Mohon tunggu...
Syifa Awaliaturrahmah
Syifa Awaliaturrahmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi/Universitas Siliwangi

Saya Syifa Awaliaturrahmah, berbekal pendidikan yang sedang saya tempuh di Ilmu Politik Universitas Siliwangi. Saya memiliki ketertarikan pada bidang public relations dan eksternal communication.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Politik dalam Perspektif Gender

6 Desember 2023   22:51 Diperbarui: 6 Desember 2023   23:04 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik politik dalam perspektif gender dapat melibatkan ketidaksetaraan seperti kekuasaan, akses serta partisipasi antara pria dan wanita. Peran gender dalam politik dapat menciptakan konflik terkait hak-hak, representasi dan sebuah kebijakan yang dapat memengaruhi masyarakat secara menyeluruh. Permasalahan antara politik dan gender saling berkaitan ketika peran, norma dan ekspektasi gender memainkan perannya dalam sebuah dinamika konflik. Ketidaksetaraan akses, partisipasi politik, serta dampak dari sebuah kebijakan pada pria dan wanita bisa menjadi pemicu terjadinya sebuah konflik. Konflik politik seringkali dapat memperkuat atau mengubah peran gender dalam masyarakat. Melihat konflik politik dari perspektif gender penting untuk memahami dan mengatasi dampaknya secara inklusif.

Representasi perempuan dalam politik menjadi elemen penting dalam perspektif demokrasi yang ramah gender. Perbedaannya sangat terlihat, yang mana politisi laki-laki lebih berfokus dalam “narasi-narasi politik besar dan kritis”, sedangkan kelompok aktivis perempuan lebih berfokus dalam memperjuangkan 30 persen representasi politiknya dalam ranah perjuangan bersama. Dalam kurun waktu satu dekade kebelakang, terlihat beberapa kelompok dan elemen perjuangan perempuan baik dari kalangan politisi, LSM, ormas, akademisi, jurnalis, artis dan selebritis yang mengupayakan representasi politik proporsional, adil, dan setara.

Catatan sejarah perjalanan politik perempuan menunjukan bahwa nilai dan semangat perjuangan perempuan Indonesia di masa awal revolusi terlihat substantif dan tidak artifisial Seiring dengan perkembangan jaman peran, posisi dan aktualisasi perempuan dalam lingkup sosial-politik semakin menyusut. Di era Demokrasi Terpimpin, peran perempuan cenderung terpecah sebagai konsekuensi dinamika politik yang cenderung konfliktual. Posisi politik perempuan relatif kuat, sehingga dalam praktiknya mereka berada pada posisi subordinat dan kerap di libatkan dalam instrumen politik negara. 

Pada masa Orde Baru juga telah dibentuk kementerian yang khusus menangani masalah perempuan, akan tetapi orientasi politik negara yang lebih berfokus pada pola politik korporatik “politik lelaki". Perempuan memang diperbolehkan untuk ikut serta melakukan peran sosial-politiknya, akan tetapi sebatas fungsi normatifnya. Memasuki era reformasi di era kepemimpinan menteri perempuan Khofifah Indar Parawansa, secara terus menerus mengangkat isu kesetaraan gender sebagai hal yang mainstream. 

Namun, kerja keras para menteri perempuan, dan para aktivis yang lainnya,  terbentur oleh praktik politik anti partisipasi dan politik patriarki. Salah satu penyebab penting yang mendasari, dalam struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Legitimasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang kian menempatkan seksualitas perempuan sebagai komoditas; alat pemuas hasrat seksual laki-laki. Dalam kekuasaan berstruktur patriarkis, politik bukan hanya refleksi dari interest kekuasaan dan uang, tapi juga berhubungan dengan seksual. 

Hal tersebut ditandai dengan banyak terbongkarnya kasus asusila politisi DPR dengan publik figure yang sekaligus menunjukan fakta hipotesis “menyatunya kekuasaan, uang, dan seks”. Pesan penting dari kasus tersebut menunjukan kemerosotan moral politik yang bukan hanya ditandai oleh banality of politics, tapi juga oleh binalitas manusia yang kian menunjukkan watak dasarnya. Disamping itu, kasus asusila politisi DPR memperkuat argumen bahwa posisi perempuan di negeri ini masih didominasi budaya politik patriarki.

Kaum feminis yang mendukung pluralisme demokratis percaya bahwa perempuan tidak bisa dirugikan hanya karena gender mereka. Sebagai manusia, perempuan juga memerlukan pengakuan atas feminitasnya. Gerakan feminis menentang pandangan stereotip yang mungkin meminggirkan peran perempuan karena hanya sebatas tanggung jawab domestik dan bukan dalam konteks kehidupan publik yang lebih luas. Meskipun sistem politik dan arahan pemerintah terhadap isu-isu perempuan semakin sensitif gender, namun posisi perempuan dalam kekuasaan politik masih terbuka terhadap berbagai bentuk manipulasi politik dan seringkali dijadikan alat legitimasi politik. Premisnya sederhana: perempuan adalah unit dasar kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dalam konteks ini, tantangan mendasar masa depan gerakan perempuan  setidaknya dapat dipetakan dengan tujuh tema berikut: Pertama, globalisasi neoliberal telah menciptakan kekuatan ekonomi dunia terkonsentrasi di negara-negara maju, disusul dengan restrukturisasi ekonomi di negara-negara miskin dan  berkembang. negara. Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang semakin akut dan kompleks. Perekonomian global telah menjadikan perempuan sebagai objek dan komoditas ekonomi (mereka menjadi pembantu rumah tangga, pelacur, pekerja migran atau pekerja berupah rendah di pabrik dan sektor informal). Kedua, otoritarianisme politik negara. Kontrol negara yang berlebihan terhadap warga negara – khususnya perempuan – telah melahirkan berbagai kebijakan negara yang berpihak pada hak asasi manusia, gender dan menghilangkan esensi demokrasi.

Perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik serta tercapainya keterwakilan politik bagi perempuan (yang bukan hanya kulit berwarna, tapi orang kulit berwarna) akan membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang kuat untuk membuktikannya, karena melibatkan talenta-talenta yang berbakat. yang dapat dianggap kompetitif dan mempunyai implikasi penting bagi kebijakan praktis.

 Dalam masyarakat yang sudah meyakini hakikat perempuan sebagai makhluk yang lemah dan cukup sensitif, jelas diperlukan upaya yang sangat besar untuk membangun persoalan keterwakilan politik perempuan dalam kerangka demokrasi yang setara dan inklusif serta kerangka demokrasi pluralistik gender. ceramah kerangka kerja (non-patriarkal) yang menjadi inti politik masa depan agar masyarakat demokratis gender dan egaliter benar-benar terwujud di negara ini.

Padahal, perjuangan mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik dan keterwakilan politik  perempuan (yang bukan hanya perempuan kulit berwarna, tapi perempuan kulit berwarna) di negeri ini memerlukan pembuktian perjuangan yang panjang dan sulit karena melibatkan orang-orang berbakat. bakat yang dapat dianggap kompetitif dan mempunyai implikasi penting bagi politik praktis. Dalam masyarakat yang sudah meyakini hakikat perempuan sebagai makhluk lemah dan cukup sensitif, jelas diperlukan upaya besar untuk mengembangkan keterwakilan politik perempuan dalam kerangka demokrasi yang setara dan inklusif serta kerangka demokrasi pluralistik gender. ceramah tentang kerangka (non-patriarkal) yang menjadi jantung politik masa depan, sehingga masyarakat yang demokratis gender dan egaliter benar-benar bisa menjadi kenyataan di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun