Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi baru-baru ini mengusulkan program yang cukup nyentrik dan menarik perhatian masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, program yang akan dicanangkan itu berbanding terbalik dengan kebiasaan dan harapan sebagian besar orang tua dan murid. Muhadjir Effendi akan menggagas sistem “full day school”untuk pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SMP), baik negeri maupun swasta.
Meski mendapat banyak kritikan atas usulan ini, tetapi Muhadjir Effendi berdalih jika program ini memiliki alasan agar anak tidak sendirian ketika orang tua masih bekerja. Full Day Schoolmenurutnya akan semakin membuat siswa terpacu untuk belajar, mengerjakan tugas, melakukan kegiatan positif, dan akan bisa dijemput oleh orang tua siswa bersamaan dengan jam pulang kerja orang tua. Demikian juga dengan aktivitas lain, kegiatan ini mendorong siswa untuk aktif dalam melakukan ekstrakurikuler sesuai dengan bidang yang diminati seperti olahraga, seni, ilmu agama, organisasi, dan lain-lain.
Gagasan ini jelas mengundang kontradiksi yang teramat berbanding terbalik dengan kurikulum yang sedang digunakan oleh sistem pendidikan Indonesia yaitu kurikulum 2013. Kurikulum 2013 yang memberikan kebebasan kepada siswa dalam bertindak, berperilaku, dan menganalisas suatu masalah berlawanan dengan usulan Muhadjir Effendi yang jelas memberikan tekanan dan target tertentu yang kepada siswa.
Full Day Schooljelas tidak akan menyenangkan bagi siswa karena untuk belajar dari jam 07.00 - jam 14.00 pun banyak siswa yang sudah dalam kondisi terendah dalam proses belajar seperti masalah ngantuk, kecapekan, tidur, atau bahkan alasan psikologis lainnya.
Dalam kurikulum 2013, siswa diberikan kebebasan untuk menemukan masalah, mencari solusi masalah, hingga menciptakan inovasi sebebas-bebasnya dengan panduan dan bimbingan dari guru. Jadi guru juga berperan sebagai media, bukan hanya sebagai narasumber materi yang dipelajari. Ruang lingkup pencarian masalah, solusi dan inovasi baru secara umum tak cukup dilakukan hanya di lingkungan sekolah karena lingkungan sekolah adalah bagian terkecil dari perkembangan psikologis dan pengetahuan anak didik.
Jika anak didik seharian penuh ditempatkan disekolah, rasa bosan dan jenuh sudah tentu menjadi hal yang paling pertama muncul. Mendengar istilah Full Day School saja sudah membuat efek negatif terhadap psikologis anak karena anak didik akan membayangkan bagaimana repot dan capeknya belajar pada jam normal ditambah lagi jam belajar hingga seharian penuh. Meski konsep yang di kemukakan oleh Muhadjir Effendi bukan mengartikan Full Day School bukan berarti belajar penuh seharian, siswa, guru, dan orang tua akan tetap berpikiran tentang belajar, belajar, dan belajar, tetapi persepsi tentang istilah itu tetap akan mengarah tentang seharian belajar penuh disekolah.
Zaman sekarang, belajar disekolah adalah sesuatu yang tidak kerenlagi, atau dianggap sudah membosankan, atau bisa dikatakan sudah bukan zamannya lagi. Pemerintah harusnya mencari cara atau program belajar yang asyik dan menyenangkan bagi siswa apalagi perkembangan teknologi sangat mendukung untuk proses belajar yang akan dijadikan sebagai media dan sumber belajar anak didik. Itulah yang perlu dikembangkan oleh pemerintah, bukan menambah jam belajar atau aktivitas disekolah dengan dalih atau alasan pengembangan moral.
Perlu Berkaca Ke Finlandia
Sebagai satu acuan, kita hendaknya berkaca terhadap sistem pendidikan di negara dengan Indeks pendidikan terbaik dan nomor satu di dunia, Finlandia. Jam belajar di Finlandia hanyalah 4-5 jam saja untuk tingkat SD-SMP sehingga mereka relatif memiliki jam istrahat yang lebih banyak. Siswa juga diberikan otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dikuasai, bukan dipaksakan layaknya seperti yang lazim terjadi di Indonesia.
Sistem pendidikan di Finlandia tidak boleh di intervensi oleh pemerintah, termasuk presiden sekalipun, hanya guru beserta jajarannya yang menentukan mana kurikulum yang dipakai, fasilitas apa yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga pemerintah hanya berperan sebagai penyokong finansial dan legalitas.
Untuk meningkatkan kepekaan terhadap fenomena sosial, Finlandia kerap kali mengundang siswa untuk belajar langsung terhadap alam, artinya diberikan kebebasan kepada siswa untuk meneliti, menjelajah, serta memberikan penfasiran sesuai dengan lingkungan alam yang tersedia dan kemampuan siswa. Hal ini membuat siswa di Finlandia sangat cerdas dan peka terhadap fenomena alam dan lingkungan sosial yang terjadi disekitarnya. Para siswa akan terampil dalam berdiskusi dan memecahkan masalah baik yang bersifat sosial maupun ilmiah dan eksakta.