"Mungkin hari ini, aku ngga bisa ikut darmawasita dengan teman-teman. Tapi aku yakin, Allah akan memberikan hikmah dan balasan jika aku bersabar atasnya, insyaAllah."Â
Itu doa Ayah saya, saat usia sekitar 17 tahun, ia tak bisa ikut rekreasi dalam rangka perpisahan sekolahnya. Alasannya bukan karena tidak diperbolehkan, tapi memang tak ada biaya untuk itu. Padahal rekreasinya hanya ke kolam pemandian yang letaknya hanya 20 kilometer dari kota tempat Ayah saya tinggal. Tapi apalah daya, beliau tak mampu.
Jangankan untuk rekreasi perpisahan, untuk bayar sekolah saja Ayah saya harus ikut membantu Emaknya berjualan kue basah di pasar. Jadi Ayah saya berangkat sambil membawa nampan berisi jajanan untuk diantar ke kios-kios pasar. Sepulang sekolah, Ayah mengambil nampan tersebut sekaligus juga untuk mengambil uang hasil penjualan.
Kalau untuk sekolah saja beliau harus ikut "bekerja", bagaimana untuk rekreasi?
Diundang Langsung oleh Allah Menuju Baitullah
Saat Ayah saya diterima di perguruan tinggi pun, beliau juga membiayai dirinya sendiri untuk itu. Mengajari anak-anak dari rumah satu ke rumah lain. Mengajar ekstrakurikuler dari satu sekolah ke sekolah lain, hingga Ayah saya hanya punya dua helai baju untuk dipakai bergantian karena memang honornya sebagai guru les privat hanya cukup untuk bayar kos, makan sehari-hari yang amat sangat sederhana, dan juga biaya kuliah.
Itu semua memang keinginan Ayah yang ingin mengubah nasibnya sebagai tukang sepatu di waktu libur sekolah dan juga sebagian pekerjaan yang memang digeluti oleh orang-orang di kampungnya. Begitu mereka lulus SMA, pekerjaan yang paling menjanjikan saat itu adalah sebagai tukang sepatu. Penghasilannya sudah seperti penghasilan pegawai pabrik rokok.
Namun Ayah saya punya keinginan lain, yakni ingin sekolah setinggi-tingginya dan meraih cita-citanya sebagai seorang guru hingga dosen.
Alhamdulillah di usia Ayah saya yang ke-38, beliau diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Hidup jadi lebih tertata, Ayah tak lagi memberi les sana sini, mencari penghasilan tambahan kemana-mana untuk menghidupi anak dan istrinya. Alhamdulillah pula, di usia tersebut kami bisa tinggal bersama "di rumah sendiri".
Saat itu Ayah belum bisa "kemana-mana" karena sibuknya pekerjaan yang dijalani. Namun doa beliau masih tetap sama. Agar rekreasi yang dulu sempat tidak bisa dinikmati digantikan oleh Allah bisa berwisata sekaligus beribadah ke Baitullah.
Janji Allah pada hambaNya yang bersabar dan terus berusaha tanpa mengenal putus asa tersebut akhirnya diijabah. Kita tahu bahwa ketika doa kita langitkan ada beberapa kemungkinan yang terjadi.Â