Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi di Tubuh Koalisi Pemerintah

22 Oktober 2015   13:11 Diperbarui: 22 Oktober 2015   13:11 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi sepertinya masih sangat melekat bagi seluruh aparatur pemerintahan negara Indonesia tercinta ini. Baru-baru ini, dua anggota dari koalisi pemerintahan Patrice Rio Capella (Anggota Fraksi NASDEM dan DPR RI) dan Dewie Yasin Limpo (Anggota Fraksi HANURA dan komisi VII DPR RI) resmi ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua-duanya berbuntut kasus suap, Rio Capella tersangka dugaan kasus suap bersama Gubernur Sumatera Utara (Sumut) nonaktif Gatot Pudjo Nugroho dan istrinya Evy Susanti sedangkan Dewie terlibat dalam kasus suap proyek pembangkit listrik di Papua.

Selain statusnya sebagai anggota DPR RI, statusnya sebagai anggota koalisi pemerintahan telah mulai mencoreng wajah dan nama baik Jokowi-JK dalam 1 tahun awal pemerintahan Jokowi-JK. Betapa tidak, pemerintahan Kabinet Indonesia Hebat (KIH) yang sedang menggagas anti korupsi dengan berbagai cara seperti revolusi mental dan pelaksanaan birokrasi yang baik dan transparan terganjal oleh ulah kedua pejabat negara ini.

Kondisi seakan mengingatkan kita kembali ke zaman rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dimana dengan slogan berapi-api, “Katakan Tidak Pada Korupsi” oleh para koalisi dan kabinet serta masing-masing jajarannya. Meski memacu kampanye antikorupsi yang berapi-api tersebut, akhirnya koalisi pemerintahan saat itu juga yang pertama terjun ke jurang Korupsi yang di jerat oleh KPK. Beberapa anggota koalisi dan partai seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng harus mendekam di dalam jeruji besi. Saat itu juga mereka melepas status mereka sebagai anggota partai dan bebagai jabatan pemerintahan yang mereka emban saat itu. Mereka  hanyalah sedikit dari koalisi pemerintahan yang tersadung batu korupsi di rezim SBY, masih banyak kasus lain yang belum jelas penyelesaiannya karena kriminalisasi KPK saat ini.

Kembali ke KIH dan kabinet kerja yang digagas oleh Jokowi-JK saat ini, kasus korpsi dan suap yang telah menjerat dua orang anggota koalisi ini jelas menghambat dan mengurangi tingkat kepercayaan publik terhadap KIH yang dipimpin oleh presiden Jokowi sendiri. Hal ini memunculkan spekuliasi, jangan-jangan di dalam tubuh KIH ini masih banyak anggota koalisi yang melakukan korupsi tetapi tidak (atau belum) dijamah oleh tangan besi KPK. Jangan-jangan permainan politik dan transaksional dilakukan oleh para anggota kabinet KIH masih banyak dan terselubung dibelakang mereka berdua ini?

Spekulasi seperti ini muncul adalah sebuah tindakan kewajaran bagi masyarakat umum karena rakyat belajar dari apa yang terjadi pada rezim SBY. Bukan hanya satu atau dua, nyaris separuh anggota partai dari fraksinya menjadi bulan-bulanan KPK karena terkait masalah korupsi, suap, dan nepotisme. Bahkan terakhir, KPK sepertinya mengarahkan target kepada anak SBY, Edi Baskoro dan mantan wakilnya, Boediono. Meski masih abu-abu, tetapi arah tudingan KPK biasanya berakhir di siding putusan yang menjerat para tersangka ke dalam tahanan.

Komitmen Pemerintah

Saat kampanye Pilpres, antikorupsi adalah salah satu program utama Jokowi-JK karena begitu banyaknya para pemegang kekuasaan pemerintahan negara dan daerah yang candu akan korupsi. Harapan rakyat seperti benar-benar tertumpu hanya kepada Jokowi-JK dimana memang Jokowi memiliki latar belakang yang tegas soal pemberantasan korupsi. Saat masih menjabat sebagai walikota Solo dan Gubernur DKI, pemberantasan korupsi adalah prestasi cemerlang Jokowi selain pembangunan sentra perekonomian dan birokrasi yang transpran bagi masyarakat.

Kepercayaan publik itu masih tertanam sekarang di pundak Jokowi karena kebetulan kedua anggota koalisi ini bukan berada di dalam lingkarang kabinet pemerintah. Rakyat masih mensegmentasikan hubungan dan kinerja serta prestasi antara pemerintah (eksekutif) dengan anggota DPR (legislative). Hal ini akan semakin memperburuk citra DPR, begitu juga dengan citra KIH walau tidak berpengaruh untuk tubuh koalisi secara signifikan. Tindakan tegas dari partai Nasdem juga jelas dengan mengeluarkan Rio Capella dari keanggotaan resmi partai. Demikian juga dengan Hanura yang telah menunggu pengumuman resmi Dewie sebagai tersangka, direncakan akan mengeluarkan Dewie dari keanggotaan partai resmi.

Sikap para tersangka patut dipuji dengan mengundurkan diri dari keanggotaan dan kepengurusan partai serta dari keanggotaan DPR. Tetapi, masalah yang massif ini sepertinya memerlukan komitmen khusus untuk mengantisipasi tindakan (khususnya anggota KIH dan kabinet) agar benar-benar memiliki kesadaran untuk tidak melakukan tindakan korusi dan suap.

Pemerintah sepertinya harus lebih tegas untuk mendorong KPK dan lembaga penegak hukum lainnya untuk memberantas serta menangkap calon penghuni tahanan kelas koruptor. Peran utama ada di presiden Jokowi itu sendiri. Lembaga KPK yang masih gonjang-ganjing merupakan salah satu alat terkuat dan independen untuk menyelidiki siapapun yang terindikasi dan terlibat dalam kasus koruspsi. Presiden harus memberikan dukungan nyata dan tegas untuk memperkuat posisi KPK termasuk memperkuat UU KPK (khusus untuk penguatan) bukan pelemahan kinerja dan kewenangan KPK.

Penguatan KPK adalah satu-satunya opsi terbaik selain komitmen yang utuh dari pemerintah untuk tidak melakukan korupsi. Pemerintah akan semakin lemah dan tidak memiliki trust political yang baik jika satu persatu anggota KIH dan kabinet serta jajarannya diseret ke gedung KPK. Bukan berarti menghindari KPK, tetapi komitmen untuk jujur menjadi tameng Jokowi-JK agar menjadi pemerintahan yang bersih dan bebas dari polusi korupsi. Sebentar lagi pemimpin KPK yang baru akan dipilih dan diresmikan, semoga pimpinan KPK menjadi pemimpin yang mampu menggagahi dan memerangi korupsi.

 

Jhon Miduk Sitorus, Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNJ.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun