Kita adalah dua pribadi yang terluka.
Aku pernah mempertanyakan jalan yang akan kau pilih. Niatku tulus, ingin memastikan kau akan bahagia menjalaninya kelak. Namun, kau justru terluka.Â
Kau membutuhkan orang yang mempercayaimu, bukan meragukanmu. Ketidakpekaanku membuatmu terluka. Sayang, aku malah terlambat menyadarinya.
Kau pernah memintaku melangkah keluar dari dunia yang kudamba. Niatmu baik, ingin memastikan aku lebih bahagia di luar sana.Namun, aku malah terluka.Â
Aku membutuhkan seorang yang mendukungku, bukan memerintah ataupun memaksa. Ketidakmengertianmu telah membuatku terluka. Entah kau menyadarinya atau tidak
Lihat?
Kita memandang kebahagiaan dari kacamata yang berbeda. Dan akhirnya, kita menjadi sama-sama terluka. Bukannya mencari pertolongan untuk menyembuhkan luka, kita malah memilih untuk mengabaikannya.
Bukankah sungguh wajar dan manusiawi  untuk menghindari rasa sakit karena luka?Â
Sebab kau dan aku hanyalah manusia biasa. Memilih untuk mengakhiri dalam diam dan tanpa kepastian. Memilih untuk mebiarkan luka sembuh seiring berjalannya waktu. Entah sampai kapan. Kita menganggap itu adalah cara terbaik untuk melanjutkan hidup. Seolah-olah tiada pilihan lainnya.
Tapi, itu dulu.Â
Sekarang, aku benar-benar sadar bahwa aku terluka. Aku mengakui dan menerima setiap rasa sakit dan pedihnya. Bahkan, air mata t'lah menjadi temanku di kala siang maupun petang.Â
Kau tahu?
Luka telah membawaku lebih dekat pada Sang Penyembuh. Alih-alih sekadar sembuh, aku memilih untuk belajar mengasihi lebih lagi. Bukan berbalik melukai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H