Mohon tunggu...
Jihan Mawaddah
Jihan Mawaddah Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge seeker

Halo, saya Jihan. Lifestyle blogger yang sedang belajar banyak hal. Yuk saling bertukar pengalaman lewat tulisan. Baca tulisan saya lainnya di www.jeyjingga.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Peran Tak Terlihat dari Petugas Kesehatan yang Menembus Batas Ruang dan Waktu

4 November 2024   22:39 Diperbarui: 4 November 2024   22:55 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
edited pribadi with Canva

"Dokter, perawat, pokoknya semua pekerja di Rumah Sakit hingga puskesmas adalah orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan. Kamu dikasih obat biar apa? Biar balik kesana lagi." 

Suara-suara sumbang seperti ini seringkali menyayat hati saya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga biasa.

Bagaimana bisa orang berpikir sejauh dan sekelam itu jika umat manusia masih membutuhkan tenaga medis? Bagaimana bisa kita berhasil melewati wabah yang disebabkan oleh virus, bakteri atau kuman jika bukan karena tenaga medis?

Padahal belum lima tahun peristiwa mengerikan terjadi di seluruh dunia. Menggemparkan dunia kedokteran yang masih belum menemukan vaksinnya. Hujatan, teriakan, dan fitnah berisi konspirasi-konspirasi tidak mampu menyelamatkan mereka. Bahkan tidak mampu menekan angka penularan. Namun suara-suara sumbang tersebut masih terasa menyakitkan.

Pahlawan Tanpa Tanda Bintang Kehormatan

Kita semua tahu dan sepakat bahwa para pekerja kesehatan adalah pahlawan kita semua. Sepanjang sejarah, terutama saat pandemi yang terjadi beberapa tahun silam, para petugas kesehatan tetap berada di garis depan perlawanan untuk merawat orang sakit.
Tidak hanya merawat dan mengobati pasien, tapi juga mengelola tingkat stres dan kesedihan diri mereka sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ada sebuah kisah yang masih jelas dalam ingatan bagaimana Covid-19 dulu begitu menakutkan. Apalagi sebelum datangnya vaksin yang memberikan sedikit harapan.

"Bismillah ya. Kalau kita lakukan semua ini ikhlas karena Allah, insyaAllah keluarga kita juga ditolong Allah. Rumah Sakit kekurangan orang banget. Jadi bersabar dulu ya. InsyaAllah suamimu ini ngga kenapa-napa."

Saat mendengar kabar di gelombang pertama Covid-19 menggerogoti segala sendi kehidupan umat manusia di dunia ini, saya sempat khawatir dengan risiko kerja suami. Meskipun ia bukan seorang petugas medis di Rumah Sakit, tetap saja ia jelas akan lebih banyak terpapar virus dibanding orang lain.

Tak terbayangkan dengan dokter, perawat dan tenaga medis lain yang tentu lebih dekat dengan risiko tertular. Seperti apa perasaan keluarganya? Bagaimana jika mereka tidak selamat ketika dirinya sendiri sedang bertugas untuk menyelamatkan orang lain?

Sungguh, hal-hal buruk selalu menghantui saya kala itu, di bulan Agustus 2020. Saat Covid sedang ganas-ganasnya, semua orang bahkan takut untuk keluar rumah untuk saling menyapa tetangga.

Namun di sisi lain, kita melihat dokter, perawat, bidan, petugas administrasi rumah sakit, petugas kebersihan rumah sakit, satpam rumah sakit, hingga seorang programmer rumah sakit seperti suami saya pun harus bekerja di saat orang-orang diwajibkan untuk bekerja di rumah.

Saat itu saya tidak rela melepas suami menjadi relawan di Rumah Sakitnya untuk menjadi Satgas Covid-19. Ikut turun untuk membantu memandikan hingga menguburkan jenazah Covid-19.

Jadi saya bisa membayangkan sebesar apa kekhawatiran keluarga para petugas medis di Indonesia. Bagaimana kebesaran dan kelapangan hati mereka untuk mendukung sekaligus mendoakan orang-orang yang disayanginya berjuang di medan perang. Bukan perang melawan senjata buatan manusia, tapi berperang melawan sesuatu yang tak terlihat oleh mata.

Tidak hanya di masa-masa Covid-19, di masa-masa normal pun ada banyak hal yang dikorbankan oleh para petugas medis kita.

Pahlawan Yang Ajarkan Rasa Syukur

Tidak hanya itu, kisah berlanjut saat sebelum Covid-19 pun yang membuat saya sangat berterimakasih kepada salah satu perawat yang pernah merawat saya di tahun 2014.

Saat itu adalah masa-masa sulit dan kelam bagi hidup saya. Bernafas saja rasanya sangat berat. Sempat beberapa kali terpikir untuk menyerah pada keadaan.

Namun, usai operasi seorang perawat yang selama kurang lebih satu tahun selama pengobatan menemani saya, memaksa untuk memandikan saya sore itu.

Badan memang sudah berhari-hari atau bahkan satu minggu tidak mandi karena harus bedrest di atas ranjang rumah sakit yang menjemukan. Rambut juga tentu lepek.

Perawat tersebut sedikit memaksa, namun saya akhirnya luluh juga dan menyetujui tawarannya. Saya dimandikan dan dibersihkan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bahkan usai mandi, perawat itu sempat menyisiri rambut panjang saya dengan kasih sayang.

Tidak lepas dari mulutnya untuk mengingatkan saya agar tetap bersyukur dan berserah diri pada takdir. Sampai sekarang, saya masih mengingat jelas bagaimana kesegaran usai mandi itu terasa. Apa yang dikatakan oleh beliau akhirnya berhasil membuat saya bersyukur dan lebih bersemangat dalam menjalani hidup.

Jadi kalau ada suara-suara sumbang yang menyebarkan berita tidak benar tentang petugas kesehatan, saya pikir ia harus pernah merasakan sakit tak tertahankan hingga akhirnya ia menyerah dan terpaksa mengatakan : "aku membutuhkan dokter."

Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang Joseph Campbell:

"Pahlawan adalah seseorang yang telah menyerahkan hidupnya untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."

Selain itu petugas kesehatan juga sering bekerja di luar jam kerja yang ditentukan, bahkan di hari libur dan malam hari. Dalam situasi darurat atau bencana, banyak dari mereka yang tetap bekerja tanpa mengenal lelah. Termasuk bagaimana para tenaga medis bekerja di wilayah terpencil, akses terbatas, serta di kota besar yang dipenuhi pasien.

Menjawab Spekulasi Tentang Obat dan Vaksin

Seolah belum cukup dengan suara sumbang soal keuntungan, konspirasi tentang vaksin pun digaungkan.

Padahal berbicara soal obat maupun vaksin bukan hanya berbicara soal keselamatan dan kesehatan diri sendiri. Tapi juga tentang orang lain. Kita berbicara soal kemanusiaan.

Salah satu teman yang praktik di salah satu Rumah Sakit Swasta, dokter Frida menjelaskan dengan sangat jelas, gamblang, mudah dipahami dan tentu saja bisa masuk ke dalam hati dan pikiran saya. Yaitu :
"Ketika orang sudah mau divaksin, maka ia juga menyelamatkan orang lain dari risiko penularan virus. Maka salah jika dikatakan, "anak saya ngga kenapa-napa kok ngga divaksin." 

Sejatinya memang Allah telah memberikan kesehatan pada anak tersebut melalui temannya yang telah divaksin. Temannya yang sudah divaksin ini melindungi teman-temannya yang lain dari risiko tertular. Kembali lagi pada fungsi vaksin tersebut di atas bahwa vaksin akan membuat tubuhnya memiliki kemampuan untuk tidak mudah tertular dan juga tidak memiliki gejala berat kalaupun dia tertular."

Maka dengan adanya vaksin sebuah penyakit, kita juga bisa mengambil kesempatan agar bisa bermanfaat untuk orang banyak. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya?

Apa yang kita lakukan saat ini, yaitu bersedia diberikan vaksin adalah salah satu hal yang dulu juga pernah dilakukan oleh nenek moyang kita ketika menghadapi flu, polio, campak, dan penyakit lainnya.

Lalu hasilnya kita manfaatkan saat ini, sehingga penyakit-penyakit tersebut bisa ditekan laju penularannya sehingga menyelamatkan nyawa banyak orang sampai saat ini.

Apa yang kita lakukan saat ini adalah untuk masa depan ilmu pengetahuan serta kesehatan anak cucu kita kelak. Jika tak ada seorangpun yang bersedia untuk divaksin, sampai kapan penyakit baru akan menjadi momok di setiap sendi kehidupan kita.

Tsunami informasi yang terjadi karena kita tengah berada di era digital terkadang membuat kita bingung. Siapa yang benar? Mana yang benar? Apa yang harus kita lakukan?

Bahkan banyak orang yang mendadak menjadi "ahlinya" ketika suatu topik menjadi pembicaraan hangat. Semua ikut berpendapat sehingga membingungkan banyak orang. Begitulah yang terjadi saat ini.

Namun, sebenarnya kita sudah menemukan jawabannya dari pandangan berbagai agama yang diakui di Indonesia. Ya, tanyakan pada ahlinya dan serahkan pada ahlinya.

Jangan sampai merusak suatu sistem atau tatanan karena kita tidak menyerahkan sesuatu pada "ahlinya".

Hadits tentang bahaya menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris saa'ah."  Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Kamu percaya pada artis atau dukun? Atau kamu percaya ahli kesehatan untuk menangani berbagai macam penyakit yang kita hadapi saat ini? Pilihan ada di tanganmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun