Duluuu banget sekitar 10 tahun yang lalu ada penjual bakso gerobak yang mangkal di belakang kampus saya. Tempatnya tepat di bawah pohon besar nan rindang. Biasanya yang pesan bakso langsung duduk saja tuh kelesotan di situ atau menepi di dekat pos satpam. Kalau ngga cukup ya terpaksa duduk di trotoar jalan atau di atas rumput kawasan taman kampus yang sebenarnya dilarang untuk diinjak.
Waw apakah memang seramai itu? Iyaaa, sayangnya iyaa, dan bagi siapa saja yang mau kesana, self service deh. Ambil mangkoknya sendiri, ambil pentolnya sendiri, hitung sendiri, lalu laporan deh ke Pak penjual baksonya nanti ditotalin sama beliau.Â
Keberadaan bakso sayur isor uwit dulu juga mengundang banyak rizki untuk pedagang lain. Seperti pedagang es teh, es degan, sampai ke es dawet.Â
Alhamdulillahnya setelah pandemi kemarin saya mencoba mengunjungi lagi bakso sayur idola itu. Ternyata sudah bercabang-cabang euy! Cabangnya ada di beberapa titik meskipun masih mengosong konsep bakso "jalanan" dan tidak ada gerai khusus di ruko atau "tempat makan yang lebih nyaman" lainnya.
Nah yang paling menjadi langganan saya akhir-akhir ini adalah bakso sayur yang menyewa tempat di halaman rumah orang. Lokasinya tidak jauh dari lokasi semula yang persis banget di belakang kampus, bahkan mepet dengan gerbang belakang. Bangku-bangku untuk duduk dan meja yang nyaman pun sekarang sudah disediakan.
Ditambah dengan "gorengan" yang juga jadi idola pengunjungnya. Bakso sayur juga masih mengusung konsep self service lalu lapor ke penjual berapa biji pentol yang diambil. Boleh mengambil mie dan soun sebanyak-banyaknya, asal tahu diri pasti habis ya teman-teman agar tidak mubadzir.
Gorengan juga disediakan di meja-meja, lalu kita juga lebih mudah pesan minuman serta tambahan krupuknya. Karena sudah ada "counter" minuman sendiri. Meskipun selalu ramai setiap harinya, kita juga perlu budayakan antre dan "tahu diri" untuk tidak ngobrol terlalu lama di meja. Karena sudah pasti pengunjung lain yang tidak kebagian tempat duduk nungguin tempat kosong.Â
Apalagi kalau teman-teman kesana di atas jam 1 siang. Kebanyakan gorengan sudah habis, termasuk variasi pentolnya pun juga sudah habis. Kesana jam 2 siang? Bisa dipastikan biasanya kamu sudah kehabisan dan hanya bisa gigit jari karena Bapak penjual bakso sayur sudah bersiap untuk tutup gerai dan pulang.
Padahal jam bukanya jam 10 pagi lho. Jam 2 siang sudah habis. Bisa dibayangkan seramai apa ya tempatnya? Padahal tempat yang saat ini lebih luas dan lebih nyaman karena tidak terkena panas dan hujan bisa memuat sekitar 60 pengunjung tiap kedatangan. Tentu saja dengan duduk dempet-dempetan ya, hahaha.. bahkan jarak antar mejanya sangat memungkinkan untuk kita bisa mendengar pembicaraan orang asing di meja sebelah.
Kalau beruntung, teman-teman bisa masuk ke jam-jam yang tidak terlalu ramai, jadi bisa lebih menikmati suasana dan bakso yang dimakan perlahan sambil ngobrol soal masalah negara yang ngga selesai-selesai.
Intinya inilah bakso nusantara yang menjadi favorit saya, bakso sayur isor uwit yang terletak di belakang kampus Universitas Negeri Malang. Orang-orang bilang sih sebutnya bakso khas Jakarta, karena hanya terdiri dari pentol dan terkadang tahu serta mie atau soun. Tanpa siomay. Gorengan hanya pemanis dan jarang bisa ditemukan lengkap sebelum kehabisan. Jadi mungkin karena itulah orang-orang menyebutnya sebagai bakso Jakarta.Â
Tapi setelah kehadiran "gorengan" yang jadi ciri khas bakso Malang, saya pikir bakso sayur isor uwit tetap menjadi ciri khas bakso Malang yang kaya rasa kok. Wajib dicoba sih.
Sampai sekarang, bakso sayur isor uwit masih menjadi bakso sayur yang letaknya tetap di bawah pohon (isor uwit) meskipun sudah lebih cantik dan lebih nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H