucapkan sesuatu sesuai dengan tempat dan waktunya.
Kejadian tersebut hanyalah satu dari semesta Indonesia yang menginginkan perdamaian tanpa adanya provokasi. Sudah saatnya saling merawat kebhinnekaan agar terjalin hubungan yang saling menghargai. Ingat, pelangi bukanlah pelangi jika warnanya hanya satu, cinta bukanlah cinta jika insan hanyalah satu, Indonesia bukanlah Indonesia jika suku, agama, dan budayanya hanya satu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H