Dulu betapa mudahnya mencari ikan cemplon atau Systomus binotatus dan menangkap laron yang mengelilingi lampu-lampu jalan dan rumah setelah hujan turun. Kami tertawa-tawa sampai tak terasa kaki terpeleset di sana.
Betapa mudahnya menangkap ikan cemplon di aliran-aliran air sekitar rumah yang bermuara ke Kali Brantas. Teman-teman sebaya pun masih banyak yang sering mandi di jernihnya sungai tatkala itu. Hampir tak pernah kota kami mengalami banjir, apalagi kekeringan.
Ikan-ikan cemplon yang ditangkap sepulang dari kali kemudian kami bawa pulang dan dipelihara. Meski umurnya kadang tak sampai seminggu karena dimangsa oleh ikan-ikan besar di kolam atau akuarium. Tak masalah, kami akan mencarinya lagi keesokan harinya.
Namun sungai-sungai itu kini mulai kering. Tak ada lagi ikan cemplon yang menghuni saluran-saluran air yang akan bermuara ke sungai. Tak ada lagi laron di pagi hari setelah bumi basah karena hujan semalaman. Anak dan cucu kami belum sempat melihat cemplon dan merasakan sensasi ketika menangkapnya dengan tangan kosong.
Malang yang Merindukan Bengawan
David Wallace Wells dalam bukunya Uninhabitable Earth mengatakan :
"2% air untuk kehidupan 7 miliar manusia. Benarkah Sumber Daya Air itu tak terbatas? Kalau iya, mengapa ada kekeringan yang selalu berulang?"
Masalah kekurangan air yang pernah saya alami saat berusia 12 atau 13 tahun, ternyata terus berulang hampir setiap tahunnya hingga saat ini. Terlebih di beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat saya sadar bahwa bumi ini akan kehabisan air dalam waktu dekat.
Siapa sih yang menyangka bumi akan kekurangan air? Bukankah 71% Â bagian dari planet ini tertutup air? Tepat sekali. Namun yang berupa air tawar hanya sedikit, di atas dua persen, dan yang bisa diakses hanya satu persen. Sisanya sebagian terjebak dalam es. Artinya, seperti dihitung National Geographic, hanya 0,007 persen air di planet ini yang tersedia untuk tujuh miliar manusia.
Namun sebenarnya 0,007% itu sudah cukup. Bahkan tidak hanya untuk 7 milliar manusia, lebih dari itu. Hingga 9 milliar manusia yang menghuni bumi ini pun air belum akan habis. Namun siapa sangka, saya mengalami krisis air yang juga dialami oleh anak-anak di Dolo Odo, Etiopia.
Memang tidak seekstrem itu, namun negara tropis yang punya musim hujan setiap tahunnya ini tampak mustahil ketika dikatakan "kekurangan air bersih". Kita punya laut, sungai, danau, air terjun, hingga bendungan. Bagaimana bisa ada kekeringan?
Krisis Air di Kota Kami
Pengalaman kekeringan ini suatu kali pernah saya alami dua puluh tahun lalu ketika terpaksa mandi di sekolah tempat Ayah mengajar karena akses air bersih yang sangat terbatas. Sebenarnya sudah puluhan tahun silam iklim memberi peringatan pada kita untuk sesegera mungkin melakukan antisipasi jika air tak lagi mengalir.
Namun kita seringkali abai. Majunya teknologi terkadang membuat kemudahan di sana sini. Hingga kami pun lupa bahwa sumur yang dibuat dua puluh tahun yang lalu akibat kekeringan ternyata juga akan habis pada saatnya. Tahun inilah masa penghabisan itu.
Sejak Kota Batu berdiri sendiri menjadi sebuah kota yang terpisah dari Kota Malang, air bersih menjadi salah satu barang berharga bagi kami. Akses air dari Kota Batu yang notabene kota yang paling dekat dengan pegunungan, terputus untuk kota Malang. Praktis jumlah air yang tersalurkan untuk masyarakat juga berkurang.
Bukan hanya terjadi di tahun ini, tahun-tahun sebelumnya pun kota Malang sudah mengalami kekeringan. Banyak masyarakat yang tidak bisa mendapatkan akses air bersih untuk memasak makanan dan juga minuman.
"Air PDAM di rumahku sudah mati sejak Sabtu (11/1/2020)," kata Avirista Midaada, warga Perum Bulan Terang Utama (BTU) Kota Malang, Jumat (17/1/2020) sebagaimana yang disebutkan dalam Kompas.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Avirista bersama warga lainnya memanfaatkan air kran milik perumahan. Namun, air yang bersumber dari sumur tersebut tidak bisa dimanfaatkan selama 24 jam dan debitnya terbatas.
Tidak hanya terjadi pada Avirista, ribuan rumah di kota Malang Jawa Timur mengalami krisis air ketika musim kemarau tiba. Akibatnya mereka harus mencari air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah seorang warga Kota Malang Anggara S mengatakan, selama krisis air bersih, dirinya terpaksa mandi di kamar mandi SPBU. Pada kompas.com, Anggara mengatakan, sempat ada pengiriman air bersih. Namun jumlahnya tidak cukup untuk kebutuhan.
Hingga saat ini pun aliran air PDAM di rumah saya juga sering mati. Terhitung sejak tahun 2019 hingga saat ini, aliran air bersih sering sekali mati di jam-jam krusial ketika kami beraktivitas di dapur dan kamar mandi.
Begitu juga yang terjadi pada warga Desa Druju, Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang yang juga mengalami krisis air bersih. Tercatat ada sekitar 70 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak.
Ada seorang warga Desa bernama Widi yang mengatakan, "ketika musim kemarau panjang, kami semakin kesusahan. Biasanya membeli air bersih sekitar 5000 liter dengan harga Rp 110ribu. Ada sih bantuan air bersih tapi ngga cukup. Karena terbatas 5000 liter untuk satu RT. Banyak yang tidak kebagian." (Jatimnews, 6/1/2021).
Kaki Sudah Terlangkahkan, Tangan Sudah Terjembakan
Meski peribahasa tersebut berarti segalanya sudah telanjur terjadi, namun bukan berarti kita hanya akan berdiam diri. Kita mungkin bisa introspeksi dan mencoba menemukan solusi.Â
Mengapa air bersih bisa habis? Mengapa musim di bumi semakin tak menentu? Mengapa efek dari perubahan iklim terasa sangat dekat?
Tak berguna juga ketika kita terus menyalahkan orang lain atas kejadian ini, atau bahkan lebih jauh mencari kambing hitam atas kesalahan yang sebenarnya kita perbuat sendiri. Suhu bumi semakin panas, kekeringan dimana-mana, banjir tak terkendali, semua itu nyata terjadi di depan mata kita.
Preferensi Untuk Mendapatkan Air Bersih
Lalu apa yang harus kita lakukan? Setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sebelum air bersih itu benar-benar habis untuk seluruh penduduk di negeri ini.
Selain memperlambat laju kenaikan suhu bumi karena perubahan iklim dengan mengurangi pembakaran karbon, memperpendek supply chain, gerakan menanam seribu pohon, dan beberapa kegiatan untuk net zero emissions lainnya, ada salah satu alternatif yang telah digunakan di negara-negara maju.
Salah satunya yakni panen air hujan (rainwater harvesting). Panen air hujan ini sudah dilakukan mulai dari skala rumah tangga oleh beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan beberapa negara gersang seperti Brazil, Afrika dan Australia.
Panen Air Hujan (Rainwater Harvesting), Pertolongan Pertama pada Krisis Air
Air hujan merupakan bentuk air yang paling murni di bumi ini. Sebagian besar wilayah, air yang dipasok untuk dikonsumsi maupun kebutuhan sehari-hari berasal dari dua sumber utama, yakni sumber air tanah (sumur) dan air permukaan (danau atau sungai).
Namun selain itu, ada sumber air yang berlimpah yakni air hujan. Saat musim hujan tiba, air ditampung atau dipanen untuk berbagai macam keperluan. Memanen air hujan atau yang biasa dikenal dengan rainwater harvesting menjadi istilah untuk kegiatan menampung air hujan yang disimpan dan dimanfaatkan saat kekeringan.
Cara memanen air hujan cukup mudah, yakni cukup dengan mengalirkan air hujan yang jatuh ke atap ke penampungan melalui talang. Air yang disalurkan dari talang ke tandon harus melalui pipa dengan beberapa proses penyaringan.
Pertama penyaringan dari kawat kasa untuk menyaring daun-daun yang ikut terbawa dari atap. Lalu selanjutnya air memasuki tandon yang dilengkapi dengan saringan debu atau air halus. Hingga air pun siap didistribusikan. Jika ada kelebihan air di dalam tandon, air akan masuk ke saluran pipa yang terhubung ke sumur resapan bawah tanah.
Sebenarnya ada banyak cara untuk menampung air hujan. Melalui talang air yang dialirkan lewat pipa menuju wadah, membuat sistem resapan air hujan dari tangki besar yang ditanam di bawah tanah (tangki akan menampung air hujan yang mengucur dari atap, menyaringnya, kemudian memompa air untuk kebutuhan seluruh rumah), hingga memanfaatkan peralatan rumah tangga untuk menampung air hujan.
Kesemua tampungan air tersebut bisa kita gunakan untuk menyiram tanaman, mandi, hingga mencuci peralatan rumah tangga. Tentu saja dengan catatan tampungan air hujan kita dapat dipastikan bersih dan jauh dari polutan berbahaya.
Namun air hujan tidak disarankan untuk dikonsumsi. Karena bisa saja air hujan yang kita tampung mengandung parasit, bakteri berbahaya, bahkan virus. Ketika air hujan jatuh di area yang sangat tercemar atau bersentuhan dengan kontaminan, seperti kotoran hewan atau logam berat, air yang seperti ini tidak sesuai untuk dikonsumsi manusia.
Sedangkan air yang baik dan sehat untuk dikonsumsi manusia harus memenuhi beberapa unsur. Beberapa unsur tersebut sangat penting untuk menunjang kesehatan tubuh kita agar tetap terhidrasi dengan baik. Diantara kriteria air minum/air yang baik untuk dikonsumsi tubuh kita dapat dilihat dalam infografis berikut :
Meskipun air hujan tidak dianjurkan untuk dikonsumsi, namun kita bisa memanfaatkannya untuk kebutuhan rumah tangga lainnya.
Selain bisa mengurangi tagihan air, memaksimalkan sumber daya yang ada di sekitar, kita pun bisa mengurangi jejak karbon. Bayangkan, volume air hujan yang dapat dikumpulkan dari rumah dengan luas atap 180 m2, rata-rata mencapai 190 ribu liter per tahun. Maka ada berapa liter yang kita hemat untuk itu?
Adanya rainwater harvesting ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk kita saat ini yang tengah kesulitan mendapatkan air bersih untuk berbagai kebutuhan rumah tangga.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Lynn Margulis : Hidup di bumi ini lebih seperti kata kerja. Memperbaiki, menjaga, menciptakan kembali dan memenangkannya.
Inilah yang Tuhan berikan untuk alam. Tanah yang menengadah untuk menyerap air, mengalirkan manfaatnya ke seluruh denyut kehidupan di sekitarnya. Menjadikan langit biru dibanding yang lalu.
Referensi :
Uninhabitable Earth by David Wallace Wells.
Rainwater Harvesting System on St. Mary's University.
Halodoc : Healthline : Can You Drink Rainwater, and Should You?
Sudah Satu Minggu Ribuan Rumah di Kota Malang Krisis Air Bersih on regional.kompas.com
sda.pu.go.id
malangvoice.com
Totto Chans Childrens
Memanen Air Hujan (Rain Water Harvesting) Sebagai Alternatif Sumber Air on kompasiana.com/purwanti_asih_anna_levi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H