Poligami dalam Islam sering kali menjadi perdebatan, apakah ini anjuran, kebolehan, atau justru pengecualian dengan syarat ketat? Tafsir modern memberikan perspektif baru yang lebih kontekstual terhadap ayat tentang poligami, menyoroti prinsip keadilan yang menjadi syarat utama. Bagaimana para pemikir Muslim kontemporer memahami ayat ini? Dan bagaimana hukum serta praktik poligami berkembang dalam masyarakat Muslim saat ini?
Poligami adalah salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan dalam studi Islam kontemporer. Dalam Al-Qur'an, praktik ini disebutkan secara eksplisit, tetapi tafsir modern telah memberikan perspektif baru yang lebih kontekstual dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dasar hukum poligami disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 3:
Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim." (QS. An-Nisa/4 : 3)
Ayat ini sering dianggap sebagai dasar kebolehan poligami dalam Islam. Namun, para mufasir modern menyoroti bahwa ayat ini sebenarnya lebih menekankan pada keadilan dan tanggung jawab dalam pernikahan, bukan sekadar membolehkan poligami secara mutlak.
* Tafsir Modern tentang Poligami
Tafsir modern mencoba memahami konteks sejarah dan sosial ketika ayat ini diturunkan. Beberapa pemikir Muslim kontemporer memberikan pandangan yang lebih kritis terhadap praktik poligami:
1.Muhammad Abduh dan Rashid Rida
Kedua tokoh ini menekankan bahwa poligami dalam Islam bukanlah kewajiban atau anjuran, melainkan solusi darurat dalam kondisi tertentu, seperti peperangan yang menyebabkan ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan.
2.Fazlur Rahman
Dalam kajiannya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa Islam pada dasarnya mengarah pada monogami. Ia berargumen bahwa syarat "keadilan" dalam ayat tersebut sangat sulit dipenuhi, sehingga pilihan terbaik adalah pernikahan monogami.
3.Amina Wadud
Sebagai mufasir feminis, Amina Wadud melihat bahwa ayat ini sebenarnya memberikan batasan terhadap praktik poligami yang sudah marak pada masa Jahiliyah. Dalam tafsirnya, ia menekankan bahwa Islam lebih mengedepankan kesetaraan gender dan keadilan dalam pernikahan.
* Poligami dalam Konteks Hukum dan Sosial Modern
Banyak negara Muslim saat ini telah membatasi atau bahkan melarang poligami. Di beberapa negara seperti Tunisia dan Turki, poligami dilarang dengan alasan bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak-hak perempuan. Sementara di negara-negara lain seperti Indonesia dan Malaysia, poligami diperbolehkan tetapi dengan syarat ketat, seperti izin dari istri pertama dan persetujuan pengadilan.
Secara sosial, banyak perempuan Muslim modern menolak poligami karena dianggap merugikan hak-hak perempuan dan anak-anak. Perspektif ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan dampak psikologis dan ekonomi negatif dari praktik poligami dalam banyak kasus.
Kesimpulan
Tafsir modern Al-Qur'an menunjukkan bahwa poligami bukanlah anjuran dalam Islam, melainkan sebuah pengecualian dengan syarat yang sangat ketat. Dengan memahami konteks sosial dan prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam, banyak ulama modern berpendapat bahwa monogami adalah bentuk pernikahan yang lebih ideal sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, perdebatan mengenai poligami seharusnya tidak hanya berfokus pada hukum, tetapi juga pada nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan keluarga dalam Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI