Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Belajar Tak Selamanya Harus di Sekolah

10 Agustus 2016   13:22 Diperbarui: 10 Agustus 2016   13:37 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa belajar di alam. Sumber : pendidikankritis

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi baru-baru ini mengusulkan program yang cukup nyentrik dan menarik perhatian  masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, program yang akan dicanangkan itu berbanding terbalik dengan kebiasaan dan harapan sebagian besar orang tua dan murid. Muhadjir Effendi akan menggagas sistem “full day school”untuk pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SMP), baik negeri maupun swasta.

Meski mendapat banyak kritikan atas usulan ini, tetapi Muhadjir Effendi berdalih jika program ini memiliki alasan agar anak tidak sendirian ketika orang tua masih bekerja. Full Day Schoolmenurutnya akan semakin membuat siswa terpacu untuk belajar, mengerjakan tugas, melakukan kegiatan positif, dan akan bisa dijemput oleh orang tua siswa bersamaan dengan jam pulang kerja orang tua. Demikian juga dengan aktivitas lain, kegiatan ini mendorong siswa untuk aktif dalam melakukan ekstrakurikuler sesuai dengan bidang yang diminati seperti olahraga, seni, ilmu agama, organisasi, dan lain-lain.

Gagasan ini jelas mengundang kontradiksi yang teramat berbanding terbalik dengan kurikulum yang sedang digunakan oleh sistem pendidikan Indonesia yaitu kurikulum 2013. Kurikulum 2013 yang memberikan kebebasan kepada siswa dalam bertindak, berperilaku, dan menganalisas suatu masalah berlawanan dengan usulan Muhadjir Effendi yang jelas memberikan tekanan dan target tertentu yang kepada siswa.

 Full Day Schooljelas tidak akan menyenangkan bagi siswa karena untuk belajar dari jam 07.00 - jam 14.00 pun banyak siswa yang sudah dalam kondisi terendah dalam proses belajar seperti masalah ngantuk, kecapekan, tidur, atau bahkan alasan psikologis lainnya.

Dalam kurikulum 2013, siswa diberikan kebebasan untuk menemukan masalah, mencari solusi masalah, hingga menciptakan inovasi sebebas-bebasnya dengan panduan dan bimbingan dari guru. Jadi guru juga berperan sebagai media, bukan hanya sebagai narasumber materi yang dipelajari. Ruang lingkup pencarian masalah, solusi dan inovasi baru secara umum tak cukup dilakukan hanya di lingkungan sekolah karena lingkungan sekolah adalah bagian terkecil dari perkembangan psikologis dan pengetahuan anak didik.

Jika anak didik seharian penuh ditempatkan disekolah, rasa bosan dan jenuh sudah tentu menjadi hal yang paling pertama muncul. Mendengar istilah Full Day School saja sudah membuat efek negatif terhadap psikologis anak karena anak didik akan membayangkan bagaimana repot dan capeknya belajar pada jam normal ditambah lagi jam belajar hingga seharian penuh. Meski konsep yang di kemukakan oleh Muhadjir Effendi bukan mengartikan Full Day School bukan berarti belajar penuh seharian, siswa, guru, dan orang tua akan tetap berpikiran tentang belajar, belajar, dan belajar, tetapi persepsi tentang istilah itu tetap akan mengarah tentang seharian belajar penuh disekolah.

Zaman sekarang, belajar disekolah adalah sesuatu yang tidak kerenlagi, atau dianggap sudah membosankan, atau bisa dikatakan sudah bukan zamannya lagi. Pemerintah harusnya mencari cara atau program belajar yang asyik dan menyenangkan bagi siswa apalagi perkembangan teknologi sangat mendukung untuk proses belajar yang akan dijadikan sebagai media dan sumber belajar anak didik. Itulah yang perlu dikembangkan oleh pemerintah, bukan menambah jam belajar atau aktivitas disekolah dengan dalih atau alasan pengembangan moral.

Perlu Berkaca Ke Finlandia

Sebagai satu acuan, kita hendaknya berkaca terhadap sistem pendidikan di negara dengan Indeks pendidikan terbaik dan nomor satu di dunia, Finlandia. Jam belajar di Finlandia hanyalah 4-5 jam saja untuk tingkat SD-SMP sehingga mereka relatif memiliki jam istrahat yang lebih banyak. Siswa juga diberikan otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dikuasai, bukan dipaksakan layaknya seperti yang lazim terjadi di Indonesia. 

Sistem pendidikan di Finlandia tidak boleh di intervensi oleh pemerintah, termasuk presiden sekalipun, hanya guru beserta jajarannya yang menentukan mana kurikulum yang dipakai, fasilitas apa yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga pemerintah hanya berperan sebagai penyokong finansial dan legalitas.

Untuk meningkatkan kepekaan terhadap fenomena sosial, Finlandia kerap kali mengundang siswa untuk belajar langsung terhadap alam, artinya diberikan kebebasan kepada siswa untuk meneliti, menjelajah, serta memberikan penfasiran sesuai dengan lingkungan alam yang tersedia dan kemampuan siswa. Hal ini membuat siswa di Finlandia sangat cerdas dan peka terhadap fenomena alam dan lingkungan sosial yang terjadi disekitarnya. Para siswa akan terampil dalam berdiskusi dan memecahkan masalah baik yang bersifat sosial maupun ilmiah dan eksakta.

Kembali ke gagasan Full Day School.Gagasan ini sudah barang tentu akan menggunakan lingkungan sekolah sebagai sarana dan prasarana atau sebagai ruang lingkup praktek kebijakannya. Jika dalam tiga tahun siswa proses belajar siswa ditetapkan di lingkungan sekolah, sama saja ibarat “menyuruh ikan terbang didalam kandang kering”.

Sudah disuruh terbang, dikandang kering pula. Siswa butuh wadah yang lebih luas untuk berekspresi dan berinovasi karena belajar itu bukan hanya dilingkungan sekolah. Lingkungan terbesar dalam proses belajar ada di lingkungan masyarakat itu sendiri termasuk keluarga karena selama – lama kita tinggal disekolah, tetap kita akan kembali ke lingkungan keluarga. Keluarga adalah pembentuk karakter yang utama bukan sekolah.

Keluarga dan masyarakat adalah pembentuk karakter dan watak anak didik selama-lamanya, bukan sekolah. Siswa yang bisa belajar di lingkungan sekolah belum tentu terampil untuk menyikapi fenomena lingkungan sosial, tetapi siswa yang sudah terampil dalam menghadapi fenomena sosial, sudah tentu dia akan sukses belajar di dunia sekolah.

Kedua ruang lingkup ini memiliki hubungan erat dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa. Seperti tujuan kurikulum 2013 yang menekankan aspek afektif (moral, tingkah laku, dan sikap) siswa, sudah saatnya diberikan kebebasaan kepada siswa untuk berekspresi sebebasnya, bukan hanya belajar di lingkungan sekolah. Waktu jam 07.00- jam 14.00 sudah lebih dari cukup untuk belajar disekolah, selebihnya berikan kebebasan kepada siswa untuk menerapkan, mengevaluasi, dan menemukan  apa yang dipelajari disekolah agar siswa lebih paham dan mengalami sendiri apa yang dipelajari disekolah.

Soal perilaku negatif siswa karena jam pulang kerja orang tua yang lebih lama dari jam pulang anak sekolah, seharusnya ini bukanlah alasan bagi pemerintah. Masalah mental dan perilaku anak didik tergantung dari apa yang didapatkannya disekolah dan lingkungannya sehingga perlu kerjasama antara guru, orang tua, dan masyarakat sekitar untuk mendukung perilaku anak agar lebih baik. 

Guru memberikan bimbingan dan pengawasan disekolah, orang tua memberikan dorongan, dan masyarakat memberikan apresiasi atas pencapaian anak didik, sepertinya sudah cukup untuk meningkatkan kualitas anak didik tanpa harus membebani pikiran dan jam belajar disekolah. Belajar bisa dimana saja, bukan harus disekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun