Mohon tunggu...
Jinani Firdausiah
Jinani Firdausiah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi, Pensajak Lusuh, Lawyers in the future

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi Hukum dan Keadilan Kasus Pelecehan Seksual

8 Mei 2019   09:00 Diperbarui: 8 Mei 2019   09:17 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Pelecehan seksual bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Sampai saat ini, masih banyak kasus-kasus yang menyangkut tentang pelecehan seksual ini. Korbannya tidak hanya berasal dari kaum perempuan, anak dibawah umur pun kerap kali menjadi korban maraknya kasus pelecehan seksual. 

Hal ini memantik adanya kontroversi antar hukum dan keadilan yang semestinya diperoleh oleh korban pelecehan seksual. Karena tidak hanya dirugikan secara fisik, korban pelecehan seksual juga akan mengalami depresi mental, trauma psikis bahkan ada yang harus menerima hujatan dari orang-orang disekitarnya.


Kontroversi antar hukum dan keadilan yang diterima korban tidak sepadan dari apa yang dialami korban. Menilik dari banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi, terlebih lagi korbannya adalah anak dibawah umur. Banyak kasus-kasus yang meloloskan pelaku pelecehan seksual hanya karena kurangnya saksi atau alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya pelecehan seksual tersebut. Bisa jadi juga adanya kongkalikong antar pelaku dan hakim yang menangani kasus tersebut. Hal ini menjadikan korban kehilangan haknya di mata hukum untuk menerima keadilan.


Seperti kasus yang baru saja terjadi, kasus pelecehan seksual di daerah Bogor yang menimpa dua anak kakak-beradik yang masih dibawah umur dengan nama samaran Joni dan Jeni. Kedua bocah ini mendapat perlakuan tidak senonoh dari tetangganya sendiri, dengan inisial HI, 41 tahun. Kejadiannya bermula saat Joni dan Jeni sering mengunjungi rumah HI untuk bermain bersama anak HI. Mulanya, adik Joni, yakni Jeni, yang awalnya dilecehkan oleh HI. Sampai kemudian Joni, anak yang diketahui sebagai penyandang disabilitas pun turut menjadi korban pelecehan seksual HI.


Kasus ini baru terkuak ke publik setelah orangtua Joni dan Jeni melaporkan perbuatan HI ke Pengadilan Negeri Cibinong. Mirisnya, pelaku yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk di vonis 14 tahun penjara malah di bebaskan oleh hakim PN Cibinong yang saat itu ditangani oleh hakim bernama Ali Askandar. Tentu saja hal ini memancing kemarahan publik. Bahkan sampai muncul sebuah petisi yang mendukung agar kasus ini diusut secara jelas.


Kejanggalan terhadap penanganan kasus ini di ungkapkan oleh Uli Pangaribuan dari LBH Apik sebagai kuasa hukum korban. Uli meninjau kembali bahwa ada ketidakberesan yang terjadi saaat kasus ini ditangani oleh PN Cibinong. Hakim yang menangani kasus ini menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat kejadian tersebut. Pernyataan hakim Ali Iskandar yang menangani kasus ini dinilai tidak masuk akal untuk dijadikan alasan melepas pelaku pelecehan seksual. Sedangkan berdasarkan "Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)" pembuktian dalam hukum pidana adalah menggunakan lima macam alat bukti. Yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan yang terakhir adalah keterangan terdakwa. Pihak korban sudah memberikan alat bukti berupa hasil visum kedua korban yang mengalami luka robek di bagian vitalnya. Terlebih lagi, pelaku juga sudah mengakui perbuatannya di depan hakim. Seperti yang dirilis dalam laman berita dertiknews.com, Sabtu, 27 April 2019, Uli Pangaribuan akan terus meminta bantuan dari berbagai pihak untuk melanjutkan penanganan kasus ini agar korban memperoleh keadilan yang seharusnya.


Tidak hanya sebatas itu, Joni dan Jeni pun turut menjadi korban bully di sekolahnya. Untuk anak yang dikatakan masih belia, berumur 14 tahun dan 7 tahun, kejadian ini akan sangat mempengaruhi psikisnya. Selain menerima perlakuan pelecehan seksual terhadap dirinya, kedua anak ini juga akan menanggung beban mental dan beban moral yang tidak dapat dipastikan sampai kapan. Ditambah dengan di bebaskannya pelaku begitu saja.


Tentu saja kasus yang di alami Joni dan Jeni tidak dapat begitu saja di abaikan. Dengan di bebaskannya pelaku pelecehan seksual, tidak menutup kemungkinan akan berbuntut lebih banyak lagi kasus pelecehan seksual yang tertuju pada anak dibawah umur. Belum lagi dengan terkuaknya kasus ini, akan memantik pandangan masyarakat terkait kinerja aparat penegak hukum perihal keadilan yang seharusnya diterima korban. 

Kasus Joni dan Jeni hanyalah satu dari sekian ribu kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.  Baik korbannya dari anak dibawah umur, pelajar yang dilecehkan gurunya, hingga pelecehan seksual yang terjadi di muka umum.


Kasus lain yang terjadi adalah pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen Universitas ternama di Yogyakarta terhadap seorang mahasiswinya. Kasus ini juga menuai kontroversi publik. Di karenakan sampai saat ini, belum ada tindak lanjut yang diperoleh korban dalam pemenuhan keadilan terhadap kelanjutan kasus ini. Selain itu, pihak Universitas juga tidak terlihat bergerak untuk menangani kasus ini dengan serius. Kasus ini terus berlarut-larut, hingga pada Senin, 4/2/2019. Kasus ini dinyatakan selesai melalui proses perdamaian.


Kasus pelecehan ini tidak dapat dilepas begitu saja. Kasus pelecehan seksual di dunia pendidikan juga tidak terjadi satu atau dua kali saja. Banyak kasus-kasus yang melibatkan pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya. Namun, pengusutan kasus-kasus seperti ini masih sama, tidak semua kasus tuntas dan berujung keadilan terhadap korban.


Kasus-kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Dengan melepaskan pelaku pelecehan seksual akan memberi peluang bagi pelaku-pelaku pelecehan seksual yang lain untuk lebih leluasa melakukan tindakan tidak senonoh ini. Bahkan saat pelaku pelecehan seksual sudah dijatuhi hukuman, kondisi psikis dan mental korban masih tidak dapat dipastikan akan baik-baik saja. Kita harus turut memahami dan menyuarakan keadilan bagi korban pelecehan seksual atas apa yang telah dialaminya. Dengan di sepelekannya kasus-kasus ini, tidak akan mengakhiri berbagai kasus seputar pelecehan seksual yang akan berulang terjadi.


Berbicara tentang keadilan korban pelecehan seksual dimata hukum, keadilan seharusnya menjadi sesuatu yang mudah didapatkan oleh masyarakat. Korban dari suatu kejahatan pidana pun harus mendapat perlindungan di mata hukum terkait saksi pernyataan yang diterangkannya dalam melaporkan kejahatan yang dialaminya.


Menyinggung terkait di terbitkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual juga sempat menuai kontroversi berbagai pihak. Penerapan RUU Penghapusan Kekeraan Seksual ini dinilai akan melegalkan terjadinya pelecehan seksual yang di dasari atas suka sama suka. Kontroversi ini juga sempat memunculkan sebuah petisi yang menyatakan penolakan di terbitkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hingga pada bulan Mei 2018, petisi penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kembali diperbarui oleh jaringan #GerakBersama. Setelah diperbarui, petisi penolakan tersebut berubah menjadi petisi yang mendukung diterbitkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut.
Memang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah ada pasal yang mengatur tentang tindakan pelecehan seksual. Namun, dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, penanganan terkait  kasus pelecehan seksual lebih spesifik diatur. Selain itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga lebih melindungi hak korban pelecehan seksual. Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, jenis kekerasan seksual lebih di spesifikkan. Dan jenis-jenis seperti, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual tidak diatur dalam pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).


Selebihnya, kontroversi terkait hukum dan keadilan pelecehan seksual memang masih diambang ketidakjelasan. Banyak korban pelecehan seksual yang terus-menerus mengalami ancaman dan tekanan sehingga tidak berani melaporkan pelecehan yang dialaminya. Bahkan, tidak jarang korban juga mengalami pembullyan dan pengasingan diri dari masyarakat dan orang-orang disekitarnya setelah kasusnya terungkap.


Hal ini menjadi alasan utama korban membiarkan masalah pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya tidak perlu ditangani secara hukum. Sehingga pelaku pelecehan seksual akan bebas berkeliaran dan tidak menutup kemungkinan akan terus melakukan perbuatannya. 

Oleh karena itu, keadilan sangatlah diperlukan oleh korban pelecehan seksual, baik itu pelaku dihukum dengan pidana semestinya maupun perlindungan serta pemulihan pada korban. Dengan begitu akan mampu mengurangi maraknya pelecehan seksual.


Keadilan hukum adalah harapan korban pelecehan seksual setelah apa yang dialaminya. Namun, apabila perlakuan hukum bertolak-belakang dari harapan korban akan menjadikan korban lebih menanggung beban mental yang ia derita setelah mengalami pelecehan seksual. Inilah yang menjadi tugas bersama seluruh masyarakat untuk tetap melindungi identitas korban serta aparat penegak hukum diharap memberikan keadilan yang sesungguhnya dalam penanganan kasus pelecehan seksual yang semakin marak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun